NU Diskon
Mohon maaf jika saya belum bisa move on untuk menulis NU. Cukup banyak perubahan yang patut dicatat setelah Ormas Islam terbesar di dunia itu dipimpin KH Yahya Cholil Staquf.
Apakah perubahan yang sedang berlangsung ini akan menghasilkan perubahan besar lainnya? Sejauh mana perubahan itu memberi makna kepada warga NU, umma, bangsa Indonesia maupun dunia?
Perubahan di NU itu ternyata tidak hanya pada gestur. Tapi juga postur. Lah apa bedanya? Gestur itu gerak sementara. Sedangkan postur merupakan sosok atau tongkrongan atau tampilan tetap.
Kebetulan, pekan lalu, tiba-tiba saya ditelpon Amin Said Husni. Ketua PBNU yang selalu menempel Yahya C Staquf. “Ditunggu Ketum di Jakarta,” katanya singkat tanpa menjelaskan untuk apa.
Saya memang belum pernah ngobrol lama dengannya sejak Muktamar NU di Lampung. Kalau pun sempat ketemu hanya sepintas. Kesibukannya menata ulang Ormas dengan lebih 100 juta warga jelas menyita waktunya.
“Asa disorder di bawah yang harus segera ditangani. Kalau tidak akan semakin tidak tertata dan akan menjadi persoalan besar ke depan,” kata Yahya C Staquf saat jeda rapat dengan para ketua lain dan tamu yang terus berdatangan.
Ah saya tak akan menceritakan disorder yang dia maksud. Saya hanya membayangkan beban berat yang sedang dipikulnya. Itu tampak ketika ia mengungkapkan beban itu sambil menyandarkan diri di sofa sambil matanya terpejam.
Ia memang sedang menjadikan penataan organisasi alias jam’iyah sebagai prioritas kepemimpinannya. Agar ormas Islam yang hampir seabad usianya itu dirasakan manfaatnya bagi pengikutnya. Tidak hanya soal keagamaan, tapi juga dalam hal kehidupannya sebagai warga.
Yang menarik perhatian saya justru perubahan kantor yang menjadikan tempat ia mengendalikan NU sehari-hari. Yang baru tiga hari dia tempati setelah direnovasi. Ruangan yang dulu menjadi tempat berkantor Ketua Umum PBNU sebelumnya.
Layout dan desainnya baru. Cozy, terbuka dan minimalis modern. Tak tampak seperti kantor organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Lebih seperti kantornya manajemen profesional. Tidak ada sekat-sekat tertutup. Antar ruangan terbuka dengan pintu kaca.
Pilihan warnanya pun sesuai selera muda. Cerah tanpa ada kesan mewah. Hampir semua staf mengenakan celana dengan kemeja putih. Hanya peci hitam yang tidak ketinggalan di kepala mereka. Sama sekali tak ada kesan kantor kaum sarungan. Julukan yang pernah disematkan ke NU jaman dulu.
Gus Ipul –panggilan akrab sekjen PBNU Syaifullah Yusuf– merasa bersalah ketika datang dengan sarungnya. “Maaf Pak Ketum. Pakai sarung karena barusan menjadi imam salat Jumat,” katanya begitu tampak di depan Yahya Cholil Staquf.
Seperti pernah saya tulis sebelumnya, Ketum PBNU yang jebolan UGM itu memang melarang pengurus Tanfidziyah memakai sarung. Hanya pengurus Syuriah yang terdiri para kiai yang layak pakai sarung. Sedangkan tanfidziyah sebagai pelayan syuriah harus pakai celana. Biar cekatan bekerja.
Rupanya, Yahya Cholil Staquf yang pernah menjadi mahasiswa sosiologi ini menyadari pentingnya gestur dan postur untuk mendorong adanya perubahan. Tak hanya mindset. Tak hanya melakukan perubahan nilai-nilai organisasi. Tapi juga tampilan fisik.
Ia secara sadar ingin melakukan rebranding NU. Menampilkan NU yang baru. Baik secara kelembagaan maupun secara nilai. Tentu tanpa meninggalkan nilai-nilai jamaah yang menjadi kekuatan ormas Islam ini. Lebih menguatkan yang belum kuat.
NU ingin merengkuh jangkauan yang lebih luas. Di saat masyarakat membutuhkan tatanan beragama yang tidak saling mengkafirkan dan membidahkan satu sama lain. Tatanan baru yang menjamin relasi antar umat manusia secara damai dan nyaman.
Perubahan gestur dan postur NU ini menjadi sangat penting NU. Yang makin hari makin meneguhkan posisinya sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara kesatuan yang dulu pernah diperjuangkan bersama-sama dengan kelompok lainnya.
Secara keagamaan, NU memang lebih diterima masyarakat umum karena pandangan keagamaannya yang rileks. Selain sikapnya yang mengedepankan sikap tasamuh dan taawun dalam bermasyarakat dan berbangsa, keberagamaan NU lebih fleksibel. Tidak saklek.
Ini misalnya terefleksikan dalam kisah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dan Presiden Soeharto tentang taraweh. Suatu ketika, Gus Dur diundang Pak Harto di kediamannya Jalan Cendana, Jakarta, di bulan puasa.
Ia mengajak seorang kiai kampung dari Lampung. Pak Harto mengundang Gus Dur berbuka bersama yang akan dilanjut dengan salat taraweh bersama. Namun, karena malam itu juga ada agenda lain, Gus Dur pamit duluan seusai berbuka.
Sebelum meninggalkan tempat, Gus Dur bilang kalau nanti yang mengimami salat taraweh kiai dari kampung tadi. “Nah, Pak Harto menginginkan cara salat taraweh NU lama atau NU baru?,” kata Ketum PBNU yang pernah jadi presiden RI ini.
Mendengar itu, Pak Harto balik bertanya: “Bedanya apa,” tanya presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu.
“Kalau NU lama, jumlah rakaat salat tarawehnya 20 plus 3 rakaat salat witir. Jadi total 23 rakaat,” jawab Gus Dur
“Kalau yang baru?,” sela Pak Harto.
“Kalau yang baru didiskon 60 persen sehingga hanya 11 rakaat,” kata Gus Dur disambut tawa renyah yang hadir.
“Saya NU baru saja. Pinggang saya sedang sakit,” pinta Pak Harto kemudian.
Rasanya, meski Yahya C Staquf melakukan perubahan secara signifikan di NU, cara pandang beragama ala Gus Dur seperti itu tak akan hilang. Masih segudang ilmu dan rujukan NU untuk menjawab perubahan jaman yang cepat.
Ketika kelompok agama lain mengenalkan cara beragama secara tekstual dan saklek, para kiai NU menawarkan jalan beragama yang lebih santai. Karena itu, di NU tak hanya dikenal NU lama dan NU baru, tapi juga NU diskon. Ups…(Arif Afandi)