NU dan Faksionalisme Politik, Kritik Gus Yahya Cukup Mengejutkan
Katib Am PBNU KH Yahya Cholil Staquf, belum lama ini meluncurkan bukunya Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta. Ia menggambarkan perjuangan para ulama dan kiai pesantren terdahulu dalam menerapkan nilai ajaran Islam di Indonesia, melalui Nahdlatul Ulama.
Gus Yahya pun tak lupa melakukan otokritik dan menjelaskan secara objektif. Terlepas dari itu, ada gagasan Gus Yahya, panggilan akrab putra KH Cholil Bisri Rembang ini. Berikut Ngopibareng.id menurunkan renungan Gus Yahya soal "NU dan Faksionalisme":
2014. Masih ada satu slot jabatan di Pemerintahan yang merupakan hak prerogatif Presiden belum terisi. Saya kebetulan kenal dengan salah satu “orang dalam”. Maka dalam suatu percakapan dengannya saya usulkan satu nama yang menurut saya —dan saya yakin divalidasi pula oleh publik— mumpuni untuk jabatan itu.
“Wah. NU sudah kebanyakan ini”, katanya, “Itung saja. Termasuk Wapresnya —Pak JK— jadi sudah sembilan!”
Saya kontan menyanggah.
“Nggak bisa begitu. NU itu bukan faksi politik. NU itu realitas demografis. Kalau kau tangkap sepuluh orang di jalanan, lima diantara mereka pasti ngaku NU!”
“Apa hubungannya?”
“Ya kalau pakai logika proporsional, harusnya separuh kabinet orang NU. Tapi bukan itu soalnya. Alasanku mengusulkan nama yang tadi itu pun bukan karena dia NU. Tapi karena kapasitas”.
Belakangan saya tahu, usulan saya tidak diambil. Apakah Presiden sungkan karena dia sendiri pun merasa NU?
Memang, konstruksi operasional NU masih dibingkai dalam fungsi sebagai basis representasi politik kekuasaan. Kebanyakan para aktivisnya bekerja dalam kerangka itu, banyak warganya pun mengidap aspirasi macam itu. Impiannya, dengan bentang konstituensi yang begitu luas, mencakup nyaris separoh warga negara, kalau dikonsolidasikan secara politik bisa menjadi pancadan untuk merebut porsi yang besar dari sumberdaya-sumberdaya negara.
Masalahnya, jalan pikiran macam itu sama halnya menjahati Indonesia sekaligus mengkerdilkan NU. Nasib Indonesia tidak boleh diabdikan kepada kehendak tribal (kesuku-sukuan) dari jenis yang mana pun juga. NU tidak boleh mandeg hanya menjadi identitas kosong seperti halnya warna kulit, jenis kelamin, asal daerah, atau alumni ini dan itu.
NU harus dihadirkan sebagai etika dan nilai-nilai. Yang seharusnya dianggap sebagai representasi NU adalah manifestasi etika dan nilai-nilai dalam praktek. Barangsiapa sungguh bekerja untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, dialah yang merepresentasikan NU.
Bukan orang yang sekedar berbekal cap sebagai anak buahnya si Fulan atau keturunan Yang Mulia Mbah Fulan.
Advertisement