Ombudsman Curiga Ada Komersialisasi Rapid Test
Komisioner Ombudsman Alvin Lie Ling Piao mensinyalir telah terjadi penyimpangan dan komersialisasi rapid test. Semula, rapid test mendeteksi seseorang terpapar Covid-19 atau tidak, perkembangannya berubah menjadi syarat administrasi sebuah perjalanan.
Orang tidak bisa bepergian dengan pesawat terbang atau kereta api kalau tidak menunjukkan surat keterangan telah melakukan rapid test dan hasilnya non reaktif. Akibatnya, rapid test yang menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan bisa dilakukan instituasi lain dengan biaya yang variasi.
"Ada maskapai penerbangan membuka layanan rapid test dengan biaya Rp 90.000, sedang di rumah sakit dan tempat lain biayanya bisa Rp 250.000 hingga Rp 750.000," kata Alvin Lie, di Jakarta pada Senin 7 Juli 2020.
Perbedaan biaya rapid test ini menjadi perhatian Ombudsman, yakni badan yang bertugas menyelidiki berbagai keluhan masyarakat. Pihak Ombudsman telah menyampaikan hal ini kepada pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan. "Namun sampai sekarang belum respon," sambung Alvin Lie.
Mantan anggota DPR RI Fraksi PAN ini mengambil contoh, setiap orang yang akan melakukan perjalanan menggunakan pesawat terbang atau kereta api, jarak jauh harus menunjukkan keterangan rapid test. Bila tidak bisa pembelian tiket tidak akan dilayani.
Ironisnya yang menentukan masa berlakunya rapid test tersebut pihak bandara dan stasiun, yakni hanya tiga hari. Artinya waktu berangkat keterangan rapid sudah habis masa berlakunya dia harus mengeluarkan biaya lagi rapid test ulang.
Untuk satu kali perjalanan, lanjut Alvin Lie, calon penumpang harus melakukan rapid test dua kali. Waktu memesan tiket dan saat akan berangkat. "Kalau satu kali rapid test biayanya Rp 500.000, berarti calon penumpang harus mengeluarkan biaya sebesar Rp1 juta di luar harga tiket," rinci Alvin Lie.
"Apakah yang non reaktif saat rapid test bisa dijamin 100 terbebas dari Covid-19? Saya katakan belum bisa dijamin," sambung penggemar olahraga Aero Mondeling ini.
Faktanya, ada orang yang menjalani rapid test hasilnya dinyatakan reaktif, tapi setelah di tes ulang melalui swab ternyatata hasilnya bertolak belakang, yakni negatif.
Menurut Alvin Lie, Ombudsman telah meminta pemerintah untuk meninjau ulang rapid test yang faktanya menjadi bebeban masyarakat.
"Negara lain pemeriksaan cepat itu hanya diperlukan dalam perjalanan antar negara. Tapi di Indonesia berlaku untuk semua perjalanan," kata komisioner ombudsman bidang perhubungan tersebut.
Advertisement