Oligarki Kekuasaan Menguat, Kemiskinan pun Meluas
Semakin sering kita baca atau dengar ungkapan “Siapa yang sebenarnya berkuasa di negeri ini?"
Hal itu menunjukkan meningkatnya gejala kegelisahan khususnya di kalangan kaum intelektual atas semakin kuatnya oligarkhi kekuasaan di negeri ini.
Oligarkhi pada awalnya adalah kekuasaan berada di tangan sekelompok kecil politisi atau elite politik yang berkonotasi dengan uang (orang kaya). Sebenarnya sudah ada sejak Orde Baru, tetapi transaksi uang itu (politik uang) dalam sistem politik demokrasi yang diterapkan sejak reformasi jelas mencederai demokrasi.
Bukan hanya Oligarkhi di lingkungan “pembuat keputusan” di pusat dan daerah, politik uang atau transaksi uang itu beredar. Tetapi terjadi juga dalam setiap Pemilu. Bukan hanya bagi-bagi uang di warung-warung kopi, sawah dan serangan fajar, bahkan juga pemindahan suara untuk memenangkan seorang kandidat yang mestinya kalah.
Dengan kata lain, politik sudah terjebak ke dalam “sistem oligarkhi” atau suatu pola penggunaan uang dan materi untuk memenangkan pemilihan.
Caleg atau Cabup sulit menang tanpa melibatkan uang atau materi lainnya. Berbagai macam aturan dibikin, tetapi gagal mencegah gejala tersebut. Timbullah korupsi politik yang sulit diberantas oleh KPK.
Tentu saja tidak semua pemenang kontes pemilihan politik menang dengan cara seperti itu. Pasti ada calon yang berlaga dengan lebih mengandalkan modal politik atas dasar reputasi, performans, kecerdasan dan interaksi yang terbangun lama.
Sedihnya politik uang menjalar di kalangan akar rumput sudah menjadi realitas yang tidak bisa disembunyikan dan hal itu bersumber pada kemiskinan.
Suara akan diberikan kepada siapa yang berani membayar lebih tinggi. Sering kita dengar istilah “wani piro atau berani membayar berapa”.
Saya pernah diperingatkan oleh seorang pemuka masyarakat yang sangat terpandang sehabis ceramah sebab menganggap hal itu sebagai bagian dari rasuah. Kata beliau, biarlah mereka orang kecil ikut menikmati demokrasi tiga kali dalam lima tahun (Pileg, Pilbup dan Pilgub ).
Saya pun tersadar ada problem kemiskinan, suatu faktor yang mendasar.
Timbul pertanyaan apakah demokrasi yang kita terapkan sejak reformasi sesuai dengan kondisi masyarakat kita?
Kata Alexis de Tocqueville, penulis buku “Democracy in Amerika” yang meramalkan bahwa Amerika Serikat akan menjadi kampiun demokrasi karena didirikan oleh pejuang demokrasi yang melarikan diri dari penindasan kaum aristokrat di Eropa Barat.
Imam Mawardi pada abad pertengahan juga menulis dalil atau teori bahwa “sistem politik suatu bangsa terbangun dari aqidahnya (nilai agama dan budaya). Mungkin kita sejak 1999 tergesa-gesa memaksakan sistem politik demokrasi (liberal) tanpa penyesuaian dengan kondisi masyarakat kita.
Mungkin (demokrasi kita) perlu penahapan ya ?
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial-Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015, tinggal di Jakarta.
Advertisement