NU Mimpikan Universitas, Muhammadiyah Mimpikan Pesantren
NU-Muhammadiyah makin sulit dibedakan. Dulu, sarung menjadi salah satu penanda akan perbedaan itu. Warga NU, dikatakan sebagai kaum sarungan. Sekarang situasi berubah. Beberapa warga NU dan juga pengurusnya, banyak yang lebih “nyaman” mengenakan celana. Yang masih setia bersarung ria biasanya warga NU yang hidup di komunitas pesantren dan pengurus NU di jajaran Syuriah.
Celana atau istilah jadulnya pantalon, di zaman penjajahan dulu memang pernah diharamkan oleh para ulama pesantren (NU). Tapi, itu bukan hakikat memakai celana yang haram. Melainkan untuk memberikan penekanan soal perlunya membedakan diri dengan kaum imprialis. Jadi, spiritnya adalah mengobarkan semangat perlawanan (heroisme). Begitu, illat (alasan) itu tidak ada lagi, maka hukum haram pun otomatis gugur.
Metode mengambil hukum semacam itu, sudah sangat familiar di lingkungan pesantren. Dengan penguasaan ilmu usul fiqih yang mendalam, kiai pesantren bisa mengeluarkan keputusan-keputusan hukum yang fleksibel. Sebab, semua didasarkan pada illat (alasan). Ada hukum klausalitas. Sebab akibat. Cuma resikonya, keputusan itu sering kali di-bully sebagai keputusan yang ambigu. NU juga sering dituding plinplan.
NU yang berhaluan ahlussunah wal jamaah, memang prinsip keagamaannya moderat. Sikap moderat, berarti harus di tengah. Pilihan tengah, memang rawan disalahpahami oleh kubu kiri dan kanan. Dan sepertinya, warga NU sudah kenyang dengan disalahpahami itu.
Selain sarung, pembeda lainnya adalah soal gelar akademik. Dulu, hampir mayoritas pengurus NU berbasis pendidikan pesantren. Gelar mereka biasanya “kiai”. Gelar Insinyur, Drs, dokter, apalagi profesor doktor sangat langka. Sementara gelar-gelar semacam itu, di lingkungan Muhammadiyah sudah sangat melekat. Sebaliknya, gelar “kiai” di Muhammadiyah yang agak langka.
Sekarang? Oh, jangan tanya. Sekarang, pucuk pimpinan NU maupun Muhammadiyah sama-sama bergelar profesor. Prof Dr Said Aqiel Siradj dan Prof Dr Haedar Nashir. Begitu juga di jajaran pengurus yang lain. Gelar-gelar akademik itu, sudah sama-sama banyaknya. Dulu ketika saya kuliah (era 90-an), hampir semua IAIN di seluruh Indonesia rektornya dari Muhammadiyah. Sekarang, hampir dominan NU. Mereka bergelar profesor semua.
Namun demikian, NU-Muhammadiayh tetaplah memiliki karakter khusus yang menjadikan mereka berbeda. Muhammadiyah tetap unggul dalam hal jumlah teknokrat. Sementara NU tetap menonjol di pengusaan ilmu-ilmu agama. Pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah mayoritas berbasis umum. Sedang NU, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, rata-rata menjadi “anak asuh” kementerian agama alias madrasah.
Kondisi itu, menjadikan warga NU dan Muhammadiyah saling merasa kurang. Saat ini, NU yang sejak dulu adalah basisnya pesantren merasa gelisah karena kurang memiliki para teknokrat seperti saudaranya Muhammadiyah. Karena itu, di era Kia Said Aqiel ini, PB NU sangat getol menggenjot lahirnya lembaga-lembaga pendidikan umum dan universitas. Fakultas kedokteran, teknik, sospol dan lain-lain. Sekarang bermunculan di lingkungan NU. Bersamaan dengan itu, rumah-rumah sakit juga didirikan di berbagai tempat.
Di pihak lain, Muhammadiyah juga gelisah karena kader ulamanya juga semakin sedikit. Jauh tertinggal dengan NU yang masih terus melahirkan ulama-ulama muda alim alamah. Karena itu, sejak era Dien Syamsuddin, Muhammadiyah getol mendirikan Pondok Pesantren Muhammadiyah.
