Nurani Keadilan dari SD Ketintang 2 Surabaya
Mendadak seorang pendaftar mengundurkan diri setelah tahu SD Negeri Ketintang 2 termasuk sekolah inklusi. Praktis pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019/2020 ini hanya mendapat tujuh murid. Dari 7 murid itu, lima di antara adalah anak berkebutuhan khusus (ABK).
"Kami tidak kaget kalau hanya mendapat murid sebanyak itu. Kami tahu, masyarakat memandang sebelah mata karena ini sekolah inklusi," kata Ny Nanik Djumiati, Kepala SDN Ketintang2, Jumat 21 Juni.
Ketujuh siswa itu pun banyak yang dari luar zona seperti dari Rungkut, Sidotopo. Mereka memilihnya karena dikenal sangat peduli terhadap ABK. Anak-anak normal yang sekolah di situ bisa ditebak umumnya dari keluarga kurang berkecukupan atau miskin. Kalau yang berkecukupan, kelas menengah ke atas mustahil mau sekolah di situ.
Sebenarnya populasi calon siswa di zona SDN Ketintang 2 cukup banyak. Tetapi masyarakat memilih di SD lain seperti SDN Ketintang 1, SDN Karah 3. "Banyak yang tidak mau menyekolahkan anaknya di sini karena takut anaknya ketularan anak-anak berkebutuhan khusus. Takut tidak mendapat pembelajaran yang memadai. Padahal semua itu hanya stigma negatif terhadap sekolah ini. Buktinya nilai Ujian Nasional anak-anak normal sini tidak kalah dengan SDN lain," kata Masfufah, guru senior SDN Ketintang 2.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang siswanya terdiri dari anak-anak normal dan ABK. Mereka dididik secara bersama-sama dalam satu proses belajar membelajarkan. Hanya materi ujian mereka berbeda. Saat ini kelas 6 memiliki siswa 17 reguler (normal) dan 14 ABK. Kelas 5 perbandingannya 17-10. Kelas 4, 11-10. Kelas 3, 14-11. Kelas 2, 13-13. Kelas satu, 7-5. Kategori berkebutuhan khususnya macam-macam. Mulai autis, hiperatik, hambatan intelektual, tunawicara, dwon syndrome.
Di Surabaya sekolah inklusi sebanyak 51 unit. Tetapi hanya SDN Ketintang 2 yang mau menerima murid ABK dalam jumlah banyak. Sekolah lain hanya satu dua ABK per kelas. Sering kali menerima pindahan dari sekolah lain karena siswa ABK tidak tahan di-bully oleh siswa normal.
Atas dasar panggilan kemanusiaan dan rasa keadilan inilah, menurut Nanik, akhirnya SDN Ketintang 2 menerima ABK tanpa batasan jumlahnya. Tidak tega untuk menolak mereka. Mereka kurang beruntung sejak dilahirkan. Sering kali di masyarakat dibully. Diperlakukan tidak adil.
Potret Diskriminasi
SD Ketintang 2 hanya merupakan potret adanya diskriminasi yang terjadi di dunia persekolahan. Diskriminasi lain bisa dalam bentuk membagi secara dikhotomis sekolah unggulan vs sekolah kapiran, sekolah favourite vs sekolah underdog, sekolah kota vs sekolah pinggiran.
Jika pada jaman penjajahan Belanda diskriminasi itu berupa sekolah Belanda vs sekolah pribumi, sekolah priyayi vs sekolah rakyat. Benang merah kesejarahan itu hampir tak berubah meski rejim berganti hingga kini.
Ketimpangan juga dalam pelayanan sekolah. Pendirian sekolah menumpuk di pusat kota, sementara kecamatan daerah pinggiran tidak kebagian. Satu contoh Kabupaten Sidoarjo. Ada 4 SMAN di kota sementara masih ada kecamatan yang tidak memiliki SMAN. Misalnya Kecamatan Sedati yang berbatasan dengan Surabaya dan sedang tumbuh pesat. Akhirnya anak-anak Sedati harus sekolah di SMAN kecamatan lain. Yang terdekat adalah SMAN Gedangan yang berjarak sekitar 7 km.
