Nusantara Akihabara
Ini bukan cerita soal orang Jepang. Tapi tentang warga NU yang sedang berada di negeri itu. Baik yang karena bekerja maupun sedang menyelesaikan sekolah.
Saya sempat bertemu sebagian dari mereka. Saat salat Jumat di Masjid Nusantara. Masjid di lantai 5 bangunan di distrik Akihabara. 10 menit dari Ginza. Pusat belanja kenamaan.
Jangan bayangkan seperti masjid di perkantoran yang besar-besar. Disebut masjid di Tokyo ini hanya seukuran kamar besar. Sekitar 45 meter persegi.
Masjid ini merupakan masjid milik NU di Tokyo. Masih menyewa. Di lantai bawahnya ada kantor SBI (Spirit Baru International Co. Ltd) dan kantor PCINU. Yang juga dipakai jamaah Jumat jika lantai 5 sudah penuh.
Muhammad Anwar pemilik kantor jasa kirim uang atau remitensi ini. SBI singkatan dari Spirit Baru International Co. Ltd. "Kami berkantor di sini sejak tahun 2016," kata Anwar, WNI kelahiran Jakarta yang sudah tinggal di Jepang sejak 2008..
Anwar tidak hanya pemilik kantor lantai 4 di Yamaume Building, Chiyoda, Tokyo ini. Tapi juga takmir merangkap marbot Masjid Nusantara Akihabara. Masjid itu beroperasi tahun 2019, setahun sebelum pandemi COVID-19.
Ia bercerita, sebelum mengontrak ruangan lantai 5 yang kini difungsikan sebagai masjid, sebagian kantornya difungsikan jadi musholla. Kapasitas mushollanya hanya bisa menampung 7-9 orang. "Karena Akihabara pusat elektronik, makin banyak turis dan warga Indonesia yang datang," kenang Anwar.
Karena itulah, ia bersama teman-temannya berinisiatif membikin Masjir Nusantara Akihabara. Masjid itu bisa menampung puluhan jamaah. Bahkan, pernah kali pertama shalat Idul Fitri kali pertama dihadiri ratusan orang.
"Sampai penghuni gedung ini kaget. Lalu lapor ke polisi. Setelah dijelaskan bahwa ada masjid, maka polisi yang kemudian menjelaskan kepada penghuni gedung lainnya," tutur Anwar mengisahkan.
Menurutnya, NU diterima oleh aparat keamanan maupun warga Jepang. Mereka juga banyak yang tahu tentang Gus Dur alias Abdurrahman Wahid. Karena itu, begitu disebut masjid milik NU mereka umumnya menerima dengan lapang dada.
Masjid Nusantara Akihabara juga menonjolkan simbol-simbol NU. Ada logo jagat dengan tali longgar yang besar didinding. Saat khotbah, khatib memegang tongkat sebagaimana tradisi masjid NU di Indonesia. Juga ada bacaan shalawat diantara dua khotbah.
Saya datang ke Masjid Nusantara bersama Atase Kehutanan KBRI di Tokyo Dr Zahrul Mutaqin. Diplomat santri asal Tuban Jawa Timur. Alumnus IPB dan Australian National University (ANU) Canbera.
Sejak bertugas di Tokyo dua tahun lalu, ia menjadi salah satu tokoh NU di negeri Sakura ini. Apalagi ia masih kerabat Ketua Umum PBNU almarhum KH Hasyim Muzadi. Kini ia menjadi Mustasyar PCINU Jepang.
Menurut Zahrul, selain Masjid Nusantara Akihabara, ada sejumlah masjid didirikan warga Nahdliyin di Jepang. Misalnya, Masjid NU At-Taqwa di Koga dan Masjid Kabukicho Tokyo.
‘’Sebetulnya banyak masjid yang didirikan oleh teman-teman Nahdliyin. Namun kemudian diakuisisi oleh tetangga sebelah atau komunitas Pakistan. Misalnya masjid Sanno dan masjid Fujikawaguchico,’’ katanya.
Menjadi khatib saat itu Ketua Tanfidziyah PCINU Ahmad Ghazali. Pria asal Pamekasan Jawa Timur ini merupakan kandidat doktor pada Gifu University. Mengambil studi tentang serangga di Fakultas Ilmu Pertanian.
Ia akan menjadi santri profesional baru. Santri yang memiliki kompetensi di bidang sains sekaligus ahli agama. Selain santri di berbagai pesantren, ia menjalani pendidikan tingkat SD sampai SMA di madrasah. Lalu menjadi mahasiswa Saintek di UIN Malang.
Gazali menyelesaikan pendidikan S2 di Fakultas Biologi UGM. Di setiap jenjang pendidikan formalnya, ia selalu menjadi santri di pondok pesantren. Ketika di Malang, ia mondok di PP Alhamidiah dan mondok di PP Nailul Ula, Ploso Kuning, Yogyakarta.
Latar belakangnya itu yang barangkali membuat ia memikirkan pengembangan NU di sela-sela kesibukannya menyelesaikan studi doktornya. Ia tergugah untuk membantu warga NU di Jepang tang makin hari makin banyak jumlahnya. Baik yang sedang menjadi mahasiswa maupun pekerja imigran di sana.
Kini ada sekitar 7 ribu mahasiswa Nahdliyin dari Indonesia yang sedang belajar di Jepang. Juga puluhan ribu WNI yang sedang menjadi pekerja imigran di negeri ini. Tidak jarang dari mereka yang telah menjadi pengusaha, bahkan memiliki staf warga asli Jepang.
Gelombang baru santri seperti Gazali ini memang makin besar. Gelombang baru anak-anak warga Nahdliyin yang menjelajah pendidikan umum di berbagai perguruan di luar negeri. Mereka yang mulai tumbuh kembang di tahun 1990-an ini yang mengembangkan PCINU di berbagai negara.
Mereka ini yang akan menjadi jaringan baru mengglobalkan NU. Tentu ini searah dengan tekad baru Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf yang ingin menjadikan NU sebagai inspirasi peradaban baru. Menjadikan agama-agama sebagai solusi dunia, bukan polusi.
Secara internal tumbuh lapis sosial baru yang berasal dari para santri yang memperoleh eksposur pendidikan umum. Lapis baru ini akan semakin mewarnai lini strategis kehidupan dengan latar belakang tradisi keagamaan yang lebih bisa diterima kelompok strategis di luar Islam.
Masjid Nusantara Akihabara sebetulnya bukan semata tempat ibadah warga Nahdliyin di negara tempat perantuan. Ia menjadi simbol baru perubahan sosial di dalam NU, sekaligus memberikan harapan baru peran NU dalam peradaban dunia.
Rasanya tak lagi bermakna negatif ketika ada sebutan kaum sarungan untuk Nahdliyin. Justru ke depan mereka akan menjadi kaum sarungan yang kompeten untuk ikut menentukan arah baru dunia. Semoga!
Advertisement