One Dimentional Culture
Istilah ini saya peroleh dari Prof. MAS Achmad Icksan, mantan Rektor IKIP Malang, pendiri HMI di Jawa Timur, saat memberikan pidato wisuda puluhan tahun silam. Saat itu saya juga membacakan pidato mewakili wisudawan bersamaan dengan beliau selaku Ketua IKA kampus yang kini berubah nama menjadi Universitas Negeri Malang (UM) itu.
Orde Baru di mata Pak Icksan, adalah babakan sejarah sosial yang memaksa kita hidup dalam suasana budaya yang berdimensi tunggal atau one dimentional culture (ODC). Apa itu? Budaya itu bersumber pada selera tunggal penguasa Orde Baru yakni Soeharto dan kroninya. Itulah yang disebut dengan rejim Orde Baru.
Rejim Orde Baru melahirkan banyak masalah sosial yang akut, salah satunya adalah ketakutan yang masif. Ketakutan yang masif itu kemudian menjadi budaya baru bangsa Indonesia. Efeknya adalah kita menjadi bangsa yang tidak bisa keluar dari rasa takut yang berlebihan.
Padahal prasyarat dari bangsa yang maju dan beradab adalah keluar dari rasa rakut. Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memasukkan masalah kebebasan dari rasa takut itu sebagai salah satu Hak Azasi Manusia (Human Right) yang harus diperjuangkan olehbseluruh negara di dunia atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Nah, dalam konteks itulah, rejim Orde Baru sejatinya telah melawan nilai-nilai kemanusiaan, yakni hilangnya kebebasan rakyat Indonesia selama 32 tahun dari rasa takut. Ini sejatinya adalah persoalan fundamental dalam kehidupan yang harus dijadikan catatan penting bagi siapa sajanyang ingin berkuasa di negeri ini.
Jangan sampai negara diambil alih oleh orang orang yang justru ingin bertindak berlawanan dengan tugas utama negara; membebaskan rakyat dari rasa takut. Jika itu dilakukan oleh pemerintah atau rezim atas nama negara, maka sejatinya pula mereka telah mengkhianati tujuan kita bernegara.
Negara yang dikelola atas dasar selera kekuasaan hanya akan mempercepat proses menuju kematiannya. Sejumlah oengalaman negara du dunia tumbang karena penguasanya menjadikan dirinya sebagai rejim yang otoritaler.
Otoritarianisme itu sejatinya tindakan melawan logika kemanusiaan yang alamiah. Sebab budaya egaliter itu dibutuhkan setiap manusia agar dapat mengekspresikan potensi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk berkembang.
Jika potensi Ketuhanan itu dikebiri, dibendung, ditindas, dan ditundukkan sesuai selera kekuasaan, maka pada saatnya potensi itu akan meledak dengan akibat yang mengerikan. Bukan hanya mampu menumbangkan suatu rejim yang berkuasa, namun dampak lainnya akan memporak-porandakan kehidupan sosial politik suatu bangsa.
Hukum dan keadilan sosial
Akhir-akhir ini negara kita sedang dilanda krisis kemanusiaan. Pemerintah atas nama negara mengalami diaorientasi dalam tata kelola negara yang sesungguhnya sebagaimana tujuan pokok kita bernegara. Konstitusi kita mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan yang penuh atas warga negaranya.
Untuk itulah, negara memiliki hukum agar tugas perlindungan itu mendapatkan jaminan, sekaligus mempermudah negara memberikan layanan pada warganya. Hukum harus ditegakkan di atas logika hukum itu sendiri. Jika penegakan hukum diletakkan di atas selera kekuasaan, maka hukum tersebut akan segera layu, mati, dan tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengeksekusi nilai-nilai fundamental hukum itu sendiri, sekaligus mendorong lemahnya kekuasaan yang ada ditangan rejim.
Mengapa? Sebab rejim telah merobek-robek kehormatan hukum yang diciptakannya sendiri dalam menertibkan warganya. Dalam kondisi yang seperti itu, yang tercipta adalah ketakutan dan bukan ketaatan pada hukum itu sendiri.
Saat ini pemerintah terlihat berada dalam kondisi sewenang-wenangan itu. Adalah baik jika pemerintah beserta aparaturnya kembali menyimak, berkaca, melakukan instropeksi ke dalam apakah tindakan-tindakan yang dilakukannya selama ini merupakan tindakan penegakan hukum atau tindakan kekuasaan yang melangggar hukum.
Beberapa analis melihat, pemerintah saat ini disusupi oleh anasir-anasir non-negara yang berpotensi membuat negara menjadi limbung, disorientasi, dan berpotensi melanggar kaidah-kaidah hukum yang normal. Jika kondisi tersebut semakin berlarut-larut dan menjadi kebiasaan dalam tata kelola negara, maka sejatinya negara ini dalam kondisi darurat objektif yang membutuhkan tata kelola yang extra ordinary threatmen.
Jika tidak segera ditangani dengan baik dengan cara mengoreksi secara cepat dan tepat, maka pemerintah akan mendapatkan perlawanan yang lebih sengit yaitu berupa pembangkangan sosial (social disobedience).
Pembangkangan sosial tentu bukan tujuan seorang pemimpin negara. Biasanya, pembangkangan sosial itu terjadi karena terdapat agenda-agenda non negara yang memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan merusak negara. Situasi itu harus menjadi perhatian seluruh warga negara jika negara ini ingin selamat dari rongrongan "asing" yang menyusup dalam kekuasaan negara. Wallahu'a'lam.
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement