Nukleus Peradaban Yahya Staquf
Peradaban baru menjadi kata yang paling banyak disebut Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Kata ini bak tongkat magis yang mengantarkan dia menjadi orang nomor satu di organisasi Islam terbesar di dunia ini.
Staquf –demikian teman-temannya biasa memanggil– menjadikan peradaban sebagai obsesinya. Mengawal peradaban baru yang lebih damai dan maslahah menjadi cita-citanya. Bisa-bisa juga menjadi mimpinya setiap ia terlelap.
Ia seperti membawa spirit para utusan Tuhan saat diturunkan di muka bumi. Yang tidak hanya menjadi seorang penyampai. Tapi pengubah yang menggerakkan zamannya. Bukan hanya pendakwah. Tapi pendobrak bagi generasinya.
Tapi bagaimana ia akan mengubah atau setidaknya mengarahkan peradaban baru dunia itu bisa terjadi? Dari mana ia akan memulai dan apakah ada tanda-tanda langkah kongkret untuk menuju ke sana? Apa modalnya untuk melakukan itu semua?
Ada sejulah premis yang ia tawarkan dalam mendorong lahirnya peradaban baru tersebut. Pertama, bahwa agama adalah inspirasi dan solusi. Tidak seharusnya agama-agama yang mengandung ajaran suci itu diselewengkan para pembenci di muka bumi ini.
Gagasan ini sudah ia dakwahkan sejak 2013 lalu. Saat ia masih menjadi skrup kecil di gerbong besar yang bernama NU. Dengan modal nama besar Gus Dur (Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid), ia mulai menawarkan pemikirannya ke berbagai kelompok strategis dunia.
Bersama pamannya KH Ahmad Mustofa Bisri, ia mendirikan Yayasan di Amerika. Menjadi lapak untuk “jualan” konsep Islam Rahmah dan Humanitarian Islam ke berbagai penjuru dunia. Ia membangun jaringan dengan tokoh strategis di AS maupun Uni Eropa.
Tentu ia belum bisa menjadi pengubah. Ia baru bisa menjadi pengungkit kesadaran baru dengan pemikiran-pemikirannya. Ia butuh kendaraan yang lebih besar. Yang bisa menggerakan dengan lebih kencang. Yang menjadi eksemplar nyata dari gagasannya.
Staquf mendapatkan hal itu setelah terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar di Lampung. Kini, ia bukan hanya pengelana dengan gagasan peradaban barunya. Kini dia adalah nakhoda kapal besar yang menjadi wujud kongkret dari upayanya membangun peradaban baru.
Namun NU bukanlah kapal besar yang langsung siap layar untuk mengarungi samudra luas. Ia belum memiliki penggerak maupun mesin yang efektif untuk mewujudkan mimpi besar Yahya Staquf. Mimpi menjadikan NU sebagai perwujudan agama sebagai inspirasi dan solusi bagi umat manusia.
Karena itulah, lahir premis kedua dalam membangun peradaban baru dunia. Bahwa keluarga adalah nukleus alias intinya inti dari sebuah peradaban dunia. Perubahan harus dimulai dari yang kecil: keluarga. Keluarga yang maslahah. Keluarga yang dapat memenuhi atau memelihara kebutuhan primer (pokok), baik lahir maupun batin.
Dalam perspektif NU, keluarga maslahah adalah konsep untuk menyebut keluarga yang bahagia, sejahtera dan taat kepada ajaran agama. Maslahah berasal dari kata sho-lu-ha yang berarti baik, manfaat dan penting. Ini menjadi kepentingan perorangan, keluarga dan masyarakat. Juga harus menjadi cita-cita setiap orang, kelompok dan kaum muslimin.
Di mata Staquf, NU sebagai jamiyah alis organisasi harus hadir dalam memberikan manfaat kepada warganya. Kepada manusia secara keseluruhan. Bukan sekadar kapal besar yang sekadar menjadi modal gagah-gagahan. Ia harus mewujud ke dalam diri warganya. Harus memberi manfaat bagi kehidupan nyata.
Manfaat itu harus mewujud. Bisa dirasakan. Kalau sampai manfaat NU belum bisa dirasakan oleh warganya maupun umat manusia secara keseluruhan, maka yang salah para pengurusnya. Untuk menjadikan NU sebagai jamiyah bermanfaat itu, ia menkonsepkan Govern NU, sistem pemerintahan NU.
Tentu yang dimaksud ini bukan pemerintahan seperti yang dipahami dalam administrasi negara. Tapi lebih bagaimana organisasi NU, dari pusat sampai ranting, bisa menggerakan program-program yang bermakna bagi warganya. Setiap program harus jelas output dan outcomenya. Nyata hasil dan dampaknya.
NU, menurutnya, harus menjalankan fungsi pemerintahan sesuai dengan kapasitasnya. Yakni, menyediakan layanan kepada warga dan memobilisasi sumberdaya untuk didistribusikan kepada warga. Semua itu bisa dijalankan NU, terutama untuk hajat-hajat terkait dengan keagamaan.
Terkait hal ini, PBNU di bawah kepemimpinanya telah menyusun indikator-indikator kinerja untuk mengevaluasi dan memonitor hasil kerja seluruh pengurus dan unit-unit kerjanya. Di seluruh lapisan. “Kalau kinerjanya berhasil dirasakan warga, mereka akan mendapatkan reward. Kalau tidak ya mendapatkn sanksi,” katanya.
Contohnya di bidang kesehatan. PBNU mematok indikator kinerja pengurus cabang minimal harus mempunyai klinik. Tingkat PWNU harus memiliki rumah sakit, dan seterusnya. Demikian juga program-program di sektor lainnya. Hanya dengan demikian, maka kehadiran pengurus di setiap lini akan dirasakan manfaatnya.
Staquf mengakui bahwa hal seperti itu merupakan hal baru dalam NU. Belum pernah terjadi sebelumnya. Belum pernah menjadi gagasan dan program aksi dalam kepengurusan NU sebelumnya. Karena itu, belum tentu semua pengurus di setiap lini memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai berbagai target capaian tersebut.
Makanya, ia perlu membentuk satuan tugas. Semacam Task Force. Semacam Staf Kepresidenan dalam pemerintahan. Yang tugasnya memastikan pembinaan keluarga maslahah sebagai nukleus peradaban bisa berjalan. Tidak hanya menjadi program, apalagi omongan dari atas podium. Tapi menjadi realitas sosial yang akan menjadi intinya inti peradaban.
Satgas itu bernama Satgas Gerakan Keluarga Maslahah NU (GKMNU). Satgas yang diketuai Ketua Umum PP GP Ansor yang juga Menteri Yaqut Cholil Qoumas ini bertugas menjalankan instruksi PBNU, membina, mendampingi dan membantu membangun akses semua lini kepemimpinan NU untuk pelaksanaan gerakan ini.
Jadi ada dua pilar strategis NU dalam membangun peradaban baru dalam abad kedua keberadaan jamiyah ini. Pilar diplomasi dunia dengan menginisiasi fikih peradaban dan penguatan keluarga maslahah untuk membangun masyarakat baru yang bahagia, sejahtera dan taat beragama. Jamiyah atau organisasi NU harus menjadi penggerak utama kedua pilar itu.
Sejak menjadi Ketua Umum PBNU, saya melihat pemikiran-pemikiran Staquf yang sangat sosiologis. Artinya, ia mengembangkan model kepemimpinan dan gerakan baru dengan basis pemahaman teori-teori sosiologi yang pernah digelutinya ketika menjadi mahasiswa di UGM sekaligus menjadi santri Ponpes Al Munawir, Krapyak, Yogyakarta.
Karena itu, usai peluncuran GKMNU di Jakarta lalu, saya nyeletuk tentang hal ini. “Wah, ilmunya Ketum PBNU saat kuliah sosiologi ini berkah betul. Sehingga, pandangannya tentang organisasi dan problem masyarakat sangat sosiologis,” kata saya di depan para pengurus PBNU lainnya.
Seperti biasanya, Staquf menanggapi hal itu dengan nada guyonan. “Untung saya tidak sampai lulus kuliah sosiologi. Kalau lulus, paling-paling hanya menjadi orang seperti Najib (Najib Azka, red),” katanya sambil ketawa. Najib Azka adalah adik kelasnya semasa kuliah yang kini menjadi dosen UGM dan Wasekjen PBNU.
Bisa-bisa saja!
Advertisement