Niscala: Monumen Penanda Zaman di Desa Semut Purwodadi
Oleh: Kharisma Nanda Zenmira
Dedikasi memegang peranan penting dalam berbagai konteks kehidupan. Di dalamnya terkandung esensi ketekunan, fokus, dan usaha maksimal sebagai kunci utama untuk meraih hasil yang diinginkan. Dedikasi tidak hanya sekadar semangat untuk mencapai tujuan, tetapi juga menjadi pilar utama dalam merealisasikan visi, membangun karakter masyarakat, dan mencapai keberhasilan jangka panjang. Dengan menghadirkan dedikasi dalam setiap langkah, seseorang membentuk fondasi yang kokoh untuk mencapai prestasi dan memberikan dampak positif dalam lingkungannya.
Achmad Yusril Ismal Maulana Mahendra, atau Hendra, lahir tahun 1998 di Desa Semut, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ia mendedikasikan waktu untuk membuat monumen di desa kelahirannya yang diresmikan pada Minggu, 24 Desember 2023, di Balai Desa Semut. Pembuatan monumen ini menjadi dedikasi utuh, memperkuat identitas, dan mendukung keberlanjutan komunitas dengan menciptakan jejak sejarah dan simbol solidaritas.
Monumen Niscala adalah hasil karya Hendra yang memiliki utilitas yang beragam. Monumen ini berfungsi sebagai penanda yang tidak hanya menciptakan wacana sejarah desa, melainkan juga sebagai alat pemberdayaan budaya dan tradisi desa. Sebagai pusat perhatian desa, monumen ini menggambarkan penghormatan terhadap jasa sosok, sementara juga menjadi pencipta warisan yang dapat terus diapresiasi. Monumen Niscala juga merupakan manifestasi seni yang memperkaya nilai estetika desa. Selain itu, monumen ini berperan sebagai medium pemahaman bagi masyarakat mengenai nilai-nilai yang telah dianut sepanjang zaman oleh leluhur, dan akan diteruskan kepada generasi seterusnya.
Hendra memberikan definisi Desa Semut sebagai sebuah desa terpencil yang terletak di perbatasan antara Kota Pasuruan dan Malang, khususnya di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Menurut observasi singkatnya terhadap sejarah Desa Semut, Hendra menemukan bahwa desa ini didirikan oleh tiga perantau yang diutus oleh orang tua mereka untuk menyebarkan ilmu agama, dan akhirnya mereka menetap di wilayah Pasuruan. Tiga musafir tersebut, yang dikenal sebagai orang musafir di tanah Jawa, adalah Ahmad Sirojjudin (Mbah Sirojjudin) bersama dua khodamnya, yakni Ahmad Kalam (Mbah Kalam) dan Ahmad (Mbah Ahmad).
Terbentuknya Desa Semut merupakan ketidaksengajaan. Ketika ketiga musafir itu menemukan sebuah gundukan dengan diameter lebih dari dua meter, rasa penasaran mendorong mereka untuk membelahnya, dan hasilnya, mereka menemukan koloni semut di dalamnya. Singkat cerita, setelah gundukan terbelah, ketiga musafir memutuskan untuk bersinggah di tempat tersebut. Mbah Sirojjudin memberikan nama tempat itu desa ‘Semut’. Dan nama tersebut terus digunakan hingga saat ini.
Monumen berfungsi sebagai penanda zaman. Monumen merekam dan merayakan peristiwa, perkembangan, atau transformasi yang signifikan dalam suatu periode. Sebagai saksi bisu, monumen memainkan peran penting dalam menjalin koneksi emosional dan intelektual antar generasi. Monumen juga menyediakan jendela ke masa lalu. Lebih dari itu, monumen memastikan bahwa warisan sejarah tidak terlupakan.
Hendra membuat monumen dalam bentuk patung. Monumen ini tidak hanya menjadi ekspresi seni yang kuat, tetapi juga simbol yang menangkap esensi suatu konsep. Proses pembuatannya menggunakan bahan bekas anorganik besi, alat las, dan bahan resin. Tinggi monumen mencapai 2,31 meter, ditambah kaki penyanggah berukuran 1 meter, sehingga total ketinggian patung adalah 3,31 meter. Lebar monumen adalah 1,6 meter. Patung ini diberi nama Niscala, menggambarkan semut kerangga.
Patung tersebut diciptakan menggunakan teknik assembling (teknik sambung pada benda padat). Untuk proses finishing dikerjakan dalam lima tahap lapisan dengan menggunakan alat kompresor, antara lain;
1. Lapisan pertama dengan cat epoxy thinner,
2. Lapisan kedua pembuatan tekstur dengan cat epoxy, thinner, dan talek
3. Lapisan ketiga pembuatan warna dasar kulit menggunakan cat epoxy
4. Lapisan keempat pembuatan efek karat dengan menggunakan warna tembaga dari cat epoxy dan thinner
5. Lapisan kelima menggunakan warna transparan dari cat epoxy dan thinner.
Semut Kerangga
Nama Niscala berasal dari bahasa Sanskerta dan memiliki arti kuat dan kokoh. Niscala juga memiliki elemen lain, seperti tameng Garuda Pancasila yang mencerminkan penghormatan pada nilai-nilai Pancasila. Warna dasarnya adalah hitam, melambangkan keabadian, sementara warna tembaga melambangkan ketahanan. Ada juga bambu runcing, senjata khas masyarakat Indonesia pada zaman penjajahan. Semut kerangga di Niscala merepresentasikan Desa Semut.
Semut kerangga hidup dengan berbagai keunikan. Mereka memiliki struktur sosial yang terorganisir dengan pekerja-pekerja khusus, seperti pekerja umum, prajurit, dan ratu, yang memiliki tugas dan peran tertentu. Selain itu, semut kerangga dikenal karena kerjasama dalam memangsa, menggunakan metode pertahanan yang efektif untuk saling melindungi koloni dari ancaman. Komunikasi kimia menjadi cara penting dalam memberikan informasi, seperti jejak makanan, lokasi sarang, dan potensi ancaman. Selain itu, semut kerangga juga berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mendukung sirkulasi nutrisi.
Patung Monumen Niscala di Desa Semut tidak hanya menjadi sebuah simbol fisik, melainkan juga membawa harapan besar bagi keberlanjutan Desa Semut di masa mendatang. Keberadaannya diharapkan dapat membawa berbagai kebaikan dan kontribusi positif untuk memperkuat identitas dan daya tarik Desa Semut, menciptakan fondasi yang kokoh untuk pembangunan komunitas.
Tak hanya itu, Monumen Niscala juga diharapkan menjadi sumber inspirasi bagi generasi penerus bangsa. Diharapkan generasi muda akan tergerak untuk mendedikasikan diri pada tanah air, mengambil peran aktif dalam pembangunan, dan memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk jasa untuk kemajuan bersama. Monumen ini menjadi cermin nilai-nilai kebangsaan dan semangat gotong royong yang diharapkan terus menginspirasi setiap individu untuk berperan aktif dalam membangun masa depan yang lebih baik.
*Kharisma Nanda Zenmira, penulis seni yang tinggal di Purwosari-Kab. Pasuruan
Advertisement