Nonton Liverpool di Anfield Sebagai Pembelot Sehari
Oleh: Anton Alifandi*
Dalam angan-angan saya yang sudah terpendam bertahun-tahun, suatu ketika nanti saya akan nonton Liverpool di stadion Anfield dalam partai hidup-mati melawan salah satu raksasa sepakbola Eropa dalam kompetisi Liga Champions.
Saya tak tahu apakah impian saya itu bisa terwujud. Tapi ketika seorang teman bernama Steve, mengajak saya untuk nonton Liverpool melawan Shrewsbury Town di putaran ketiga FA Cup pada 9 Januari, saya langsung mengiyakan. Saya belum pernah nonton di Anfield.
Beberapa tahun lalu, saya, Steve, dan seorang teman wartawan dari Jakarta sudah tiba di Anfield untuk nonton Liverpool melawan Arsenal. Ternyata tiket yang kami beli dari calo, palsu. Jauh-jauh dari London, kami hanya merasakan suasana di luar stadion.
Seperti saya, Steve adalah penggemar Liverpool. Tapi dia mempunyai loyalitas ganda.
Dia lahir dan dibesarkan di Shrewsbury, karena itu dia juga setia kepada Shrewsbury Town, klub yang bermain di League 1, lapisan atau kasta ketiga liga sepakbola Inggris, dua divisi di bawah Liverpool.
Shrewsbury tak pernah naik ke Premier League, jadi loyalitas ganda Steve jarang diuji.
Shrewsbury lebih dikenal sebagai tempat kelahiran naturalis Charles Darwin daripada sebagai kota sepakbola.
Walaupun begitu pada tahun 2020 Shrewsbury menahan imbang Liverpool di putaran ketiga Piala FA, dan baru takluk dari anak asuh Jurgen Klopp di pertandingan ulang.
Ketika itu Steve memihak Shrewsbury, seperti sekarang.
Saya juga merasa lebih seru membela tim underdog, jadi selama sehari saya berniat mendukung Shrewsbury. Mohon para pembaca tidak menghakimi pengkhianatan saya.
Romantika Piala FA
Serunya Piala FA adalah karena kompetisi ini memberi peluang bagi klub-klub gurem untuk mempermalukan klub-klub papan atas.
Mengingat hasil laga dua tahun silam dan kondisi Liverpool saat ini, Shrewsbury datang ke Anfield dengan penuh percaya diri.
Apalagi tiga pemain kunci Liverpool: Mohamed Salah, Sadio Mane, dan Naby Keita absen karena membela tim nasional mereka dalam kejuaraan Afrika di Kamerun.
Kubu Liverpool juga baru dilanda Covid-19 yang membuat mereka menunda partai semi final Piala Liga melawan Arsenal.
Meski begitu Liverpool masih mampu memasang Virgil Van Dijk, Ibrahima Konate, Fabinho dan Andy Robertson.
Bangku cadangan pun tak jelek-jelek amat, Joel Matip, Takumi Minamino, dan Roberto Firmino siap diturunkan bila diperlukan.
Selebihnya Liverpool memasang pemain-pemain muda.
Saya duduk di tribun khusus pendukung tim tandang di sisi Anfield Road, di belakang gawang, di tengah para warna biru kuning suporter Shrewbury.
Tiga sisi stadion dipenuhi warna merah Liverpool, termasuk tribun Kop yang termasyhur di ujung lapangan yang berlawanan dari Anfield Road.
Cuaca hari itu dingin, sekitar 5C, tapi cerah, dan lapangan terlihat jelas meski kami duduk melawan sinar matahari. Suasananya pas untuk nonton bola.
Susana menjadi hangat ketika sebelum pertandingan, You’ll Never Walk Alone berkumandang dari sistem pengeras suara, dan disambut penonton dari tiga sisi stadion. Menurut saya, tak ada lagu yang lebih merasuk jiwa dalam dunia sepakbola dari lagu ini. Untuk sesaat saya nyaris ikut bernyanyi sebelum tersadar bahwa saya duduk di pihak lawan.
Saya hanya berdiam diri seperti pendukung Shrewsbury di sekitar saya.
Tanggul yang Jebol
Di babak pertama, Liverpool menyerang ke arah tribun Kop, saya pikir ini sudah merupakan kemenangan kecil bagi Shrewsbury, karena Liverpool biasanya lebih suka menghadap Kop pada babak ke dua.
Liverpool lebih banyak menguasai bola, tapi Shrewsbury tidak datang ke Anfield cuma sebagai pelengkap penderita.
Shrewsbury lumayan mampu menyerang balik, khususnya di rusuk kanan Liverpool yang dijaga pemain muda bernama Connor Bradley sebagai pengganti Trent Alexander-Arnold atau Joe Gomez.
