NU Bukan Hanya Ormas, Lalu Apa?
Kemampuan bahasa Arab Ustad Haekal Hasan dan Tengku Zulkarnaen jadi viral. Itu setelah keduanya mengomentari hasil bathsul massail Musyarawah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Banjar, Jawa Barat.
Yang menarik, mereka yang mengoreksi kemampuan bahasa Arab keduanya bukan para kiai unggulan NU. Tapi oleh santri-santri muda NU yang kemampuan ilmu agamanya sangat mumpuni. Juga ada dari tokoh muda Muhammadiyah.
Ustad Haekal Hasan dan Tengku Zulkarnaen dianggap tak punya ilmu dasar untuk memahami Islam secara benar. Ilmu dasar itu disebut ilmu alat. Ilmu yang sangat penting untuk memaknai bahasa Alqur'an dan hadist yang menjadi sumber utama menjadi muslim secara benar.
Haekal Hasan dinilai tidak mengerti bahasa Arab setelah menyebut kafir berbeda dengan kuffar. Padahal keduanya sama. Hanya yang satu bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan kuffar adalah bentuk jamak dari kata kafir. Jelas ini kesalahan mendasar.
Sedangkan Tengku Zulkarnaen dianggap tidak paham ilmu tasrif. Setelah dalam ceramahnya menyebut kata kafir berasal dari kata kafara, yukaffiru, kafran. ''Saya tidak bisa membayangkan seandainya mereka berdua berani berpendapat dalam bahtsul masail NU,'' kata KH Ahmad Ishomuddin, kiai muda NU.
Tokoh muda Muhamadiyah Ahmad M Alim lebih jauh lagi. Ia mengkaitkan Tengku Zulkarnaen yang salah mentasrif kata kafir dengan kualitas kepengurusan MUI sebagai lembaga keagamaan yang menaungi ummat Islam se-Indonesia. Menurutnya, kesalahan dalam mentasrif --sebagai ilmu alat yang sangat mendasar-- berpengaruh pada penafsiran teks suci Qur'an-Hadist, sumber utama ajaran Islam.
''Bagaimana mungkin ulama yang duduk dalam Majelis Ulama dengan jabatan yang tidak main-main bisa tidak mengerti ilmu dasar,'' katanya. Ia pun mengusulkan saatnya melakukan restrukturisasi kepengurusan MUI, atau malah langkah awal pengembalian mandat MUI ke tangan ormas Islam seperti Muhamadiyah dan NU.
Tradisi Keilmuan
Saya tak ingin mengomentari tentang kesalahan dasar Haekal Hasan dan Tengku Zulkarnaen saat mengkritisi hasil bathsul masail Munas NU. Toh kemampuan ilmu alat saya mungkin belum tentu lebih baik dari mereka berdua. Meski saya sudah belajar ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa Arab) sejak Madrasah Ibtidaiyah alias SD.
Yang lebih menarik adalah tampilnya para ahli agama muda NU yang secara terbuka dan cepat mengoreksi kesalahan dalam menjelaskan bahasa Arab dasar kedua ustad yang ngehits di kalangan majelis taklim perkotaan ini. Mereka tak hanya menyebutkan salah. Tapi kemudian menunjukkan kesalahannya secara detil yang mungkin juga kurang bisa dipahami orang awam.
Perlu diketahui, NU yang didirikan KH Hasyim Asy'ari tahun 1926 ini bukan sekadar organisasi kemasyarakat Islam. Ormas ini sudah disebut sebagai sub kultur yang telah berkembang di Indonesia dengan nilai-nilai khasnya. Ia bukan sekadar ummat muslim. Tapi ummat yang punya nilai-nilai khas dalam masyarakat.
Lebih dari itu, basis NU bukan hanya perorangan. Ia bukan kumpulan orang yang membentuk sebuah organisasi. NU adalah kumpulan dari pesantren-pesantren yang di dalamnya diajarkan ilmu agama secara mendalam. Dalam pesantren tidak hanya diajarkan nilai-nilai agama yang tekstual dan dogmatis. Tapi juga ilmu alat untuk mendalami agama.
