Nyaris Pertumpahan Darah, Suu Kyi Tak Menyadari Gejolak Myanmar
Pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi, tetap ditahan sejak militer melakukan kudeta 1 Februari 2021. Dengan ditahannya Suu Kyi, kemungkinan ia tidak menyadari gejolak yang sedang berlangsung di negaranya.
Bahkan, menurut PBB, bila terus berlangsung Myanmar akan menghadapi "pertumpahan darah dalam waktu dekat".
Seorang pengacara yang mewakili pemimpin yang digulingkan, Min Min Soe, mengatakan pada Kamis 1 April 2021, dia tidak sepenuhnya yakin apakah Aung mengetahui protes dan tindakan keras militer yang mengguncang Myanmar sejak 1 Februari.
Dia menambahkan, dia tidak dapat memberi tahu para pemimpin yang digulingkan tentang situasi yang sedang berlangsung di negara ini, seperti dikutip Russian Today, Jumat 2 April 2021.
Setidaknya 538 warga sipil telah tewas selama kerusuhan dua bulan di negara itu, menurut perkiraan kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Kebrutalan akhir pekan lalu menjadi yang paling mematikan sejauh ini, dengan setidaknya 141 tewas pada hari Sabtu saja.
Meskipun tindakan keras brutal yang dilakukan oleh militer terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta, kerusuhan terus mengguncang negara. Pada hari Kamis, gelombang protes baru dilakukan oleh aktivis anti-kudeta. Demonstrasi tersebut melibatkan pembakaran salinan konstitusi buatan militer, berdasarkan cuplikan dari video.
Dalam kasus Myanmar, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno L Marsudi aktif melakukan dialog dengan negara-negara kawasan, khususnya yang tergabung dalam ASEAN. Hal itu merupakan perwujudan dari keprihatinan Presiden Joko Widodo agar kasus Myanmar menjadi fokus penyelesaikan yang dijalankan ASEAN.
Gencatatan Senjata Junta Militer-Kelompok Etnis Bersenjata
Sementara itu, Junta Militer Myanmar menawarkan gencatan senjata selama satu bulan usai mereka terlibat pertempuran dengan kelompok etnis bersenjata di perbatasan.
Selama gencatan senjata itu, militer tetap memberikan respons keras atas aksi yang dianggap mengganggu keamanan dan administrasi pemerintahan. Demikian Associated Press, Kamis 1 April 2021.
Militer Myanmar berhadapan dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata di area perbatasan.
Beberapa di antaranya adalah Tentara Arakan di Rakhine dan Tentara Kemerdekaan Kachin yang menyerang pos-pos Militer Myanmar di kota Shwegu.
Kelompok etnis bersenjata tersebut telah menyatakan bahwa mereka menolak kudeta Myanmar dan akan membalas aksi junta militer.
Situasi Myanmar kian tidak menentu akibat gejolak setelah kudeta militer.
Kelompok oposisi meminta bantuan kepada milisi etnis supaya ingin melindungi mereka dari kejaran aparat Myanmar.
Gejolak itu membuat kelompok milisi Myanmar, baik yang masih aktif maupun sudah membubarkan diri, ikut terseret dalam pusaran konflik.
Hal itu terbukti dengan meningkatnya frekuensi kontak senjata antara kedua belah pihak.
Mereka merangkul kelompok etnis minoritas bersenjata untuk meningkatkan tekanan pada pemerintah militer. Mereka ingin membentuk tentara federal sebagai penyeimbang angkatan bersenjata pemerintah.
Sejumlah kelompok besar, termasuk Kachin, Karen di timur dan Tentara Arakan secara terbuka mengecam kudeta tersebut dan menegaskan akan membela pengunjuk rasa di wilayah yang mereka kuasai.
Sementara itu tawaran gencatan senjata dari militer belum mendapat respons. Tidak ada reaksi langsung terhadap pengumuman gencatan senjata dari pasukan etnis minoritas.
Setidaknya 536 orang tewas sejak kudeta 1 Februari lalu. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar mengatakan jumlah korban sebenarnya kemungkinan jauh lebih banyak.
Advertisement