Kriuknya Lentho Lontong Balap Artomoro di Surabaya
Akhir pekan bisa diisi dengan mencicipi kuliner asli jawa Timur. Ngopibareng.id mencoba lezatnya seporsi lontong balap dengan es teh manis yang berlokasi di Jalan Raya Manyar 5 J, Manyar Sabrangan, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya.
Satu porsi lontong balap berisi tujuh potong lontong, satu lentho, 15 potong tahu goreng, dan beberapa tauge panjang. Selain itu, irisan tipis seledri dan bawang merah goreng.
Pada suapan pertama, seledri pada kuah terasa di lidah. Paling nikmat jika mencampurkan lontong, tahu goreng, dan tauge langsung dengan kuah.
Tahu gorengnya bertekstur lembut, lentho berbunyi kriuk saat dipecah menggunakan sendok. Tak ketinggalan, sambel petis pedas sebagai pelengkap yang bisa dipesan sesuai selera.
“Biasanya setiap hari saya buka sejak pukul 10.00 pagi hingga 20.00 malam. Seporsinya cuma Rp 10 ribu. Itu sudah standar, kalau kemahalan takut nggak ada yang beli,” kata Asiyah kepada Ngopibareng.id pada Minggu, 16 Agustus 2020.
Harga dipertahankan Rp 10 ribu agar pelanggan tidak berpaling. Asiyah juga masih mempertahankan resep lontong balap dari mendiang suami. Asiyah sudah berjualan lontong balap sejak tahun 2001.
Stok Bahan Baku Dikurangi
Asiyah telah mengalami pasang surut saat berjualan. Ia sempat mengalami kejayaan selama tiga tahun dengan dibantu dua karyawan. Saat itu omzet yang didapat Rp 3 juta. Namun, semua berubah sejak kepergian suaminya pada tahun 2015.
Pembeli merosot tajam. Omzet berjualannya tidak lebih dari Rp 500 ribu. Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi di mana jumlah pembeli tidak menentu. Warungnya pun ikut buka-tutup tak tentu. Selain itu, Asiyah menyusutkan pasokan bahan baku lontong balap menjadi setengah.
“Sebelum pandemi saya bisa menghabiskan 20 biji lontong, tahu seharga Rp 5 ribu, seledri Rp 3 ribu, petis satu kilogram, kacang hijau seperempat kilogram, tauge dua kilogram, dan tepung setengah kilogram. Sekarang saya susutkan jadi separuh,” katanya.
Buka-Tutup Warung
Aisyah mengingat, warungnya sempoyongan di awal pandemi menyerang Surabaya. Pada pertengahan Maret 2020 Asiyah sempat buka selama satu minggu. Per harinya ia memperoleh untung Rp 70 ribu. Namun, mengetahui kondisi pembeli yang sepi Asiyah memutuskan menutup warung hingga Juli 2020.
Kini, meski pandemi belum berlalu, Aisyah memiliki harapan jika pembelinya bisa kembali banyak. Sayangnya, harapan itu belum terwujud. “Jualannya nggak pasti, kadang sepi, kadang rame. Tapi sejak pandemi tambah sepi pembelinya, saya juga masih berhutang ke penjual sayur di pasar,” katanya.
Asiyah bertutur, sebelum pandemi, per hari ibu dua anak ini bisa meraup keuntungan Rp 300 ribu. Bahkan, ada 30 porsi pesanan dari jasa pesan antar makanan secara online. Namun semenjak pandemi tidak ada pesanan online sama sekali. Bahkan pernah dalam sehari lontong balapnya hanya terjual tiga porsi.
Terlebih, kendati mendapatkan uang bantuan langsung tunai (BLT), uang tersebut masih belum bisa mencukupi kebutuhannya. “Dapatnya nggak tentu sejak pandemi. Uang Rp 400 ribu dari BLT juga nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan,” tutupnya.
Advertisement