Omnibus Law Berpotensi Timbulkan Kerusakan Lebih Besar
Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Ismail Hasani, mengatakan, pentingnya melihat persoalan kemanusiaan dari perspektif hukum. Menyinggung kontroversi Omnibus Law sebagai satu Undang-undang (UU) yang dibuat untuk menyasar isu besar dan mungkin bisa mencabut atau mengubah UU lainnya.
Direktur SETARA Institute ini menjelaskan, kontroversi yang mengiringi Omnibus Law bukan hanya terkait salah ketik. Tapi potenis dari munculnya ini bisa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
"Hal ini merupakan bentuk nyata dari adanya disrupsi hukum Negara yang serius, ia meminta kepada Muhammadiyah untuk menaruh perhatian serius dalam persoalan ini," tutur Ismail Hasani, dikutip Minggu, 23 Februari 2020.
Ia mengungkapkan hal itu, dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah tahun 2020, di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Dijelaskannya, Indonesia sebagai Negara ‘supermarket bencana’ yang terjadi baik disebabkan oleh alam secara alamiah, maupun bencana alam yang terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh ‘tangan-tangan nakal manusia’.
Kemungkinan akan diperparah dengan adanya Omnibus Law, di mana perijinan pembangunan bisa lolos tanpa mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) karena peraturan tertinggi yang menghendaki itu.
Sehingga, dari produksi kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan dampak secara luas, sangat bisa menimbulkan kerusakan pada sektor lain, misalnya kerusakan ekologi yang menyebabkan terjadinya bencana alam.
“Tidak semata ini soal perijinan, namun didalamnya mengandung mudhorot dan dampak yang amat serius terhadap pemajuan hak asasi manusia (HAM). Inilah episode yang saat ini berlangsung, ini bukan ngompori tapi ini harus ada yang kita lakukan kritik terhadap peraturan ini, karena dampaknya yang serius terhadap HAM," tuturnya.
Menurutnya, secara garis besar peran agensi sosial Muhammadiyah pada bidang HAM ditujukan untuk menjawab tiga tantangan yakni purifikasi epsitemologi hokum HAM yang selama ini segaja dikikis, kedua melakukan penguatan kelembagaan HAM sebagai dampak epistemology yang tidak tepat yang menyebabkan ‘kemandulan’ pada lembaga-lembaga HAM, dan yang ketiga pada aspek hukum dan politik penegakan hukum HAM.
“Muhammadiyah juga bisa hadir menawarkan alternative keadilan pada kasus-kasus yang maifes, actual dan menuntut respon kemanusiaan segera. Baik di Indonesia maupun di dunia internasional," tuturnya.
Advertisement