Ogah Dipoligami, Jumlah Perempuan Minta Cerai di Saudi Meningkat
Kasus perceraian selama masa Pandemi COVID-19 di Arab Saudi meningkat. Setelah kebijakan 'terbuka' di negeri Petrodolar itu, perempuan minta cerai lebih banyak dengan alasan ogah dipoligami.
Tercatat dalam masa karantina pandemi di Arab Saudi, jumlah kasus perceraian mencapai 7.482 atau meningkat sebesar 30 persen pada bulan Februari 2020 lalu.
Perceraian itu dipicu setelah para istri yang sah mengetahui suami mereka masing-masing juga memiliki istri dan keluarga lain.
"Di antara mereka adalah seorang dokter yang menemukan bahwa suaminya menikah diam-diam dengan seorang warga Arab," kata Pengacara Saudi Saleh Musfer Al-Ghamdi, dikutip dari Gulf News, Sabtu 6 Juni 2020.
Tercatat, 52 persen permintaan perceraian pada bulan itu berasal dari kota-kota Makkah dan ibu kota Riyadh. Mayoritas perempuan yang meminta cerai karena sang suami berpoligami adalah karyawan, pengusaha, perempuan terkemuka di masyarakat dan dokter perempuan.
Poligami, praktik mengambil lebih dari satu istri, adalah sah dalam agama Islam dan status hukumnya berbeda antara negara-negara mayoritas Muslim.
Meskipun legal di negara-negara Teluk Arab, namun hal itu ilegal di negara-negara lain seperti Turki dan Tunisia. Praktik ini telah lama menjadi bahan perdebatan dan dicap sebagai isu hak-hak perempuan.
Kultur mulai berubah
Memang, beberapa perempuan Saudi merasakan norma budaya berubah. Sejak putra mahkota dan pemimpin de facto Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) bergerak untuk membentuk masyarakat konservatif ini ke dunia luar. Sejak itulah, secara umum menjadikan para perempuan 'sedikit' lebih liberal ketimbang Saudi beberapa dekade silam.
Dalam sebuah wawancara dengan CBS News pada 2018, Pangeran Salman mengatakan, "Baik laki-laki maupun perempuan harus berpakaian sopan ... tetapi Islam tidak secara partikular mewajibkan (perempuan) harus mengenakan abaya atau penutup kepala," ujarnya seperti dikutip dari the Telegraph.
"Keputusan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan itu untuk memilih jenis pakaian sopan dan terhormat yang hendak ia pakai," lanjut sang putra mahkota yang resmi ditunjuk oleh ayahnya, Raja Salman bin Abdulaziz al Saud, menjadi pewaris takhta --dan efektif sebagai pemimpin de facto-- Arab Saudi pada 21 Juni 2017.
Bagi Manahel Otaibi (25), mengenakan celana jins dan T-shirt adalah sebuah kebebasan, bahkan, menandakan kemenangan. Ia tak lagi membiasakan diri mengenakan abaya, kain serba hitam yang merupakan pakaian tradisional untuk perempuan di Negeri Petrodolar.
Otaibi hanyalah salah satu perempuan saudi yang mulai merasakan bentuk emansipasi --meski dinilai terlambat bagi akademisi feminis-- setelah bertahun-tahun lamanya "terbelenggu" sejumlah pembatasan.
Tak hanya soal abaya, perempuan Arab Saudi kini dapat bebas bepergian tanpa izin wali laki-laki, boleh mengemudikan sendiri kendaraannya, memiliki hak untuk memilih dalam pemilu dewan kota, dan hak atas akses pendidikan serta kesehatan tanpa izin dari wali laki-laki.
Selain itu, perempuan Saudi juga bisa memulai bisnis mereka sendiri secara bebas tanpa izin dari wali laki-laki, boleh menonton di stadion, menduduki jabatan publik strategis, berolahraga di depan umum, mendaftar ke militer, hingga dapat mempertahankan hak asuh anak bila bercerai.
Bahkan, aturan terbaru di Arab Saudi kini memungkinkan wanita untuk menyewa kamar hotel tanpa kehadiran wali pria, dan turis pria bersama wanita bukan muhrimnya juga dapat menginap dalam satu kamar tanpa bukti pernikahan.
Advertisement