NU-Muhammadiyah, Dua Sayap untuk Indonesia
Oleh: Akhamd Zaini
Almarhum Nurcholish Madjid atau Cak Nur pernah memberikan perumpamaan bahwa NU-Muhammadiyah bagai dua sayap untuk Indonesia. Agar negera ini berjalan seimbang dan juga bisa terbang tinggi, maka NU-Muhammdiyah sebagai sayap harus kondisinya sama-sama baiknya. Saya setuju dengan pandangan itu. NU-Muhammadiyah adalah dua kekuatan civil society yang harus dijaga keberadaanya.
Kiprah dua pendiri organisasi ini, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari pada awal tahun 1900-an telah menjadi bukti yang valid. Mbah Dahlan yang “bermain” di area perkotaan telah mendidik anak-anak bangsa untuk menguasai berbagai kemampuan dunia modern yang dikuasai penjajah. Dari kemampuan itu, maka di kemudian hari anak-anak bumi putra (Indonesia) mampu mengelola dan mengembangkan masyarakat dan bangsanya sendiri.
Untuk tujuan itu, Mbah Dahlan mengambil sikap kooperatif. Langkah ini bisa dipahami, karena untuk mengembangkan ilmu-ilmu modern, maka Mbah Dahlan harus berinteraksi intensif dengan bangsa Barat (Belanda) yang menguasai ilmu itu. Apalagi, kota memang menjadi kantong-kantong di mana bangsa Barat tinggal. Yang harus dicatat, dari strategi ini, Mbah Dahlan mampu membangun sejumlah lembaga pendidikan modern dan rumah sakit yang semula hanya dimiliki kaum penjajah.
Sementara, Mbah Hasyim yang “bermain” di area pedesaan dan karena kedalaman ilmu Al-qur’an dan Hadist, maka beliau mengembangkan ilmu itu. Dari Mbah Hasyim lahir para ulama hebat yang tersebar di berbagai kota di nusantara. Para ulama ini, selain menjaga sanad ilmu agama, mereka juga berperan sebagai pendidik masyarakat nusantara dalam menjaga ke-Islamannya. Dari keislaman yang terjaga itu, maka semangat patriotik anti penjajah tetap terpelihara.
Seperti disinggung dalam tulisan sebelumnya, salah satu strategi Belanda dalam melestarikan kolonialisasi di Indonesia adalah menerapkan politik asosiasi. Yakni, agar bangsa Indonesia secara budaya menyatu dengan bangsa Belanda. Dengan penyatuan ini, masyarakat nusantara meski dengan fisik dan warna kulit yang berbeda, diharapkan merasa menjadi satu kesatuan dengan masyarakat Belanda. Mereka menjadi seperti layaknya satu saudara. Bukan antara bangsa yang terjajah dan yang menjajah. Pengkondisian psikologis seperti itu dianggap penting. Dengan begitu keinginan untuk melepaskan diri (baca: merdeka) dari cengkeraman Belanda bisa hilang.
Penyatuan budaya ini, salah satunya harus ditempuh dengan menyatukan agama. Sehingga, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim diupayakan berpindah agama seperti agama yang dipeluk masyarakat Belanda. Indonesia didesain untuk menjadi masyarakat Belanda yang ada di Timur (Asia), yakni, berbudaya, berperilaku dan beagama sama dengan yang ada di Barat (Eropa).
Namun, upaya Belanda itu gagal total. Para ulama pesantren –yang sebagian besar santri Mbah Hasyim—mampu menggagalkan upaya itu. Para ulama ini mengambil sikap non kooperatif. Melalui berbagai strategi, mereka menjaga keislaman bangsa Indonesia. Pesantren-pesantren pun dibangun di kawasan-kawasan yang jauh dari kota. Dengan harapan keberadaan mereka tidak mudah dimata-matai panjajah. Sehingga, proses pendidikan bisa steril dari pengaruh budaya Belanda. Pengemblengan para santri yang diharapkan menjadi para pejuang, juga bisa diamankan dari pantauan Belanda.
Para kiai pesantren yang hidup di tengah-tengah masyarakat desa, juga bisa dengan cerdas memanfaatkan tradisi tahlilan, yasinan, dll untuk menjaga ukhuwah Islamiyah dan penguatan keimanan masyarakat bumi putra. Di dalam kegiatan itu, juga terus ditanamkan semangat patriotik. Semangat anti penjajah, KH Wahab Hasibullah pun menciptakan lagu cinta tanah air yang bersyair bahasa Arab (Yalal Wathon). Konon, lagu itu sengaja dibuat dengan syair Arab, supaya bangsa Belanda tidak mengetahui spirit yang ada di dalamnya.
