NU Mobil Listrik
NU sedang laris jelang Muktamar di Lampung, akhir Desember 2021 mendatang. Menarik perhatian bagi yang ingin organisasi sosial keagamaan itu makin besar maupun yang ingin mengerdilkan.
Karena itu, jika jagad media sosial dipenuhi perbincangan tentang NU, itu wajar. Ia ibarat gula bagi semut-semut. Layaknya gadis cantik yang sedang direbutkan. Seperti buah ranum yang merangsang untuk dimakan.
NU memang bukan hanya sebuah organisasi keagamaan. Ia sudah berkembang menjadi kekuatan sosial yang setiap geraknya bisa mempengaruhi kehidupan di negeri ini. Lembaga penggerak yang sedang bangkit karena kebesarannya.
Makanya seorang influenzer seperti Faisal Assegaf tampak kesetanan ingin cari perhatian NU. Meski caranya amat sangat keterlaluan. Dengan mendekonstruksi sumber-sumber kekuatan organisasi yang didirikan para kiai ini.
Untung saja, ummat NU telah matang. Mereka tidak terpancing oleh cuitan kasar pria yang panjat sosial lewat media sosial ini. Akibatnya, ia menggonggong dalam sepi. Tak ada yang menggubrisnya meski pernyataannya telah melebihi batas etika.
Setiap celah tak hanya menjadi sasaran cuitan Faisal Assegaf. Pernyataan faktual tentang peran politik NU dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pun jadi bahan gorengan. Jadi modal para pembenci untuk mendegradasikan kebesaran NU.
Sejak dulu, Kementerian Agama RI itu selalu menjadi jatah NU. Ini bagian dari politik representasi dan akomodasi siapa pun yang menguasai sumber daya politik. Kementerian Agama menjadi pos representasi kelompok santri yang perannya memang nyata dalam ikut memerdekakan Indonesia.
Itu di jaman Pemerintahan Bung Karno.
Saat beralih ke rezim Soeharto, Menteri Agama sering diisi militer. Karena Soeharto memang menjadikan ABRI --kini TNI-- sebagai pilar utama penopang kekuasaannya. Saat reformasi, pos itu cenderung kembali menjadi jatah NU. Dulu, Muhammadiyah selalu dapat jatah Menteri Pendidikan dan Menteri Kesehatan.
Nah, kalau pun sekarang Presiden Jokowi memberikan salah satu pos menteri itu kepada NU kembali, apa salahnya? Setiap presiden selalu membutuhkan dukungan politik yang kuat agar bisa menjalankan program-programnya. Dan jabatan menteri menjadi salah satu instrumen representasi dan akomodasi.
Politik selalu bersifat transaksional. Itu sah. Itu memang alamiah. Sesuai konstitusi, setiap 5 tahun transaksi itu dievaluasi kembali. Siapa yang berjasa terhadap kelompok atau seseorang dalam kepemimpinan nasional, mereka layak mendapatkan balasannya.
Transaksi dalam politik bukan semata uang. Tapi kekuasaan. Yakni kekuasaan untuk menjadi pengambil kebijakan. Kekuasaan untuk ikut mendistribusikan program yang bisa menopang kepentingan kelompok atau golongannya.
Jadi wajar jika NU dapat hadiah salah satu sumber daya politik di negeri ini. Jadi tak perlu risau juga jika ada yang mempersoalkan peran politik NU.
Memang sudah saatnya NU tidak terpancing oleh ulah-ulah seperti itu. Fokus saja dengan upaya pembenahan organisasi, pemberdayaan ummat, dan memperkuat peran sosial politik di negeri ini maupun di kancah internasional.
Tidak perlu meladeni orang yang memancing-mancing air keruh. Kalau diladeni malah akan besar kepala. Gegedhen rumongso. Biarlah mereka menggonggong, kafilah tetap berlalu memberdayakan umat, ikut memajukan negeri ini.
Terlalu banyak kita membuang-buang waktu dengan segala hal yang kurang bermakna. Ini pula yang menyebabkan kita sering tertinggal dengan negara lain. Dalam banyak hal. Apalagi tentang inovasi di bidang teknologi.
Mobil listrik, misalnya. Satu dekade lalu, sejumlah anak bangsa telah menggagas produksi mobil listrik. Mobil asli buatan Indonesia. Bukan racikan dari luar. Riset dan uji coba telah dilakukan banyak pihak. Termasuk Dahlan Iskan yang saat itu Menteri BUMN.
Tapi sayang, inisiatif itu mentok di tengah jalan. Karena kita kurang percaya diri. Juga karena lebih suka gadung soal politik. Sehingga inovasi pun menjadi isu politik. Bahkan insiatif itu membawa korban. Pembuatnya masuk penjara. Tak peduli ada kesaksian yang tak masuk akal: mempersoalkan emisi mobil listrik.
Kini, hati saya selalu terusik setiap melihat gencarnya promo mobil listrik yang mulai menyasar pasar Indonesia. Tapi semuanya dari luar. Bahkan, pemain otomotif baru dari China pun ikut berebutan. Bersaing dengan negara penghasil otomotif seperti Jepang dan Korea.
Dalam banyak hal, kita memang masih masuk level bangsa pembelanja. Lebih suka mengambil yang dari luar. Belum percaya diri sebagai bangsa pemroduksi. Obat-obatan, farmasi, bahkan vaksin. Ribut dulu setiap kali ada anak bangsa yang berinisiatif.
Soal paham keagamaan pun lebih suka yang datang dari luar. Seperti mereka yang suka membid'ah-bid'ahkan praktik agama yang telah mempribumi di negeri ini. Dengan menganggap mereka sesat. Bahkan sampai sebutan kafir segala.
Padahal, paham keagamaan yang berkembang di Indonesia telah terbukti bisa menyatu dengan masyarakatnya. Menjadi solusi untuk pemersatu bangsa yang beragam dengan paham dan keyakinan yang berbeda-beda.
Ulama besar bangsa ini telah mewarnai khasanah keagamaan di seluruh dunia. Banyak kitab karyanya masih terkenal hingga sekarang. Mereka diakui sebagai ulama yang menjadi rujukan bagi umat di seluruh dunia. Menjadi guru di pusat bertemunya umat Islam seluruh dunia di Makkah dan Madinah.
Kalau belum bisa memproduksi mobil listrik sendiri dan mengekspornya, saatnya kita mengekspor gagasan. Seperti gagasan paham keagamaan yang bisa mempersatukan keyakinan yang beragam. Seperti paham keagamaan NU yang telah terbukti bermakna bagi persatuan Indonesia.
Kini banyak industri mobil listrik baru di seluruh dunia. Menjadi target perbaikan iklim dan bagian kemajuan teknologi yang tak mungkin bisa dihadang. Namun, industri mobil yang sudah mapan akan lebih gampang diterima pasar. Sebab ia sudah menancapkan kepercayaan konsumennya.
Demikian juga NU. Ia telah membangun paham ke-Islam-an yang bisa mendorong perdamaian dunia. Dengan Islam ramahnya. Dengan Islam Rahmahnya. Bukan Islam yang bisa memancing bentrokan berdarah-darah.
Seperti trend mobil listrik, NU lebih gampang diterima dan dipercaya saat mengekspor gagasan pahamnya. Karena sudah terbukti kiprahnya dan di Indonesia. Rasanya saatnya menjadi pengekspor gagasan. Bukan lagi pengimpor.
Dunia perlu berubah dalam memandang Islam. NU bisa berperan untuk mengubahnya. Ketika kita belum bisa mengekspor mobil listrik, paling tidak mengekspor gagasan yang negara lain belum punya.
Advertisement