Nurhadi Dianiaya Ketika Hendak Konfirmasi Tersangka Korupsi
Nurhadi, 33 tahun, Minggu siang meluncur ke Polda Jawa Timur. Dia didampingi istrinya, Anisa, seorang guru di sekolah Islam di Surabaya. Didampingi pula beberapa aktivis dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, KontraS Surabaya, LBH Lentera, LBH Pers, dan LBH Surabaya.
Mereka ke Polda untuk melaporkan penganiayaan yang dilakukan oknum-oknum aparat terhadap wartawan Tempo di Surabaya itu, Sabtu malam, di halaman gedung Samudra, Bumimoro Surabaya. Sebagai jurnalis, alumni IPB (Institut Pertanian Bogor) ini datang ke gedung untuk konfirmasi kepada bekas Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji.
Sabtu malam, Angin Prayitno Aji memang sedang menghelat perkawinan putranya dengan putri Kombes Pol. Ahmad Yani, mantan Karo Perencanaan Polda Jatim. Tetapi ternyata kehadiran Nurhadi ke gedung perkawinan itu membuat aparat dan orang-orang Angin Prayitno Aji kalap. Mereka menganiaya Nurhadi sehingga menderita luka.
“Mata saya ditonjok, juga perut dan dada. Sampai saat ini masih terasa sakit semua,” kata Nur Hadi, Minggu siang, sebelum berangkat ke Polda dari kantor KontraS Surabaya.
Nur Hadi memang hanya ingin mendapatkan wawancara, meskipun hanya satu atau dua kalimat dari Angin Prayitno Aji. Angin bersama seorang pejabat Ditjen Pajak lainnya, Dadan Ramdani telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, karena diduga menerima suap setelah melakukan rekayasa dengan mengurangi jumlah pajak yang harus disetorkan beberapa perusahaan kepada negara. Tiga perusahaan telah diperiksa oleh KPK karena merekasaya pajak itu, masing-masing PT Jhonlin Baratama, PT Bank Pan Indonesia (Panin) dan PT Gunung Madu Plantations.
Di Jakarta, beberapa wartawan Tempo belum juga mendapatkan wawancara dengan Angin Prayitno Aji, untuk membuat laporan yang berimbang. Bahkan ada wartawan yang telah ditugaskan nyanggong di rumah Angin Prayitno Aji, tetapi belum juga berhasil mewawancarainya.
Ketika mendengar tersangka punya hajat mantu di Surabaya, kantor redaksi Tempo segera menugaskan Nurhadi, yang sudah bekerja selama 6 tahun di Tempo, untuk melakukan wawancara secara door stop. Meluncurlah dia ke gedung perkawinan yang berada di komplek Akademi Angkatan Laut itu.
Nurhadi sempat masuk ke gedung perkawinan, sempat pula memotret pelaminan di mana Angin Prayitno Aji berdiri mendampingi putra dan menantunya. Dia tidak tahu ada tanda larangan memotret. Karena itulah dia segera digiring ke luar, di masukkan ke dalam mobil untuk dibawa ke Mapolres Tanjung Perak, tapi di tengah jalan dibawa kembali ke areal gedung perkawinan. Selanjutkan dia dihajar oleh tangan-tengan kekar. Nurhadi meyakinkan, tidak ada petugas dari TNI AL yang ikut menganiaya dirinya.
Diantar beberapa aktivis, Nurhadi akan melaporkan penganiayaan atas dirinya itu kepada Polda untuk memperoleh keadilan. Aparat, siapapun mereka, harus taat pada hukum. Tidak boleh asal hajar. Kalau tidak bekenan pada kehadiran seorang jurnalis di gedung perkawinan, ada cara yang bisa dilakukan tanpa melakukan penganiayaan.
Nurhadi sendiri, sebagai seorang jurnalis, layak dihargai karena dia juga sedang menjalankan tugas dari atasannya di Jakarta yang wajib dia kerjakan.
Menurut Rifki Cholis, advokad yang ikut mendampingi Nurhadi melapor ke Polda, banyak pasal yang bisa dikenakan kepada para penganiaya, tidak saja pasal-pasal dalam KUHP tetapi juga pasal-pasal dalam UU Pokok Pers dan Undang-undang lainnya.
“Tadinya kita mau pakai pasal 351 ayat 2, pelakunya bisa diancam 5 tahun penjara. Tetapi Nurhadi ternyata keberatan, karena untuk menerapkan pasal itu dia harus rawat inap di rumah sakit. Karena itu kita pakai Pasal 351 ayat 1, pelaku diancam hukuman 2 tahun penjara. Kita juga akan pakai undang-undang lainnya, banyak yang bisa diterapkan,” kata Rifki Cholis.
Atas penganiayaan terhadap Nurhadi ini, AJI Surabaya, Kontras, LBH Lentera, LBH Pers, dan LBH Surabaya mengeluarkan pernyataan sikap, yang mendesak agar Polda Jatim mengusut tuntas kasus ini serta memastikan para pelakunya mendapatkan hukuman sesuai peraturan hukum yang berlaku.
Eben Haezer, Ketua AJI Surabaya menyatakan bahwa apa yang dilakukan para pelaku adalah termasuk kegiatan menghalang-halangi kegiatan jurnalistik dan melanggar UU no.40 tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, juga melanggar UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 tahun 2005 tentang tentang pengesahan konvensi hak sipil dan politik dan Perkap No. 8 Th. 2009 tentang pengimplementasi Hak Asasi Manusia.
“Kami mengecam aksi kekerasan ini dan mendesak aparat penegak hukum untuk professional menangani kasus ini, apalagi mengingat bahwa sebagian pelakunya adalah aparat penegak hukum,” ujar Eben. Dia juga mengingatkan kepada masyarakat serta aparat penegak hukum bahwa kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-undang Pers.
Rachmat Faisal, koordinator Kontras Surabaya mengatakan bahwa terulanganya kasus kekerasan terhadap jurnalis ini menunjukkan lemahnya aparat kepolisian dalam memberikan perlindungan terhadap jurnalis yang melakukan kerja-kerja jurnalistik. “Polisi juga gagal mengimplementasikan Perkap Nomor 8 tahun 2009 mengenai implementasi HAM dalam tugas-tugasnya,” Ujar Faisal. (nis)