Di dalam pesantren ada tata nilai yang secara otomatis mengatur hubungan antara kiai dan santri. Antara guru dan murid. Kiai adalah sentral di dalam pesantren. Dari kiai, santri belajar dan meneladani nilai-nilai yang dikembangkannya. Dari pesantren ini lahir pesantren-pesantren baru yang saling terhubung secara keilmuan dan keterkaitan yang tetap terjaga.
Pesantren mengajarkan santri mulai dari ilmu dasar dalam mendalami Islam. Mulai dari ilmu alat seperti tata bahasa Arab yang sangat penting dalam memahami Al-Qur'an-Hadist maupun pendapat para ulama terdahulu secara benar. Terkadang bertahun-tahun santri mendalami ilmu alat ini.
Setelah mendalami ilmu alat, santri di pesantren bisa naik kelas untuk mendalami ilmu lain seperti fiqh (hukum Islam), metode dan sistematika dalam pengambilan hukum Islam (ushul fiqh), ilmu tauhid, dan bahkan ilmu filsafat atau tasawuf. Juga diajarkan pula ilmu berdebat alias logika (ilmu mantiq).
Melihat basis NU dari pesantren ini, maka organisasi Islam di Indonesia ini tak hanya bisa disebut sebagai ormas Islam. NU telah menjadi school of thinking alias cara berpikir dengan tradisi keilmuwan yang telah dikembangkan hampir seratus tahun di negeri ini. NU adalah tradisi keilmuan. Mereka punya legitimasi keilmuwan, legitimasi massa, sekaligus legitimasi politik karena kebesaran dan pengaruhnya.
Karena itu, mempersoalkan hasil-hasil pemikiran para ulama NU sama dengan menggarami air laut. Apalagi disertai dengan kebencian dan niat mengecilkan kemampuannya dalam agama. NU dengan pesentrennya punya banyak sumber pengetahuan agama, metodologinya, dan cara-cara pengambilan keputusan tentang agama maupun persoalan dalam masyarakat.
Perdebatan agama berdasarkan kitab-kitab kuno merupakan hal biasa dalam Islam. Makanya, dalam dekade lalu, setiap ada Bathsul Masail di Munas Alim Ulama selalu tersedia ratusan, bahkan ribuan, kitab yang siap jadi referensi peserta sidang. Di era digital, para kiai sudah menggunakan laptop untuk mengecek sumber kitab rujukan.
Sayangnya, kekayaan sumber ilmu pengetahuan agama dan tradisi keilmuan yang dimiliki NU ini, belakangan kalah dengan lahirnya ustad baru karena perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan instan muslim perkotaan. Para santri NU agak terlambat masuk ke dalam dunia baru, khususnya di kalangan mereka yang sedang bersemangat dalam beragama.
Cendikiawan Muslim almarhum Dr Nurcholish Madjid pernah menyebut NU amat kaya pustaka. Gudangnya gudang ilmu agama. Sayang belum punya katalog. Saat itu, ia membandingkan dengan Muhammadiyah yang punya katalog tapi minim pustaka. Artinya kurang lebih NU punya banyak sumber ilmu agama, tapi belum tersistemisasi dengan baik.
Tampaknya, situasi kini telah berubah. Hadirnya tokoh muda NU yang mendapat sentuhan ilmu-ilmu modern menjadikan pemikiran-pemikiran keagaman NU makin kaya. Mereka menguasai ilmu agama secara mendalam, tapi juga menguasai ilmu barat dengan berbagai alirannya.
Generasi baru santri NU ini belakangan juga mulai aktif di dunia digital. Makin bisa mengimbangi para ustad instan yang lebih dulu memasukkan paham baru melalui teknologi informasi. Berbagai kesalahan mendasar seperti ditunjukkan Haekal Hasan dan Tengku Zulkarnaen membuka tabir siapa sebetulnya yang menguasai ilmu agama secara benar.
Kalau pun Cak Nur --panggilan Nurcholish Madjid-- masih hidup sekarang, barangkali ia akan mengoreksi pendapatnya terdahulu. Rasanya, NU sekarang tidak hanya kaya pustaka. Tapi juga sudah punya katalog. Dan ini akan menjadi kekuatan ummat Islam ke depan. (Arif Afandi)