Untuk memompa semangat patriotik anti penjajah, maka fatwa yang mengharamkan melakukan sesuatu yang menyerupai penjajah, di antaranya cara berpakaian, juga dikeluarkan. Sehingga, para ulama pesantren pada waktu itu menganggap memakai pantalon (celana) adalah haram. Padahal di sisi lain, pada waktu bersamaan, Mbah Dahlan yang menempuh strategi kooperatif membolehkan guru dan siswa di lembaganya memakai pantalon.
Intinya, dari berbagai strategi itu, para ulama pesantren yang mayoritas santri Mbah Hasyim sukses menancapkan dalam-dalam pemahaman bahwa bangsa Indonesia itu beda dengan Belanda. Mereka itu penjajah. Mereka itu kafir. Maka keberadaan mereka di bumi nusantara harus ditiadakan. Dari sinilah jiwa patriotik terus berkobar. Dan puncaknya, ketika Mbah Hasyim mengeluarkan fatwa resolusi Jihad, maka kekuatan besar itu bangkit.
Pekikan takbir Bung Tomo telah menjadi energi luar biasa besar yang bisa meluluhlantakkan sekutu yang akan kembali menjajah Indonesia. Pertempuran 10 November yang sangat heroik itu adalah buah dari sikap nonkooperatif yang dibangun Mbah Hasyim. Dan alhamdulillah, sejarah telah mencatat peristiwa heroik itu.
Kata kooperatif dan non kooperatif, secara diametral memang berhadap-hadapan. Mengandung makna yang berlawanan. Namun, dalam konteks sikap Mbah Dahlan dan Mbah Hasyim, kedua makna yang berlawanan itu malah menjadi dua sisi yang saling menguatkan. Bagai dua sayap kanan dan kiri yang saling melengkapi. Justru karena adanya sayap kanan dan kiri itulah, maka Indonesia bisa terbang. Mengapa? Karena hakikatnya, kedua tokoh hebat ini memiliki sikap yang sama, yakni sama-sama mencintai agamanya. Sama-sama mencitai tanah airnya. Sama-sama ingin agar bangsanya terbebas dari cengkeraman penjajah.
Kini, perjuangan beliau berdua telah membuahkan hasil. Bangsa Indonesai telah merdeka. Meski peran umat Islam yang terwakili dari dua arus besar, meminjam istilah Mas Arief Affandi, mantan pimred Jawa Pos, arus atas dan bawah, arus atas Mbah Dahlan, dan arus bawah Mbah Hasyim, tapi umat Islam tidak egois.
Mereka tidak menafikkan peran kesejarahan umat di luar Islam dalam mengusir penjajah. Negara pun didesain tidak menjadi negara Islam, tapi negara kesatuan yang mewadai segala keragaman agama, budaya suku dan adat istiadat. Pancasila dirumuskan menjadi simpul pertemuan.
Pancasila adalah hadiah sangat mahal dari umat Islam untuk bangsa Indonesia. Konon, ketika perdebatan tentang dasar negara begitu sengit dan mengalami kebuntuan, maka putra Mbah Hasyim, KH Abdul Wahid Hasyim pulang ke Jombang untuk berkonsultasi kepada abanya. Untuk menjawab problem yang disampaikan putranya itu, Mbah Hasyim tidak langsung menjawab. Tapi terlebih dahulu minta petunjuk Allah SWT dengan cara shalat Istikharah beberapa hari dan puasa sunah. Dari pendekatan spiritual inilah akhirnya Mbah Hasyim menyetujui Indonesia menjadi negara kesatuan, bukan negara Islam.
Sama halnya dengan KH Wahid Hasyim, delegasi dari Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo juga melakukan hal serupa. Setelah melalui proses diskusi serius di internal Muhammadiyah, maka mereka menyepakati negara Indonesia berbentuk negara kesatuan. Bukan negara Islam. Dengan isitilah masih-masing, NU-Muhammadiyah menyepakati kalau NKRI adalah bentuk final dari negara ini. Pancasila adalah titik temu, di mana semua kepentingan agama, budaya dan suku terwadahi. (bersambung)
*) Akhmad Zaini, mantan Jurnalis Jawa Pos, kini khadam Pendidikan di IAINU Tuban.