Oei Hiem Hwie, Sosok Penjaga Api Literasi "Medayu Agung Surabaya"
Matahari berpijar terang di sekitar kompleks Perumahan Kosagrha, Medokan Ayu, Surabaya pagi itu. Cuaca panas pun terasa menyengat di sekitar lokasi Perpustakaan Medayu Agung berada.
Angin sepoi-sepoi yang keluar dari kipas angin tak mampu meredam panasnya Kota Surabaya di hari itu. Dalam beberapa tahun terakhir, perpustakaan itu juga terasa berbeda dari sebelumnya.
Ini karena sosok pendiri perpustakaan, Oei Hiem Hwie sudah tak lagi rutin datang untuk 'menjaga' buku-buku serta arsip-arsip koleksinya.
Salah satu pegawai perpustakaan, Ani, menjelaskan bahwa pria yang akrab disapa Pak Oei itu sudah jarang berkunjung ke perpustakaan miliknya akibat sakit yang ia derita.
"Sudah jarang ke sini sekarang karena sudah semakin tua. Umurnya mau menginjak 88 tahun kan tahun ini. (Beliau) didera penyakit 'tua' juga," tuturnya.
Oei Hiem Hwie, pria kelahiran Malang 88 tahun lalu merupakan pemilik perpustakaan yang dinaungi sebuah yayasan bernama "Yayasan Medayu Agung Surabaya" atau yang disingkat Yamas.
Perpustakaan ini merupakan saksi perjalanan hidup sang pemilik. Sebuah kisah panjang penuh liku yang telah ia rangkum dalam sebuah buku.
Wartawan dan Penjara
Oei di masa muda, sekitar tahun 1960, merupakan seorang wartawan salah satu surat kabar terkemuka di Jawa Timur, Trompet Masjarakat.
Semasa menjadi kuli tinta, ia kerap melakukan liputan di Malang maupun Surabaya. Selain aktif sebagai wartawan, ia juga aktif berorganisasi di Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan atau yang disingkat sebagai Baperki.
Pekerjaannya sebagai wartawan dan juga sebagai salah satu pengurus Baperki itulah yang mengantarkan Oei bertemu orang-orang penting di negeri ini. Sebut saja Siauw Gok Tjan, ketua Baperki Pusat, Oei Tjoe Tat, hingga Presiden Sukarno.
Kekagumannya terhadap Bung Karno pun tumbuh seiring liputan yang ia lakukan di Istana Negara selama beberapa tahun.
“Pak Oei ini sangat mengagumi sosok Bung Karno. Potret-potret Bung Karno tersebar dan tergantung di mana-mana. Ada sekitar 300 koleksi mengenai Bung Karno yang tersimpan di perpustakaan,” ujar Didin, seorang pegawai perpustakaan.
Namun, perjalanan hidupnya yang semula baik-baik saja berubah seiring gejolak politik di negeri ini. Malapetaka pun menghampiri Oei.
Keterlibatannya di Baperki, organisasi yang berlandaskan ideologi Nasakom serta kecintaannya pada Soekarno, membuat dirinya dipenjara pada tahun 1967.
Awalnya ia hanya dikenakan wajib lapor, namun perubahan besar di masa pemerintahan Orde Baru membuat Oei sempat mendekam di penjara untuk waktu yang tak sebentar.
“Pak Oei pindah dari penjara ke penjara, awalnya kan dipenjara di Malang, kemudian ke Surabaya, terus lanjut ke Nusakambangan, dan yang terakhir di Pulau Buru tahun 1970-an awal sampai bebas di tahun 1979. Di Pulau Buru itu dia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer,” ujar Didin.
Pramoedya dikenal luas sebagai seorang sastrawan. Karya-karyanya telah menghiasi dunia literasi Indonesia dari generasi ke generasi hingga kini.
Karyawan Toko Buku
Setelah bebas dari penjara di Pulau Buru, Oei kemudian berusaha untuk melanjutkan kehidupannya.
Karena kemampuannya di bidang tulis menulis, Oei kemudian menjadi sekretaris pribadi Haji Masagung, seorang pengusaha yang bergelut di bidang percetakan dan penjualan buku PT. Gunung Agung.
Kesungguhan Oei dalam bekerja, pun membuat Haji Masagung memberinya kepercayaan untuk memegang kendali Gunung Agung di wilayah regional Jawa Timur.
Singkat cerita, Oei meninggalkan pekerjaannya di Gunung Agung, Ia kemudian membuka toko buku besutannya sendiri yang ia beri nama Medayu Agung. Buku-buku yang dijual di toko buku tersebut antara lain adalah buku-buku bertemakan sejarah, sosial, budaya, dan yang berhubungan dengan Bung Karno.
Namun, jiwa sosial yang ia miliki sejak muda mendorongnya untuk mengabdikan buku-buku koleksinya tersebut kepada masyarakat. Meski begitu, butuh bertahun-tahun bagi Oei untuk mewujudkan cita-citanya tersebut.
Keinginannya baru terealisasi pada tahun 2001. Selain dana untuk membangun sebuah perpustakaan pribadinya sudah terkumpul, pemerintahan Orba telah runtuh berganti era reformasi, sehingga tidak ada lagi bayang-bayang pencekalan.
“Berdiri sejak tahun 2001. Awalnya tidak di sini (Medayu Selatan VII), tapi di rumahnya Pak Oei (Medayu Selatan IV). Karena tidak memungkinkan untuk menampung buku-buku Pak Oei, sekitar 10.000 eksemplar, makanya pindah,”, tutur Didin.
Kondisi perpustakaan sekarang masih tertata dengan rapi. Koleksi-koleksi buku, majalah lawas, serta arsip lainnya tersusun secara baik per kategorinya. Namun bantuan terkait pemeliharaan dan peremajaan koleksi-koleksi dari dinas-dinas terkait, belum sampai ke Perpustakaan Medayu Agung.
“Padahal, dulu Bu Risma (Tri Rismaharini) sempat datang. Pak Hilmar (Farid) juga sempat datang ke sini beberapa waktu lalu. Tapi ya begitu, tidak ada pembahasan lanjutan kepada kami,” ujar pria yang telah bekerja di perpustakaan Medayu sejak 2010 ini.
Advertisement