Nyai Nihayah, Perempuan di Balik Tokoh Penggagas Khittah NU
Inna lillahi wa innailaihi Raaji'un. Duka bagi umat Islam, khususnya kaum santri dan keluarga besar Nahdlatul Ulama. Ibu Nyai Hj Nihayah, Pengasuh Ponpes Ashiddiqiyah Putra ("Ashtra") Jember pada Kamis malam (sekitar pukul 21.00 WIB) 10 Januari 2019, bertepatan 4 Jumadil Awal 1440 di RS Jember.
Nyai Nihayah adalah istri KH Ahmad Siddiq (almaghfurlah, Ketua PWNU Jatim, Rais Am NU 1984-1991 dan penggagas Khittah NU). Almarhumah genap berusia 81 tahun.
Jenazah almarhumah, insya Allah akan dimakamkan pagi ini, Jumat pukul 08.00 WIB, di Pesarean Masjid Al-Ghofilin Gang Panili jalan KH Shiddiq, Jember.
"Kami mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas wafatnya beliau. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan," tutur Robikin Emhas, Ketua PBNU, pada ngopibareng.id, Jumat 11 Januari 2019 dinihari.
"Nyai Nihayah adalah perempuan di balik perjuangan penggagas Khittah NU, KH Achmad Siddiq. Selama hidupnya, mendampingi KH Achmad Sidiq serta pengabdiaannya kepada NU."
Peran Nyai Nihayah
Di balik nama besar Rais Am PBNU KH Achmad Siddiq, di situ terdapat peran Nyai Nihayah yang luar biasa dalam menjaga dan memotivasi untuk terus berjuang dan mengabdi pada NU. Meski pada akhir hayatnya, Nyai Nihayah berjalan dengan terseok akibat penyakit yang diderita sejak menunaikan umrah beberapa tahun sebelumnya, Nyai Nihayah masih tampak bersemangat dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Semakin bertambah umur, semakin memancar pula aura keibuan dari raut wajah yang sudah mulai mengeriput itu. Nyai Nihayah wafat dalam usia 81 tahun.
Nyai Nihayah adalah perempuan di balik perjuangan penggagas Khittah NU, KH Achmad Siddiq. Selama hidupnya, mendampingi KH Achmad Sidiq serta pengabdiaannya kepada NU.
“Saya ini sebetulnya adalah adik ipar dari Pak Achmad. Kakak sayalah yang dipinang pertama kali oleh Pak Achmad; kemudian kakak saya meninggal,” kata Nyai Nihayah, terlahir pada 1938, ketika mengenang masa lalunya. Ia ingat betul, kakaknya tersebut meninggalkan lima anak yang juga diasuhnya.
“Saya kala itu masih menapaki bangku sekolah. Tepatnya di Muallimat Atas dan Sekolah Guru Atas yang berada di Kota Solo. Saya belajar di sana juga atas pilihan Pak Achmad, yang waktu itu menyuruh saya menimba ilmu di lembaga tersebut,” kenang Nyai Nihayah. Selepas menempuh pendidikan di Solo, sang kakak yang merupakan istri Kiai Achmad berpulang ke rahmatullah.
Tak lama kemudian KH Mahrus Aly Lirboyo, yang merupakan teman dekat Kiai Achmad, merasa iba dengan keadaan yang menimpa teman akrabnya tersebut. Hidup tanpa pendamping dengan segudang kegiatan bukanlah hal yang mudah dan mengenakkan. Atas dasar ini juga, kemudian Kiai Mahrus diam-diam menemui ayah dan ibu dari Nyai Nihayah. Usut punya usut ternyata Kiai Mahrus ingin menikahkan dirinya dengan Kiai Achmad. Dan akhirnya atas jasa Kiai Mahrus tersebut, Nyai Nihayah benar-benar dipersunting oleh Kiai Achmad. Dalam menapaki kehidupan keluarga bersama Kiai Achmad Siddiq dirinya telah dikaruniai tujuh keturunan.