Masing-masing melihat kekurangan diri sendiri. Kerja keras pun mereka lakukan untuk “saling kejar”. Tapi apa yang terjadi? Mewujudkannya ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Berbagai hambatan ditemui. Benar, NU sekarang punya hampir 200 perguruan tinggi. Namun, secara kualitas, kondisinya masih belum sebanding bila dikontestasikan dengan perguruan tinggi milik Muhammadiyah. Memang sekarang ada sejumlah perguruan tinggi NU yang bagus, seperti UNISMA. Namun, jumlahnya masih sedikit. Sementara, perguruan tinggi milik Muhammadiyah yang besar dan mampu bersaing dengan perguruan tinggi negeri jumlahnya sudah lumayah banyak.
Bagaimana dengan pesantern yang didirikan Muhammadiyah? Hehehe...Alur ceritanya sama. Beberapa pesantren Muhammadiyah tidak juga tumbuh menjadi pesantren layaknya pesantren milik NU yang mampu melahirkan ulama-ulama yang alim. Pesantren milik Muhammadiyah rata-rata beraroma boarding school. Asrama. Sehingga, alumninya tetaplah “bau-bau” teknokrat. Cuma dalam agama lebh lumayan sedikit. Jika untuk menghasilkan ulama muda seperti Gus Baha’ misalnya, rasanya masih sulit.
Terkait fenomena itu, salah satu tokoh Muhammadiyah (alm) Prof Dr. Yunahar Ilyas pernah berseloroh. ”NU sekarang sangat giat membuka sekolah-sekolah umum dan universitas umum. Namun setelah berjalan sekian lama, ujung-ujungnya ya jadi pesantren lagi. Sama dengan kita (Muhammadiyah). Kita saat ini juga sangat getol mendirikan pesantren. Perencanaan dibuat dengan matang. Setelah berjalan sekian lama, eh....jadinya ya sekolah juga,’’ kata Yunahar yang langsung disambut gerrr..hadirin yang mendengarkan ceramahnya.
Yunahar sedang menertawakan realitas. Tidak ada yang marah dengan candaan itu. Wong nyatanya tak jauh-jauh dari itu. Tapi tidak masalah. Semua memang butuh proses. Ke depan, jika upaya terus dilakukan, NU tentu akan bisa memiliki perguruan tinggi perguruan tinggi hebat selevel dengan yang dimiliki Muhammadiyah. Sebaliknya, Muhammadiyah yang rindu punya pesantren seperti yang dimiliki saudara mudanya NU, juga tidak tertutup kemungkinan akan terwujud. Yakin saja!
Pertanyaannya, mengapa NU tetap saja “beraroma” pesantren? Sedang Muhammadiyah tetap saja “bau” sekolah umum. Semua tidak lepas dari budaya yang berlaku di organisasi masing-masing. NU yang memang masih memiliki banyak kiai, memiliki kultur sangat hormat pada kiai. Para kiai bersama keturunanya, (Gus kalau laki-laki dan Ning kalau perempuan), sangat dihormati warga NU.
Fenomena itu, satu sisi tentu baik. Namun, di sini yang lain menimbulkan problem ketika warga NU ingin membangun lembaga pendidikan modern (baca: bukan pesantren). Sistem sulit dibangun karena sering dalam penerapannya berbenturan dengan budaya seperti itu. Sistem tidak jalan. Ya lagi-lagi sistemnya kembali bergantung pada sosok kiai. Inilah yang disebut Yanuhar, “ujung-ujungnya jadi pesantren lagi”.
Sedang Muhammadiyah kesulitan membangun pesantren karena pesantren membutuhkan figur kuat. Kharismatik. Punya otoritas tinggi. Karena warga Muhammadiyah selama ini bergerak berdasarkan sistem, maka sulit di Muhammadiyah lahir tokoh-tokoh kharismatik dan punya otoritas tinggi. Karena sistemlah yang kuat. Sedang individu-individu yang ada di dalamnya lebur di dalam sistem itu.
Nah, rumit khan? Hehehe... Yang pasti saya bersyukur, NU-Muhammadiyah sekarang lebih sibuk berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) daripada berdebat masalah furu’iyah. (bersambung)
*) Akhmad Zaini, mantan Jurnalis Jawa Pos, kini jadi khadam pendidikan di IAINU Tuban.
Advertisement