Ojek Sepeda Ontel Berbahan Bakar Warteg Masih Bertahan Meski Sepi Order
Di tengah maraknya ojek sepeda motor berbasis online, tak membuat para tukang ojek sepeda ontel di kawasan Stasiun KA Tanjung Priok Jakarta Utara patah arang.
Para pengayuh sepeda itu tetap bertahan meskipun penghasilan yang diperoleh menurun. Kalah dengan ojek motor. Namun ada hal yang membuat mereka bersyukur sehingga mampu bertahan di tengah perkembangan zaman.
Di sekitar pintu utara Stasiun Tanjung Priok Jakarta Urara Sugeng, salah ojek sepeda duduk dekat pagar besi. Dia menoleh kanan-kiri sambil berharap ada orang yang membutuhkan jasanya.
Pria asal Tegal Jawa Tengah, ini sudah menarik ojek sepeda ontel sejak 1982. Saat itu, ojek sepeda merupakan pekerjaan yang banyak menjadi pilihan teman-temannya.
Sugeng yang semula bekerja sebagai buruh, kemudian ikut menjadi tukang ojek sepeda sejak saat itu. Jadilah dia sebagai satu dari sekitar 15 tukang ojek sepeda yang masih bertahan di kawasan stasiun di kawasan pelabuhan ini.
Tukang ojek sepeda ontel ini tak ambil pusing dengan harga BBM, baru mengeluh kalau harga nasi di Warung Tegal (Warteg) naik. "Ibarate kita ini kan menggunakan bahan bakar nasi uduk, kalau lagi laper ya nggak bisa ngegas alias mancal," kata Sugeng bercanda.
Sugeng mengenakan tarif ojek Rp10 ribu untuk jarak dekat, Rp 15 ribu untuk jarak menengah sampai Pelabuhan Sunda Kelapa sejauh kurang-lebih 2,2 km, dan Rp25 ribu untuk jarak jauh sampai Ancol sekitar 4 km.
Pria berusia kepala enam ini bisa mengantar penumpang lebih jauh dari itu, melampaui jarak 7,5 km. Namun tak selalu ada orang yang memakai jasanya. Itulah penyebab penghasilannya tak menentu.
"Ya nggak tentu. Kadang Rp50 ribu, kadang Rp60 ribu, kadang Rp80 ribu per hari," kata Darmadi. Duit Rp50 ribu dinilainya cuma cukup untuk beli kopi dan jajan.
Para tukang ojek sepeda ini mempunyai hubungan cukup baik dengan warung di sekiatar tempatnya mangkal. Setidaknya sebagai tempatnya bersandar kalau penumpang sepi.
Dia merasa semakin susah mendapatkan penumpang sepeda ontel di zaman sekarang. Soalnya, ojek berbasis aplikasi daring ada di mana-mana dan mudah diakses, sehingga ojek sepeda yang dia lakoni semakin tersingkir dan jumlahnya terus berkurang.
"Dulu pegawai-pegawai bank hingga kantor pajak sering menggunakan jasanya. Sekarang pada naik ojek online semua," kenang bapak Sugeng yang menginjak usia 55 tahun. Badannya masih kelihatan kekar, hanya kulitnya gosong terbakar terik mata hari.
Sugeng terpaksa mengakhiri wawancara dengan Ngopibareng.id karena salah seorang pelanggannya minta diantar ke pelabuhan peti kemas atau Jakarta International Container Terminal di Pelabuhan Tanjung Priok.
Supaya pengguna jasa ojek sepeda ontel merasa nyaman, pantatnya tidak beradu dengan besi, maka pada boncengan sepedanya diberi bantalan dari spon supaya empuk.
Problem yang dihadapi tukang ojek sepeda ontel karena ojek daring jadi pesaing dalam mencari rezeki. Penghasilan bersih per hari sebesar Rp 50 ribu, padahal dulu, dia bisa mendapat Rp 200 ribu per hari.
"Setelah ada online, penghasilan menurun. Ya susahlah. Saingan berat itu, karena motor online kan bisa ngebut sampai 60 km/jam. Kalau ngontel pelan-pelan pokok tekan," kata Mohamnad Saroni. sambil memegang sepeda bututnya, Dia kemudian duduk di bawah pohon.
Pria asli Brebes ini tinggal di dalam masjid karena menjadi marbot. Dengan demikian, pengeluarannya bisa lebih diminimalkan.
"Kalau sudah mahgrib, saya sudah nggak balik ngojek lagi. Saya jadi marbot ngurus masjid. Kalau ngejar duit mah nggak ada cukupnya," ujarnya yang bersyukur masih bisa menunaikan kewajiban ibadah agamanya karena bekerja sebagai marbot.
Dari pekerjaan ini, dia menghidupi anaknya di Brebes yang sudah kelas 3 SMA dan masuk pesantren. Anak keduanya masih duduk di kelas 3 SD. Dia masih punya satu bayi.
Ia menceritakan kondisi pada 2006 saat pertama kali narik ojek sepeda. Saat itu masih banyak orang yang menggunakan jasanya mengantar orang yang akan bekerja di pelabuhan .
"Hari Sabtu dan Minggu penumpang sepi, hanya dapat buat makan doang, kadang Rp50 ribu sehari," keluhnya.
"Sekarang ini penumpangnya agak kurang. Sudah begitu, banyak ojek online, kita kalah murah," kata Saroni.
Beruntung, Saroni yang mangkal di dekat pasar, karena aktivitas di pasar membutuhkan jasa mereka, tak sekadar mengantar orang, tapi juga kebanyakan mengantar barang.
"Jujur aja ya, kalau lagi rezeki sih dapat Rp150 ribu atau Rp100 ribu. Kalau lagi sepi-sepinya ya Rp70 ribu sampai Rp80 ribu. Dapat aja sih di sini," katanya.
Sugeng dan Saroni merupakan dua dari puluhan ojek sepeda ontel yang bertahan dari gempuran moda transportasi di Jakarta. Tak berniat pindah ke ojek motor mengikuti jejak teman-temannya.
"Saya tetap menjadi ojek sepeda ontel saja, mungkin sudah menjadi garis hidup saya," kata Sahroni yang merangkap sebagai marbot, merawat kebersihan masjid.
Advertisement