NU Moving Forward
Menarik mengikuti cara berpikir Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Terakhir, dia menyatakan penyebutan kafir untuk non-muslim tak lagi relevan untuk dunia modern.
Bahkan, ia mengemukakan jika pendapat tersebut telah menjadi kesepakatan para ulama NU. Jadi, bukan hanya pendapat pribadi. Tapi sudah ijtima’ ulama. Yang diputuskan lewat Munas Alim Ulama di Banjar, Jawa Barat, beberapa tahun lalu.
Karena itu, kata dia, perlu ada cara untuk mengubah pola pikir ummat Islam terkait kategori kafir atau nonmuslim tersebut. Pola pikir yang telah lama mengendap dalam sebagian besar alam bawah sadar kaum Muslim.
Kiai yang juga jebolan Universitas Gajah Mada (UGM) ini mengemukakan pendapatnya tersebut di acara yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam sebuah webinar dengan tema Turn Back Islamophobia.
Menurutnya, realitas di dunia yang ada bukan hanya Islamophobia. Tapi juga kafirphobia. Turunannya ada judiophobia, hinduphobia, kristopobhia. Semua yang disebut terakhir ini berkembang di kalangan umat Islam.
Bagi Yahya C Staquf, semua itu muncul sebagai warisan konflik panjang berbasis politik identitas. Terutama konflik yang terjadi hampir 700 tahun antara kekhalifahan Ustmaniyah dengan kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa.
Pemikirannnya ini sebetulnya sudah muncul sejak lama. Ia ingin memutus potensi konflik berkepanjangan yang dibungkus dengan politik identitas seperti itu. Untuk apa? Untuk terciptanya peradaban dunia baru yang damai dan maslahat.
Ia rupanya meyakini bahwa peradaban baru hanya bisa dibangun melalui perubahan mindset. Perubahan cara berpikir. Dan Islam adalah cara hidup yang bisa menjadi spirit bagi perubahan. Seperti halnya Nabi Muhammad mengubah bangsa Arab yang jahiliyah.
Sumber persoalan yang menjadikan agama sebagai sumber konflik adalah karena pemahaman agama sebagai simbol identitas. Menjadi alat perjuangan politik. Bukan inspirasi yang menuntun manusia untuk hidup dalam dunia yang secara alamiah beragam dan terus berubah.
Pemahaman itu bukan hanya ada pada Muslim. Tapi juga penganut agama-agama lain. Terutama kelompok agama yang terlibat konflik dalam sejarah panjang peradaban dunia. Antara Islam dan Kristen. Antara Yahudi dan lainnya. Bahkan menjadi simbol identitas perjuangan politik antar penganut agama yang sama.
Lantas sampai kapan dunia akan diwarnai konflik berkepanjangan? Inilah yang ingin diputus mata rantainya oleh Yahya Staquf. Melalui perubahan mindset. Perubahan pola berpikir. Melalui perubahan tentang cara memahami agama.
Baginya tidak masuk akal membawa kembali peradaban Islam ke masa lalu. Apalagi mengembalikan role model sistem kekhalifahan dalam dunia modern. Apalagi mengikuti role model imperium Ustmaniyah yang dibangun dengan perang. Yang luka sejarahnya berkepanjangan hingga sekarang.
Ia menawarkan pemahaman keagamaan Islam seperti yang dianut mayoritas bangsa Indonesia. Yang dulu dia artikulasikan dengan sebutan Islam Nusantara. Pemahaman Islam yang telah terbukti menjadi inspirasi berdirinya NKRI sekaligus menjaga negeri ini teguh dengan kebhinekaannya.
Islam rahmah yang menjadikan humanitarian sebagai basis kehidupan bersama ummat manusia lainnya. Islam yang inspiratif bukan Islam aspiratif. Islam yang mengedepankan tata kehidupan baru yang saling menghargai antar pemilik keyakinan lainnya.
Ia mengartikulasikan hal itu bukan dari ruang hampa. NU ingin ia jadikannya sebagai lokomotif bagi gerbong panjang peradaban dunia. Organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia itu dia jadikan eksemplar bagi peradaban tersebut. Contoh kongkret implementasi paham keagamaan yang relevan dengan kehidupan modern.
Makanya, ketika terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, ia lakukan konsolidasi organisasi. Ia perkuat jam’iyahnya. Sehingga NU bukan hanya besar sebagai jamaah. Tapi juga kuat sebagai organisasi. Menjadikan NU sebagai instrumen untuk role model peradaban dengan Islam sebagai inspirasi.
Sebelum ini, Yahya Cholil Staquf sudah melangkah lebih jauh. Dengan mengandalkan gagasan serta kemampuannya mengartikulasikan gagasan. Melalui jaringan internasional yang dibangunnya. Sehingga bisa menembus pusat-pusat kekuasaan strategis dunia. Di Amerika Serikat dan Eropa.
Sekarang, ia melangkah seperti motonya Toyota: Moving Forward. Melaju ke depan. Tanpa menoleh belakang. Membangun peradaban baru dengan kendaraan besar: Nahdlatul Ulama. Organisasi dengan warga yang lebih seratus juta jiwa. Jelas ini menambah legitimasi dia sebagai pembawa gagasan baru.
Makanya tidak heran, begitu terpilih menjadi Ketum PBNU, para duta besar dari berbagai negara di belahan benua antre menemuinya. Untuk merintis hubungan dan kerjasama dengan NU. Setidaknya ingin menjadi bagian dari gerbong untuk membangun peradaban baru dunia.
Jika NU Moving Forward ini menjadi rangkaian baru gerbong perubahan, Ormas yang berbasis pesantren di pedesaan ini akan menyumbangkan hal baru bagi Indonesia dan dunia. Tonggak baru kepemimpinan Islam di dunia. Yang membawa syiar Islam yang rahmah. Tonggak baru di usianya yang seabad.
Rasanya ingin punya umur lebih panjang. Agar bisa menyaksikan peradaban baru dunia yang didesiminasi oleh NU melalui Yahya Cholil Staquf. Dari ormas Islam yang dulu pernah dengan nada sinis disebut sebagai kaum sarungan. (Arif Afandi)
*) Tulisan ini juga telah dimuat di Harian Jawa Pos, 3 April 2022.