Dalam dikriminasi tentu ada ketidakadilan. Persis yang terjadi di dalam dunia sosial ekonomi di mana yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Di dunia persekolahan pun terjadi semakin melebarnya ketimpangan. Yang unggulan makin unggul yang kapiran makin terpuruk.
Kalau dalam ekonomi teriadi penumpukan modal, demikian juga di dunia persekolahan terjadi penumpukan modal, sumber daya, di sekolah-sekolah unggulan. Mulai enrolment berupa anak-anak pintar, guru-guru terbaik, fasilitas, anggaran, dukungan politik birokrasi. Terkadang yang kebacut, sekolah unggulan menjadi potret oligarkis kekuasaan dan orang kekayaan untuk mengeruk keuntungan.
Pendidikan yang berdiri dengan penyangga kapitalisme tidak akan seluruhnya lepas dari ruh kapitalisme yaitu penindasan, ketidakadilan, kerakusan, monopoli, bahan dehumanisme. Maka jangan heran kalau pakar sosial pendidikan Ivan Illich berteriak: Deschooling Society. Mampuslah sekolah karena di dalamnya penuh penindasan, mencetak manusia bermental budak, ada dehumanisasi, penyingkiran martabat.
Seandainya saja kritikus pendidikan Paulo Friere melihat fenomena pendidikan di Indonesia, dia akan yakin bahwa sekolah menjadi ladang subur persemaian dehumanisme.
Keberuntungan dan Kemalangan
"Para orang tua anak-anak itu puas atas layanan kami. Dan kami juga merasa bahagia jika dedikasi kami membuat mereka puas," katanya.
Bagi para guru dan tenaga kependidikan, mengajar di sekolah inklusi lebih menantang. Harus lebih sabar. Harus punya strategi dan pendekatan khusus secara personal. Lebih menyentuh hatinurani. Kalau mau cari mudah dan enak, pilih mengajar anak-anak normal. Lebih enak lagi mengajar di sekolah favorit atau unggulan.
Yang lebih menantang lagi adalah bagaimana membangun interaksi yang positif antara siswa ABK dengan siswa normal. Sehingga mereka menjadi satu puak yang saling asah, asih dan asuh. Yang normal bisa ngemong dan menyantuni yang ABK.
Kepada anak-anak normal itu ditanamkan ajaran moral, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain (khairul insan anfauhum lil insan). Bukan yang tertawa karena melihat manusia lain tidak beruntung. Bukan gembira karena manusia lain menderita. Bukan yang IQ-nya tinggi, yang pintar, yang kaya, yang berkuasa.
Melalui proses keteladanan para guru dan tenaga kependidikan, motivasi dan pembelajaran, anak-anak normal itu memiliki rasa welas asih, kasih sayang terhadap siswa ABK. Bisa ngemong. Melindungi. Menjaga hatinya. Membantu saat kesulitan. Mengajari.
Dari situlah nilai-nilai martabat manusia bisa dikembangkan. Bersyukur karena diberi kelebihan dari yang lain. Rasa syukur itu direfleksikan dalam bentuk kasih sayang terhadap yang malang atau kurang beruntung. Berbagi rasa, berbagi kasih.
Bagi siswa ABK menjadi enjoy karena mendapatkan kasih sayang dari teman seusia, dari gurunya. Mereka merasa tidak tersisihkan. Tidak tersingkirkan karena justru kemalangannya secara alami. Kepercayaan dirinya terangkat.
Di SD Ketintang 2 kemalangan dan keberuntungan adalah suatu pengakuan yang jujur dan tidak disamarkan. Tetapi kemalangan dan keberuntungan telah dibingkai dalam harkat kemanusiaan dan keadilan. Seperti cara Nabi Muhammad membingkai keduanya: "Tidaklah termasuk umatku yang bisa tidur nyenyak karena kenyang sementara di balik tembok rumahnya orang lain tidak bisa tidur karena lapar." (Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo).