NU-Muhammadiyah Fokus Jaga NKRI
Ini adalah bagian akhir dari tulisan saya yang lumayan panjang. Makanya, bernuasa kontemplasi. Saya ingin mengajak pembaca untuk benar-benar mengingat bahwa pendiri NU-Muhammaduah adalah dua sosok hebat yang berangkat dari titik yang sama. Beliau berdua adalah orang-orang yang telah mendedikasikan diri untuk kepentingan umat. Organasi yang beliau dirikan terbukti mampu bertahan sampai usia yang sangat panjang dan telah memberikan manfaat besar untuk masyarakat Indonesia.
Kita juga harus mengenang guru-guru beliau. Dalam konteks Indonesia, ada Syaichona Cholil Bangkalan, Syaich Sholah Darat Semarang, Syaich Nawawi Banten, Syaich Mahfudh Termas, dan Syaich Khatib Minangkabau. Murid -murid yang hebat, tentu tidak lepas dari sentuhan tangan dingin guru-guru yang hebat pula. Maka, mari kita doakan, mereka semua adalah para kekasih Allah (waliyullah), yang mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya.
Kini, selain mengingat perjuangkan beliau berdua, para kader NU-Muhammadiyah harus brusaha mewujudkan cita-cita yang beliau mimpikan dan menjaga apa yang telah menjadi buah dari perjuangannya. Seperti saya singgung di tulisan-tulisan sebelumnya, dengan strategi yang beda –KH Ahmad Dahlan mengambil posisi di masyarakat kota, sedang KH Hasyim Asy,ari mengambil posisi menemani masyarakat desa--, beliau berdua telah mampu membangun civil society yang luar biasa.
Di era pra kemerdekaan, civil society ini telah mengambil peran dalam mengobarkan semangat anti penjajah. Mereka terus bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan bangsanya. Di saat-saat awal kemerdekaan, civil siciety ini dengan sigap menyiapkan segala perangkat untuk berdirinya sebuah negara yang merdeka. Mereka juga dengan sangat arif merumuskan bentuk negara yang bisa mewadahi semua elemen bangsa.
Peran-peran besar ini, saya harap terus dijaga oleh para aktivis di dua organisasi tersebut. Mereka harus selalu di depan, untuk menjaga kekuatan yang mengontrol agar bangsa dan negara tetap berjalan di atas rel yang benar. NU-Muhammadiyah harus terus berposisi sebagai 2 sayap yang sama kuat. Tentu kita tidak menafikan, perbedaan-perbedaan yang pernah ada. Tapi pahami, bahwa itu adalah dinamika sosial yang wajar bila terjadi. Di internal NU-Muhammadiyah saja juga terjadi perbedaan itu.
Dalam konteks berdirinya NKRI, tanpa mengesampingkan kekuatan lainnya, saya menganggap NU-Muhammadiyah memiliki andil yang sangat besar. Keduanya adalah orang tua yang melahirkan NKRI. Saya berharap, semua anak bangsa tidak lupa dengan fakta sejarah itu. Apalagi yang saat ini mendapat amanah sebagai penyelenggara negara. Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang diambil menafikan keberadaan NU-Muhammadiyah. Kalau sampai nekat mengabaikan, menimjam istilah Jawa, mereka bisa kuwalat!
Saat ini, persoalan bangsa begitu kompleks. Kita menyaksikan, sejak era reformasi bergulir di negeri ini, lahir sekelompok anak bangsa yang kehilangan jati diri. Mereka tidak menghargai sejarah bangsanya.
Sebaliknya, mereka terlalu silau dan mengagung-agungkan bangsa lain. Mereka yang kagum dengan negara lain atas capaian ekonomi, maka menjelma menjadi para pelaku ekonomi yang kapitalis. Mereka lupa, bahwa bangsa ini dibangun di atas pondasi gotong royong.
Kelompok ini, menjadikan NKRI sebagai basis menggeruk pundi-pundi kekayaan. Mereka tidak peduli bahwa akibat dari kegiatan ekonominya itu telah menyengsarakan jutaan sauadaranya sebangsa. Mereka dengan buasnya menggeruk kekayaan alam Indonesia tanpa memperhatikan kelestariannya.