Kiri luar Shrewsbury, Nathanael Ogbeta beberapa kali melewati Bradley dengan gampang.
Dari umpan tarik Ogbeta inilah pada menit 27 Shrewsbury mencetak gol pertama. Penyerang tengah Daniel Udoh menyelinap antara Konate dan Van Dijk untuk menyarangkan gol ke gawang Caomhin Kelleher.
Van Dijk - yang namanya berarti ‘dari tanggul’ - dan Konate yang dibeli dengan harga lebih dari Rp2 triliun, ternyata rapuh. Ibarat tanggul yang mahal dibangun tapi jebol kena gerimis.
Saya jingkrak-jingkrak kegirangan bersama semua pendukung Shrewsbury.
Untuk beberapa waktu para pendukung Liverpool terdiam.
Dengan nada mengejek, para pendukung Shrewsbury bernyanyi: “Is It a library?… Is it a library?” dengan irama lagu La Donna e Mobile dari lakon opera Rigoletto.
Para pendukung Shrewsbury tak ciut nyali di Anfield. Mereka melanjutkan ejekan dengan melantunkan “Where is your famous atmosphere? …where is your famous atmosphere?” Kira-kira artinya, mana atmosfer Anfield yang terkenal angker itu, kok kalian tak ada suaranya.
Ketika para pendukung Liverpool menyanyikan “You’ll Never Walk Alone”, para pendukung Shrewsbury membalas dengan ejekan… "You’ll Never Get a Job…You’ll Never Gert a Job”, sindiran atas tingginya tingkat pengangguran wilayah Liverpool di masa lalu.
Sayang keunggulan Shrewbury bertahan hanya tujuh menit, setelah penyerang muda Liverpool Kaide Gordon mencetak golnya yang pertama sebagai pemain tim utama.
Shrewsbury tetap berbahaya, sundulan kepala Ryan Bowman masuk ke gawang Kelleher, tapi dianulir karena Bowman tipis berada di posisi offside.
Dari sisi Anfield Road, kami tidak bisa melihat dengan jelas ketika Liverpool mendapat penalti karena tangan pemain belakang Shrewsbury Ethan Ebanks-Landell menyentuh bola.
Berkat penalti Fabinho, Liverpool unggul 2-1 di akhir babak pertama.
Shrewsbury Terkurung
Di babak kedua, Minamino dipasang mengganti Max Woltman. Sebagai sesama orang Asia, saya memberi perhatian ekstra pada permainannya.
Minamino nyaris tak berhenti bergerak, terutama di setengah lingkaran di luar titik penalti, dan salalu meminta dioperi bola.
Sayang baginya, dia tak pernah mendapat peluang bagus untuk mencetak gol.
Liverpool mengurung Shrewsbury di babak kedua, dan semakin dominan setalah Firmino dipasang pada menit ke 64.
Dari dekat saya bisa melihat kepandaiannya mencari ruang kosong. Dia mencetak gol lewat tendangan tumit sambil membelakangi gawang. 3-1 untuk Liverpool.
Pada menit-menit terakhir Fabinho menambah satu gol lagi untuk menjadikan skor 4-1.
Dari kaca mata saya yang subyektif, skor akhir tidak mencerminkan jalannya pertandingan, terutama di babak pertama.
Seandainya Bowman timingnya lebih bagus, dan Ebanks-Landell tidak teledor, Shrewsbury akan unggul 2-1 pada turun minum. Hasil pertandingan bisa lain. Seandainya… seandainya...
Dalam perjalanan pulang ke London, saya membaca catatan pertandingan Jurgen Klopp dalam match programme, majalah yang diedarkan sebelum pertandingan.
Katanya, “…we must work harder than they will or we will not get the result we desire”. Maksudnya, pemain Liverpool harus bermain lebih ulet dari lawan. Secara tersirat Klopp mengatakan, meski teknik para pemain Liverpool lebih bagus, tak akan berguna bila timnya tak mampu mengimbangi kerja keras Shrewsbury.
Itu terlihat di lapangan. Semua pemain bermain dengan penuh energi dan konsentrasi.
Yang menganggap enteng Shrewsbury justru para pendukung Liverpool. Mereka hanya secara sporadis menyemangati para pemainnya dengan lagu-lagu perjuangan Liverpool.
Pengalaman pertama saya nonton di Anfield sangat berkesan. Tapi bila ada kesempatan lagi, saya ingin menonton Liverpool melawan tim-tim sebanding semacam Inter Milan, Barcelona, atau Bayern Munchen di Liga Champions. Pada malam-malam seperti itu saya yakin penggemar Liverpool akan habis-habisan mendukung timnya.
Saya bayangkan gemuruh dan getaran dari Anfield akan begitu kuatnya sehingga bisa diukur dalam skala Richter.
#YNWA
Anton Alifandi
Pengemar sepakbola, tinggal di London
Advertisement