Opo Tumon, Pengalaman Korsel Tanpa Lockdown
Begitu banyak yang bertanya ke Korea Selatan: bagaimana tanpa lock down jumlah penderita Covid-19 terus menurun di sana.Yang bertanya itu termasuk Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Juga Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Begitulah pengakuan Presiden Korsel, Moon Jae-in, Selasa lalu.
Saya tidak berani ikut bertanya. Takut balik ditanya: emangnya Anda mampu membeli berapa juta set alat test Covid-19? Atau pertanyaan lebih rendah dari itu: emangnya Anda mampu melakukan test 320.000 penduduk hanya dalam waktu sebulan? Atau: emangnya penduduk di Indonesia bisa sedisiplin Korea Selatan? Bukankah saat di negeri Anda diliburkan justru berbondong-bondong rekreasi?
Amerika memang ikut tersengat Korea Selatan. Saat Korsel sudah mengetes 320.000 penduduknya, Amerika baru bisa 5.000. Angka itu begitu njomplang --belum lagi diukur dari jumlah penduduk Amerika yang lima kali lebih besar.
Sebagai bandingkan media di Singapura kemarin menyebut Indonesia sudah mengetes 1.200 orang penduduknya.
Tapi Amerika lagi mengejar angka itu. Trump lagi terpojok. Semua yang ia nafikan akhirnya ia lakukan: ia sendiri melakukan tes Covid-19 --yang awalnya berkeras menolak. Padahal Trump baru menemui Presiden Brasil Jail Bolsonaro --yang seminggu kemudian dinyatakan menderita Covid-19.
Trump bisa menepuk dada. Hasil testnya: negatif.
Trump juga sudah mau membatalkan kampanye-kampanye politiknya. Ia juga sudah menjanjikan menggratiskan biaya tes untuk seluruh rakyat Amerika.
Bahkan Trump sudah mau mengurangi bicara. Ia sudah meminta Wakil Presidennya, Mike Pence, yang lebih banyak bicara soal Covid-19.
Itu setelah Capres Partai Demokrat Joe Biden menjawab pertanyaan wartawan: apa program besarnya untuk menanggulangi Covid-19?
Jawab Biden: menutup mulut Trump.
Langkah Trump lainnya: mencari penemu obat baru untuk melawan Covid-19.
Ia bermaksud membayar sebuah lembaga riset swasta di Jerman Rp 15 triliun. Agar memproduksi anti-Covid-19 khusus untuk Amerika --jangan dijual ke pihak lain.
Perusahaan riset tersebut, CureVac, belum tentu bisa segera memproduksinya --tapi diperkirakan punya kemampuan untuk itu.
Hanya saja Jerman langsung menghadangnya: Jerman tidak untuk dijual. Itulah kata pemimpin Jerman, Angela Merkel menanggapi langkah Trump.
Di Amerika sendiri diberitakan sudah mampu melakukan uji coba obat sejenis. Sudah disuntikkan ke 45 orang sehat --yang mau jadi relawan uji coba. Obat baru itu disuntikkan di lengan atas mereka. Itu untuk mengetahui efek samping obat tersebut.
Tapi tes seperti itu masih panjang. Prosedurnya banyak. Paling cepat setahun. Bahkan bisa 18 bulan --barulah bisa diproduksi. Itu pun kalau hasil tesnya berhasil.
Atau meniru Korsel. Izin memproduksi penemuan baru untuk alat test Covid-19 keluar dalam satu minggu.
Soal penemuan obat anti-Covid-19 Tiongkok sudah lebih dulu mengumumkan.
Februari lalu.
Yakni ketika militer diperintahkan terjun ikut mengatasi Covid-19 --di pusat wabah itu: Wuhan.
Militer membangun rumah sakit darurat di gedung olahraga yang besar di Wuhan. Semua dokter dan perawatnya militer. Sebelum mulai bertugas mereka disuntik anti-Covid-19. Juga di lengan atas mereka. Agar tidak tertular. Video penyuntikan ini dipublikasikan secara luas.
Dua minggu lalu rumah sakit darurat tersebut ditutup. Jumlah penderita baru di Wuhan sudah menurun drastis.
Waktu penutupan itu dilakukan tinggal 46 pasien baru Covid-19 di Wuhan. Itu cukup ditangani rumah sakit reguler. Seminggu setelah penutupan itu hanya ada 1 pasien baru Covid-19 di Wuhan.
Kegembiraan hari itu bukan hanya misi militer sudah berhasil, tapi juga ini: tidak satu pun dokter dan perawatnya yang tertular Covid-19.
Nama pemimpin mereka pun melambung tinggi. Seorang mayor jendral. Wanita. Dokter. Ilmuwan. Ahli virus. Umur 54 tahun. Namanya: Mayjen Chen Wei. Ahli epidemiologist dan virologist.
Apakah nonmiliter sudah akan boleh menggunakan obat yang disuntikkan itu tergantung evaluasi atas efek samping obat tersebut. Termasuk bagaimana bila yang disuntik tidak sesehat para tentara itu.
Lock down di Tiongkok sangat berhasil. Tanpa lock down di Korsel juga berhasil --meski masih ada saja penderita baru.
Bagi Korsel, sebenarnya, melakukan lock down sekali pun tidak sesulit Tiongkok. Wilayahnya kecil. Dikelilingi laut --kecuali di perbatasan Utara. Penduduknya disiplin. Tabungan uangnya banyak. Di-lock down tiga bulan pun masih ada uang untuk belanja.
Meski begitu Korsel masih juga kecolongan. Tiba-tiba muncul penderita baru dalam jumlah besar. Sekaligus 46 orang. Hanya dalam satu hari.
Setelah ditelusuri penyebabnya satu: di sebuah gereja. Nama gereja itu: River of Grace Community Church.
Hari itu, tanggal 1 dan 8 Maret, gereja melaksanakan tindakan pencegahan Covid-19 kepada jemaatnya.
Caranya: tenggorokan jemaat itu disemprot dengan air garam. Ada sekitar 100 jemaat yang hadir di kebaktian hari itu.
Entah dari mana resep air garam seperti itu. Mungkin karena di sana tidak ada empon-empon. Tidak ada cairan jahe yang bisa disemprotkan.
Ternyata ujung semprotan itu masuk ke tenggorokan terlalu dalam. Sampai menyentuh liur yang disemprot.
Alat semprot yang sama dimasukkan ke tenggorokan jemaat berikutnya. Yang duduk berjejer di dalam gereja itu.
Terjadilah penularan itu.
Kalau di majalah bahasa Jawa 'Panyebar Semangat' kegiatan di gereja itu akan masuk rubrik Opo Tumon.(Dahlan Iskan)