Norma Demokrasi dan Polarisasi Politik
Alam demokrasi memungkinkan setiap pribadi warga negara bebas berbicara. Bebas menyampaikan pendapatnya. Bukan hanya disampaikan di panggung aksi demonstrasi, melainkan juga di media sosial (Medsos). Bila disampaikan melalui medsos, terkesan bikin berisik dan seolah-olah menjadi representasi banyak orang.
Namun, dalam mimbar demokrasi menjadi perhatian tersendiri bagi para mahasiswa yang masih menjaga nuraninya. Membela kepentingan masyarakat, kepentingan banyak orang. Ada catatan tersisa dari DR KH As'ad Said Ali, tentang mimbar demokrasi dimaksud. Berikut catatannya, yang aslinya bertajuk "Aksi Mahasiswa 2022: What's Next?". - Redaksi
Sungguh asyik memperhatikan unjuk rasa mahasiswa yang merupakan bagian dari kehidupan demokrasi. Sikap Kapala Kepolisian RI (Kapolri) dan jajarannya patut mendapat apresiasi, mengawal mahasiswa dan sekaligus bertindak tegas sesuai koridor hukum. Kebebasan tersalurkan sesuai norma demokrasi melalui mimbar bebas dalam rangka artikulasi dan agregasi aspirasi kepentingan masyarakat secara benar.
Sayang, unjuk rasa dinodai oleh aksi kekerasan yang menurut apkam dilakukan oleh beberapa anggauta kelompok ANARKO, suatu kelompok “politik anti negara” yang merujuk pada ideologi anarkhisme dan berskala internasional. Terlepas dari sikap dan perilaku pegiat medsos Ade Armando yang dianggap kontroversi dan agitatif oleh sebagian masyarakat, kekerasan terhadap yang bersangkutan adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai demokrasi.
Namun hal ini juga menjadi pembelajaran, bagaimana kita harus bertutur secara benar di dunia maya selaras dengan budaya Timur yang santun.
Aksi kekerasan terhadap Ade Armando ini juga menyiratkan masih kuatnya polarisasi politik atau pembelahan masyarakat yang terbangun sejak 2016. Sebagian masyarakat membela Ade Armando, sebagian masyarakat lainnya menganggap Ade A sering mendiskreditkan umat. Kebetulan pelaku kekerasan terhadap Ade A bukan anggauta BEM Si, melainkan kelompok Anarko yg selama ini lekat dengan aksi kekerasan.
Isu politik sentral yang menjadi pokok persoalan unras mulai melemah dengan adanya penegasan Presiden Joko Widodo yang menekankan kepatuhannya kepada konstitusi atau tidak maju lagi dalam pilpres yang akan datang. Namun unjuk rasa ke Senayan tampaknya masih menjadi agenda selama bulan puasa, guna memastikan tidak ada lagi pihak yang berupaya menghidupkan lagi isu perpanjangan periodesasi masa tugas presiden.
Dengan demikian, secara teoritis pemerintah kini bisa lebih memusatkan pada upaya untuk mengatasi aspek sosial ekonomi sebagai dampak dari pandemi, perang dagang AS - RRC dan perang Ukraina - Rusia, disamping isu Ibu Kota Negara - IKN. Namun perlu digaris bawahi perlunya upaya menekan kadar politik identitas atau pembelahan masyarakat guna mencairkan kembali iklim politik nasional sehingga lebih kondusif.
Agenda Menghilangkan Polarisasi Politik
Agenda untuk menghilangkan polarisasi politik yang muncul sejak 2016 , selama ini ditangani melalui dengan pola yang lebih mengedepankan pada pendekatan hukum formal, menghukum dan membubarkan ormas yang dianggap terlibat. Realitasnya gejala politik identitas masih eksis dan oleh karena itu diperlukan juga pendekatan “politis-dialogis” yang dulu dikenal dengan penggalangan.
Pembubaran kedua organisasi tanpa dibarengi dengan pendekatan politis, kemungkinan akan menimbulkan terjadinya penggabungan keduanya atau minimal kolaborasi , Pada hal kadar keradikalan keduanya berbeda, yang yang satu radikal dalam konteks aksi, sedangkan yang satu lagi dalam konteks ideologis.
Pasca-Idul Fitri, jika situasi perekonomian dunia belum membaik maka hal itu mempengaruhi perekonomian nasional. Salah satu dampaknya adalah selain gerakan mahasiswa, serikat pekerja diperkirakan akan turun kejalan dengan membawa tema “Omnibus Law“. Biasanya kelompok “Anarkho Syndikalisme“ yang angautanya terdiri kaum pekerja dan lebih agresif, akan melibatkan diri dalam aksi unjuk rasa.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.
Advertisement