BPOM Mempertanyakan Validitas Data Obat Covid Temuan Unair
Universitas Airlangga yang mengklaim telah menemukan obat Covid-19, kemarin melaporkan hasil penelitian uji klinis obat tersebut kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Laporan uji klinis itu wajib dilakukan sebelum diproduksi secara massal.
Namun, yang melaporkan uji klinis obat tersebut bukan Universitas Airlangga langsung, melainkan diserahkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa. Dalam penelitian obat Covid-19 ini, Universitas Airlangga memang bekerjasama dengan TNI AD dan Badan Intelejen Nasional (BIN).
Terhadap hasil uji klinis tersebut, Badan POM menyebut masih harus melakukan evaluasi untuk dapat menyimpulkan apakah uji klinis tersebut valid atau tidak. Selain itu, evaluasi itu dibutuhkan untuk mengetahui apakah obat kombinasi tersebut lebih baik daripada obat standar yang digunakan.
Berdasarkan temuan, Badan POM membutuhkan klarifikasi pada komunitas penelitian di wilayah Bandung yang dilakukan pada tanggal 27-28 Juli 2020. Badan POM menyebut, perlu beberapa klarifikasi data yang sifatnya kritis, yaitu data laboratorium yang dapat membuktikan bahwa efektivitas kombinasi obat yang sedang diuji itu lebih baik daripada obat standar.
Badan POM juga membutuhkan data soal efektivitas temuan obat tersebut pada subyek dengan derajat penyakit sedang dan berat. Data ini dibutuhkan karena yang menjadi sampel untuk obat ini yaitu para relawan di Sekolah Calon Periwra (Secapa) di Bandung. Para relawan ini diketahui merupakan pasien dengan gejala ringan. Bahkan ada juga pasien tanpa gejala yang seharusnya tidak perlu diberikan obat tersebut.
Badan POM juga akan menilai perbaikan dan klarifikasi yang diberikan oleh peneliti dan atau sponsor. Jika perbaikan dan klarifikasi tersebut tidak dapat mendukung validitas hasil uji klinis, maka peneliti harus mengulang pelaksanaan uji klinis.
Kepala Badan POM menekankan perlunya kehati-hatian dalam pengambilan keputusan dari hasil uji klinis ini, mengingat penggunaan obat kombinasi baru yang tidak tepat akan mengakibatkan risiko efek samping, resistensi dan biaya yang tidak perlu.
“Hal lain yang perlu menjadi perhatian dalam memproduksi obat adalah bahwa obat kombinasi tersebut harus dapat diformulasi dengan baik dan tidak menimbulkan inkompatibilitas baik secara kimia maupun fisik. Industri Farmasi yang akan memproduksi harus telah memiliki sertifikat Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB),” tutur Penny K. Lukito Kepala Badan POM.
“Semua keputusan dilakukan berdasarkan bukti ilmiah yang kuat dan dilakukan oleh tim KOMNAS Penilai Obat. Badan POM akan memberikan Persetujuan Penggunaan pada masa darurat jika hasil evaluasi data uji klinik tersebut dinyatakan valid dan sesuai serta telah memenuhi aspek mutu dalam proses pembuatannya,” tegas Penny.