Dalam bidang agama, mereka yang terlalu kagum kehidupan keagamaan di negara lain, juga dengan membabi buta memboyong ide-ide yang dianggap lebih Islami untuk diterapkan di Indonesia. Mereka mulai menggugat konsep NKRI yang dulu sudah sedemikian matang didiskusikan oleh para pendiri bangsa. Mereka merasa lebih alim dari para pendiri bangsa itu.
Konsep khilafah dengan percaya diri mereka usung kembali. Mereka menganggap ide itu lebih baik dari konsep NKRI yang ada saat ini. Mereka entah sengaja atau karena tidak tahu, menafikan fakta bahwa kekhalifahan yang pernah ada dalam peradaban Islam, tidak seideal yang mereka paparkan. Percikan darah sesama muslim, banyak menyertai sejarah khilafah tersebut. Yang ironis, mereka yang giat menewarkan konsep itu, banyak yang masuk katagori “Islam anyaran”. Dalam arti, baru mengenal Islam baru-baru ini. Atau bahkan benar-benar baru menjadi Islam; mualaf.
Di saat mereka silau melihat kehebatan konsep lain, mereka seakan tidak mau tahu prestasi yang ada di negeri sendiri. Mereka lupa, NKRI telah berhasil menyatukan bangsa ini yang memiliki wilayah geografis yang sangat luas. Perbedaan agama, bahasa, ras, suku, warna kulit dan budaya telah terwadai dengan baik. Bangsa Indonesai bisa hidup rukun dengan sejarah gemilang, karena tetesan darah relatif minim menghiasi perjalanan bangsa ini. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan kita, telah menjelma menjadi media perekat yang begitu kuat.
Benar, dalam perjalananya bangsa ini masih banyak kekuarangan yang harus dibenahi. Pemimpin negeri ini telah berganti beberapa kali. Namun, berbagai problem itu –khususnya kemiskinan—belum juga tertangani. Banyak rakyat di negeri yang harus menahan lapar di lumbung pagi. Padahal, dengan mudahnya padi ditanam dan tumbuh di negeri ini. Tapi bersyukurlah, di tengah masalah yang belum terurai itu, bangsa ini masih bisa hidup rukun. Coba bayangkan, kalau kerukunan terganggu dan kita dilanda konflik, tentu kondisi akan lebih menyengsakan lagi.
Benar, dari sisi menghasilkan pemimpin yang baik kita masih berproses. Nah, dalam kontek ini, NU-Muhammadiyah harus tampil untuk mengatasi. Lahirkan pemimpin hebat sekaliber Mbah Dahlan dan Mbah Hasyim kembali. Sekaliber dalam arti jiwa patriotiknya, kemauannya untuk berkorban demi kemaslahatan umat, dan kemampuanya mengambil keputusan-keputusaan bijaksana ketika bangsa mengahdapi masalah.
Pemimpin tidak jujur, pemimpin korup, pemimpin egois, pemimpin ambisius yang selalu menggunakan segela cara untuk mencapai tujuan, adalah masalah-masalah krusial yang membebani bangsa ini. NU-Muhammadiyah yang berbasis kepada gerakan sosial keagamaan sangat mungkin ambil peran mengatasi masalah itu. NU-Muhammiyah sangat mungkin mengambil peran sebagai kekuatan civil siciety yang mengontrol berjalannya keuasaan. Bersamaan dengan itu, NU-Muhammadiyah juga bisa berperan menyiapkan anak-anak bangsa yang hebat yang bisa menjadi pemimpin di negeri ini.
Itu misi besar dan berat. Tapi yakinlah, NU-Muhammadiyah bisa melakukannya. Lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki—baik itu pesatren atau yang berbasis umum—harus benar-benar diupayakan menjadi lembaga-lembaga hebat yang bisa melahirkan alumni-alumni hebat. Hebat dalam ketauhidan, hebat dalam ketrampilan, hebat dalam pengetahuan dan hebat pula dalam memimpin bangsanya.
Politik praktis, menurut saya lebih baik dihindari oleh NU-Muhammadiyah. Politik yang pantas dilakukan NU-Muhammadiyah adalah politik kerakyatan dan politik kebangsaan. NU-Muhammadiyah tetap fokus menjaga NKRI. Memposisikan diri sebagai orang tua yang bisa membimbing anak-anaknya agar tidak salah jalan. Walla’hu a’lam bishowab.
*) Akhmad Zaini, mantan Jurnalis Jawa Pos, kini menjadi khadam pendidikan di IAINU Tuban.
Advertisement