Ongkos Penukaran Uang Baru Halal, Ini Penjelasan Ulama
"Sehingga, dalam praktiknya, pemberi jasa penukaran uang baru tetap memberikan jumlah yang sama dari nominal uang yang diterima. Jangan sampai ada pengurangan jumlah nominal." KH Abdurrahman Navis, Wakil Ketua MUI Jawa Timur.
Di sejumlah jalan raya, di pelbagai sudut kota, dijumpai sejumlah orang yang menawarkan penukaran uang baru. Hal ini terjadi setiap bulan Ramadhan.
“Namun yang disayangkan, jumlah yang diterima ternyata berkurang. Misalnya, uang senilai Rp100 ribu, kita mau tukar recehan Rp 5 ribuan. Yang kita terima ternyata menjadi Rp 80 ribu. Sebenarnya seperti apa yang dibenarkan menurut agama?”
Pertanyaan semacam ini muncul di redaksi ngopibareng.id.
Memang, menjelang hari raya Idul Fitri benar-benar dimanfaatkan sejumlah kalangan untuk meraup untung, termasuk dengan menyediakan pecahan uang baru. Fenomena ini sudah jamak disaksikan di pinggiran jalan utama. Ada banyak pecahan yang ditawarkan, mulai nominal kecil hingga puluh ribu rupiah.
Terhadap realita ini, berikut jawaban dari KH Abdurrahman Navis, wakil ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur:
Pemandangan seperti itu sebagai sebuah kewajaran. Tukar menukar uang seperti itu dibenarkan dalam Islam. Namun yang dibenarkan adalah bahwa tukar menukar itu jumlah nominal yang diterima haruslah sama. Tidak boleh, kalau menukarkan uang sebanyak satu juta ternyata yang diterima hanya sembilan ratus ribu ribu rupiah misalnya.
Akad ongkos harus jelas
Kalaupun pihak yang menyediakan uang baru akan mencari hasil, maka hal itu diakad sebagai ujrah atau ongkos dari jasa penukarannya. Sehingga, dalam praktiknya, pemberi jasa penukaran uang baru tetap memberikan jumlah yang sama dari nominal uang yang diterima. Jangan sampai ada pengurangan jumlah nominal.
Semua kalangan yang akan memanfaatkan momentum hari raya Idul Fitri dengan memberikan jasa penukaran uang baru untuk berhati-hati. Kalaupun akan mencari keuntungan, maka itu sebagai ongkos jasa yang diberikan kepada orang yang membutuhkan. Sehingga, transaksi yang dilakukan sangat jelas dan sesuai dengan ketentuan agama. Bukan dengan mengurangi jumlah yang akan diterima.
Namun demikian, perlu diingatkan kepada pemerintah dalam hal ini pihak Bank Indonesia (BI) untuk membuka counter yang cukup memadai bagui keinginan masyarakat untuk memiliki pecahan uang baru.
Para pemberi jasa penukaran uang itu kan hanya memanfaatkan momentum lantaran pada saat yang sama tidak memadainya gerai yang memberikan kemudahan bagi didapatkannya uang pecahan baru.
Bila saja sejumlah bank yang tersebar di berbagai daerah serta ditambah gerai penukaran uang baru di tempat yang mudah dijangkau masyarakat, maka hal itu tidak akan terjadi.
Apalagi kalau sampai ada satu atau dua nominal uang yang ternyata tidak asli atau palsu. Ini ‘kan merugikan salah satu pihak?.
Oleh karena penukaran uang baru menjadi kebutuhan masyarakat Muslim, maka ada baiknya hal itu menjadi perhatian pemerintah. Di antaranya dengan membuka gerai atau counter-counter di sejumlah daerah. Dengan demikian masyarakat bisa merayakan Idul Fitri dengan penuh kebahagiaan dan khidmat. (adi)
Advertisement