Normalisasi Hubungan dengan Israel, Sudan Diguncang Protes
Pemerintahan transisi Sudan mengadakan perjanjian perbaikan hubungan dengan Israel, dengan mediasi Amerika Serikat. Namun, ratusan warga Sudan turun ke jalan dan menolak normalisasi hubungan tersebut. Warga tak mengakui pemerintahan transisi dan menolak keputusannya.
Aksi turun ke jalan itu terjadi di ibu kota Sudan, Khartoum, pada Jumat lalu. Aksi protes diwarnai dengan teriakan "tak ada perdamaian, tak ada negosiasi, tak ada rekonsiliasi dengan penjajah," dan "kami tak akan menyerah, kami berdiri bersama Palestina".
Pernyataan dari Partai Kongres Populer Sudan, mengatakan bahwa rakyat Sudan tak wajib mematuhi perjanjian normalisasi itu. "Kami melihat masyarakat kami secara sistematis terisolasi dan dipinggirkan dari perjanjian rahasia, tidak terikat dengan perjanjian normalisasi itu," kata pernyataan tersebut.
"Rakyat kami akan mengikuti posisi historis dan bekerja dengan aliansi luar negeri untuk melawan normalisasi dan menjaga dukungan kami pada Palestina untuk memastikan mereka mendapatkan hak yang sah," lanjutnya.
Mantan Perdana Menteri Sudan, Sadiq al-Mahdi juga mengutuk pengumuman itu, sambil menambahkan jika dia mengadakan aksi walk out dari konferensi pemerintah di Khartoum, pada Sabtu kemarin sebagai bentuk protes.
Perdana menteri yang terpilih dari pemilihan terakhir, sekaligus pimpinan patai politik terbesar di Sudan ini mengatakan, "Pernyataan ini berlawanan dengan hukum nasional Sudan, dan berkontribusi menggangu perdamaian di Timur Tengah, serta memantik terjadinya perang baru," katanya.
Terpisah, Kamal Omar, pimpinan Partai Kongres Populer menambahkan jika pemerintah transisi Sudan tidak dipilih rakyat, sehingga tak memiliki wewenang mengadakan perjanjian dengan Israel. "Pemerintahan transisi ini dibajak untuk memuaskan kepentingan wilayah dan internasional," katanya.
Diketahui, pemerintah transisi di Sudan telah menjalankan pemerintahan selama setahun terakhir sejak Presiden Omar al-Bashir terguling. Pemerintahan transisi ini akan berlangsung selama tiga tahun, dan terbentuk dari gabungan militer, kelompok masyarakat sipil, dan pemberontak. (Alj/Ant)