Nyai Nihayah juga selalu mendampingi dan memberikan dorongan semangat dalam setiap perjuangan yang dilakukan oleh suaminya. Lebih-lebih ketika KH Achmad Siddiq terserang kencing manis. Karena penyakitnya itu pula ke manapun KH Achmad Siddiq pergi dirinya harus mendampingi. Dokter mengharuskan Kiai Achmad mendapatkan injeksi insulin setiap hari.
“Dan yang melakukan penginjeksian itu saya, karena tidak mungkin harus mengundang dokter setiap hari. Mahal, Mas,” Nyi Nihayah mengungkapkan masa lalunya.
Berkat pendampingan istri yang andal inilah KH Achmad Siddiq tetap mampu berorganisasi secara aktif hingga akhir hayatnya; bahkan telah menelorkan ide besar sekaligus dengan konsepnya tentang gerakan Khittah NU 1926 yang monumental itu.
Mengabdi Untuk NU
Nyai Nihayah termasuk perempuan yang luar biasa. Selama hidupnya, di sela memegang peran sentral dalam keluarga (merawat suami, mengasuk anak dan lima keponakan), ia masih membagi waktu dan mengabdikan tenaganya untuk NU. Di tengah himpitan waktu yang ada, ia tetap aktif di Fatayat dan Muslimat Cabang Jember. Kepercayaan demi kepercayaan terus diamanatkan kepadanya. Pernah menjadi Ketua Fatayat selama 3 periode dan Ketua Muslimat selama 4 periode berturut-turut.
Sebagai seorang leader di lingkungannya, ia berhasil memberikan kontribusi nyata kepada NU maupun masyarakat. Dengan menggalakkan prinsip sedekah untuk umat, yang diterapkan di lingkungan Muslimat NU kala itu, ia beserta jajarannya berhasil membangun sebuah rumah sakit bersalin Muslimat NU yang diberi nama RSBI Muna Parahita. KH As’ad Syamsul Arifin beserta KH Achmad Siddiq merupakan peletak batu pertama dari pembangunan rumah sakit tersebut. Pada momentum tersebut Kiai As’ad berpesan kepada Nyai Nihayah agar rumah sakit itu dikelola sebaik mungkin dengan manajemen yang transparan supaya mampu bersaing dengan rumah sakit-rumah sakit lain.
Kebiasaan Unik
Sebelum wafatnya, perempuan yang berdomisili di lingkungan Pesantren As-Shiddiqi Putra (Ashtra) ini menceritakan kebiasaan unik yang dilakukan oleh KH Achmad Siddiq.
“Pak Achmad itu dulu punya kebiasaan menamai anak-anaknya sesuai dengan momentum yang terjadi kala itu,” kenangnya.
Beberapa nama keturunan dari Nyai Nihayah memang terasa aneh didengar. Namun dibalik itu, ternyata Kiai Achmad ingin mengabadikan momentum itu pada masing-masing nama anaknya.
Pada saat Kongres Islam Asia-Afrika (KIAA) misalnya, momentum ini ia sematkan pada anak perempuannya dengan nama Ken Ismi Asiati Afrik Rozana. Yang kedua, saat Kongres Rabithah (kongres pondok pesantren se-Indonesia) dengan Jember sebagai tuan rumahnya, Kiai Achmad mengabadikan momentum tersebut kepada anaknya dengan panggilan Muhammad Rabith Hazmi.
Sejarah kembalinya UUDS ke UUD 1945 juga tak luput dari perhatiannya, yang kemudian ia abadikan pada anaknya dengan panggilan Nida Dusturiyah. Dan yang paling akhir adalah ketika para Kiai NU memisahkan diri dengan pendirian Bung Karno yang dianggap terlalu memihak pada PKI. Sejarah ini pun ia abadikan pada nama anaknya dengan Muhammad Baliyah Firjoun Barlaman. (adi)
Advertisement