Nuzulul Quran, Kisah Paling Mendebarkan dalam Hidup Rasulullah
Di dalam bulan Ramadan terdapat malam-malam yang istimewa: Malam Nuzulul Quran, saat diturunkannya Kitab Suci umat Islam, dan malam pencarian Lailatul Qadar.
Tentang hal Lailatul Qadar, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang menyebutkan, Lailatul Qadar itu terjadi pada saat diturunkannya Al-Quran (Nuz al-Qur'an).
KH Husein Muhammad menulis tentang makna Nuzul Al-Qur'an, dalam ulasan berikut:
Bila bulan Ramadan tiba, Nabi pergi sendirian ke sebuah gua di puncak gunung yang dikenal sebagai Hira. Gua ini terletak di Jabal Nur (Gunung Cahaya), sekitar 6 km sebelah utara Masjid al-Haram, Makkah. Tinggi gunung ini 281 m, panjang pendakian sekitar 645 meter. Meski tidak terlalu tinggi, tetapi medannya cukup berat. Untuk bisa mencapai gua tersebut, kita harus mendaki bebatuan yang terjal dengan sudut kemiringan yang cukup tajam. Perjalanan menuju ketempat ini ditempuh dengan jalan kaki selama sekitar satu jam.
Nabi ingin menghindari segala hiruk-pikuk kehidupan berikut segala keruh dan kebisingannya. Ia ingin mencari kebenaran dan hanya kebenaran saja. Sepanjang bulan Ramadan, Muhammad Saw melakukan permenungan, “tahannuts”, atau “khalwah”, kontempelasi intens (semedi), meditasi, dan mengamati tentang kehidupan dan fenomena semesta, dalam ruang yang sepi dan sendiri.
Khadijah, isterinya yang amat setia dan mencintainya selalu mendukung sambil meneguhkan hatinya. Bila suaminya hendak khalwah di gunung itu, ia mempersiapkan bekal yang cukup untuk keperluannya itu selama waktu yang diperlukannya. Bila Muhammad ingin pulang, beliau pun turun. Sepanjang perjalanan dari gua Hira ke rumah dan sebaliknya, matanya selalu melihat ke kanan, ke kiri dan ke langit biru. Ia seperti mengharap sesuatu yang dapat menjawab kegelisahan dan keresahan hatinya. Langkah-langkahnya pelan seakan penuh beban berat. Bila malam tiba ia segera beristirahat. Bila tidur ia acap diganggu oleh mimpi-mimpi yang aneh dan menakutkan.
Suatu hari, konon tanggal 17, saat beliau sedang berdiri di atas gunung, sambil matanya mengelilingi ruang alam, tiba-tiba datang sosok yang disebut Jibril menampakkan diri di hadapannya, dan mengatakan : “Selamat atas anda, Muhammad. Aku Jibril dan anda adalah utusan Allah kepada umat ini”. Ia merengkuh tubuh Nabi sambil mengatakan : “Bacalah !”. Muhammad saw. Menjawab: “Aku tidak bisa membaca”. "Bacalah !", katanya lagi. Muhammad mengulangi jawaban yang sama. Jibril lalu menarik dan mendekapnya sampai menyulitkan beliau bernapas. Setelah dilepaskan, Jibril mengulangi lagi perintahnya dan dijawab dengan jawaban yang sama. Pada yang ke empat kalinya Muhammad saw kemudian mengucapkan kalimat suci ini:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ. خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ. إِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُ الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ. عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan (melalui) pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”, (S.Q. Al ‘Alaq, 1-5).
Siti Khadijah Menyelimuti Nabi
Begitu selesai, Jibril langsung menghilang, pergi entah ke mana. Muhammad bin Abdullah, tetap merasa ketakutan. Tubuhnya menggigil. Keringat dingin mengalir deras dari pori-pori tubuhnya. Beliau bergegas pulang menemui Khadijah, isterinya, dengan hati yang diliputi rasa galau, cemas dan takut. Katanya:
“Zammiluni, Zammiluni, ya Habibti".
"Selimuti aku, selimuti aku, sayangku”.
Sayyidah Khadijah, isteri yang cantik itu, segera mengambil kain panjang hangat (selimut) dan menutupkannya ke seluruh tubuhnya rapat-rapat, sambil tetap berada di dekatnya dan mendekapnya. Ia terus membesarkan hati suaminya sambil berdoa bagi keselamatannya. Setelah rasa takutnya mereda, beliau kemudian menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya dan mengatakan: “Aku takut diriku, sayang. Aku takut diriku”.
Sayyidah Khadijah binti Khuwailid itu mendengarkannya dengan penuh perhatian dan sayang, lalu mengatakan dengan lembut, membesarkan hatinya :
كَلّا. أَبْشِرْ فَوَ اللهِ لَا يُخْزِيكَ اللهُ اَبَداً, وَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِى الضَّيْفَ, وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak, sayangku. Demi Allah, Dia tidak akan pernah merendahkanmu. Engkaulah orang yang akan mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia, memikul beban penderitaan orang lain, bekerja untuk mereka yang papa, menjamu tamu dan menolong orang-orang yang menderita demi kebenaran”.
Advertisement