Nyai Nur Ismah, di Antara Perempuan-Perempuan Penjaga Al-Quran
Kepergian Ibu Nyai Hj Nur Ismah binti Kiai Abdullah Salam menyisakan sejumlah kenangan di kalangan kaum santri. Nyai Nur Ismah, wafat pada Jumat malam, 18 September 2020, adalah santri terakhir KH. Arwani Amin Kudus yang berhasil mengkhatamkan hafalan Qira'at Sab'ah kepada mertuanya tersebut.
Sementara santri pertama yang khatam Qira'at Sab'ah di hadapan KH. Arwani adalah ayahnya sendiri, KH. Abdullah Salam Kajen.
Dalam sejarah Islam, ada seorang Perempuan otoritatif di bidang Al-Quran, namanya Hafshah binti Umar bin Khatthab. Perempuan pertama yang selain hafal, juga berhasil menguasai fonologi Al-Quran dari Nabi Muhammad SAW, guru yang sekaligus suaminya.
Sementara sosok yang kali pertama mempunyai gagasan penulisan (kodifikasi) Al-Quran adalah Umar bin Khatthab, sahabat Nabi yang juga ialah bapaknya sendiri.
Mengenai peran Hafshah dalam kodifikasi Al-Quran, Prof Ruqayya Khan, ketua Islamic Studies di Claremont Graduate University, California, merilis sebuah penelitian yang ia beri judul: “Did a Woman Edit the Quran? Hafsa’s Famed Codex.” Khan menyebutkan, bahwa Hafshah telah mentranskrip, dan kemudian menyebarkan ayat-ayat Al-Quran.
Pada banyak kesempatan, Nabi SAW menginstruksikan Hafshah menuliskan ayat-ayat Al-Quran untuknya. Demikian pula, ayahnya, Umar, menganggapnya sebagai otoritas dalam bidang Al-Quran.
Dengan demikian, Hafshah secara berkesinambungan dianggap sebagai Perempuan pertama penjaga Rasm dan Qira'at Al-Quran.
Di mata para santri dan santriwati, Ibu Nyai Nur Ismah memiliki peran serupa sebagai Perempuan penjaga Al-Qur'an. Ya, Perempuan Penjaga Al-Qur'an yang otentik sebagaimana Hafshah, tentu dalam skala dan konteks yang berbeda. Persamaan jejak yang khas dan rangkaian sanadnya sama-sama berkelas, kwalitas jaminan mutu. Otentik lahir batin.
Menurut M Luthfi Thomafi, santri dan alumi Al-Azhar Mesir, menulis bahwa Syaikh Mutawalli Al Sya'rawi, seorang guru Tafsir Al Qur'an dari Mesir. Suatu hari pergi ke Indonesia, dengan tujuan mengajarkan Al Qur'an kepada orang-orang Indonesia. Sesampainya beliau di Indonesia, beliau terkejut, ternyata orang Indonesia mahir Al Qur'an. Beliau pun menangis, hingga tersedu. Tangisan itu membangunkannya dari tidur.
"Ternyata beliau bermimpi. Beliau senang dengan mimpi itu, dan beliau ceritakan kepada orang-orang, termasuk di pengajian-pengajiannya," tuturya.
Banyak orang Indonesia yang masuk dalam definisi mimpi beliau. Ibu Nyai Nur Ishmah binti Abdullah Salam, istri Kiai Ulin Nuha Arwani, Pengasuh Ponpes Yanbu' Al Qur'an Kudus, adalah contohnya. Beliau, dengan sang suami, adalah "orang yang kegiatannya sehari-hari hanya membaca dan menyimak Al Qur'an". Santri-santri beliau bersaksi, bahwa "beliau membaca Al Qur'an di luar kepala tanpa sekalipun salah, baik 1 huruf atau 1 harakat".
"Saya tidak pernah nyantri kepadanya, dan saya juga tidak ada hubungan darah dengannya. Namun demikian, dari kejauhan, saya merasakan kharisma dan wibawanya. Sinar kebersihan jiwanya menerangi hati siapa saja yang bertemu dengannya, atau bagi yang sekadar memandangnya, atau bahkan sekalipun hanya menatap fotonya," tutur Luthfi Thomafi.
Demikian wallahu a'lam.