Nikah Muda Urusan Siapa
Dalam waktu hampir bersamaan urusan nikah muda menjadi perbincangan seru. Tidak hanya di kalangan orangtua. Tapi juga anak-anak muda.
Pemicunya perceraian anak almarhum Ustadz Arifin Ilham dan sinetron Zahra. Yang pertama kisah rumah tangga yang mrotol di usia muda. Yang kedua tontonan yang lgi viral di Indosiar.
Putra Ustadz Arifin Ilham menikah di usia 17 tahun. Namanya Alvin Faiz. Istrinya Larissa Chou. Pernikahan itu hanya bertahan 5 tahun. Penyebab perceraiannya ikut jadi sorotan publik.
Kedua sinetron Zahra berkisah tentang orang kaya yang poligami. Beristri tiga. Salah satunya perempuan berusia belia. Rame karena ada adegan ranjang dengan seorang bocah.
Saya mengikuti perbincangan kasus Alvin-Larissa berhari-hari. Dari dua anak perempuan saya yang semuanya sudah lulus kuliah tapi belum menikah --by designed.
Mereka memang bukan penganut paham nikah muda. Yang menganggap pernikahan bukan hanya solusi menghindarkan penyimpangan kebutuhan biologis dari pria dan wanita.
Bagi mereka, pernikahan adalah sebuah lembaga sah untuk reproduksi manusia. Karena itu, harus siap secara matang. Baik materi maupun kejiwaan.
Mereka lantas bikin itung-itungan. Katakanlah lulus kuliah di usia 22 tahun. Lantas bekerja sebagai profesional. Untuk dapat gaji yang bisa menopang rumah tangga paling tidak butuh 4 tahun.
Makanya, mereka berpikir usia yang paling mungkin menikah minimal usia 26 tahun. "Bisa saja mereka tak perlu menunggu mampu secara harta. Tapi kan tetap perlu kematangan jiwa," katanya.
Ia pun baru mengungkapkan kejengkelannya. Sebab saat di SMA ada gurunya yang berkampanye nikah muda untuk para siswinya. Bahkan menyebut ancaman perawan tua bagi yang tidak mengikutinya.
Entah kebetulan atau tidak, mencuatnya kasus perceraian pasangan muda Alvin-Larissa nyaris bersamaan dengan sinetron Zahra. Bedanya, satu lebih ke domain privat. Satunya menyangkut domain publik.
Mengapa sinetron Zahra masuk domain publik? Sebab televisi yang menggunakan frekuensi publik menayangkan kisah kehidupan privat. Meskipun itu hanya cerita fiktif. Bukan cerita sebenarnya.
Soal poligami sendiri memang masih menjadi kontroversi. Bagaimana pelaksanaannya di lapangan meski hal itu dibolehkan oleh agama. Apalagi di mata aktifis perempuan.
Bagi mereka, poligami lebih mengekspresikan perilaku patriakhis. Yakni perilaku yang lebih mengunggulkan laki-laki. Cenderung kurang menghargai perempuan. Hanya melihatnya sebagai obyek reproduksi.
Produser sinetron Zahra bisa saja beralasan yang diangkat di layar kaca itu realitas sosial. Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Dan itu biasa dalam dunia film maupun sinetron.
Apalagi, poligami juga telah menjadi komoditas yang terbuka. Banyak kelas poligami dipromosikan. Berbayar jutaan rupiah. Dengan pembicara para pria yang telah berpoligami. Tanpa sembunyi-sembunyi.
Dari sisi ini, sutradara, penulis naskah, dan TV yang menayangkan bisa mengelak. "Benar kan, poligami telah menjadi fenomena?," kata mereka.
Apalagi, soal lelaki menikah lebih dari seorang itu telah jadi kontroversi tanpa habis. Padahal, di dunia penyiaran, kontroversi malah bisa mendongkrak rating tayangan. Itu berarti bernilai ekonomi.
Tapi persoalannya, akankah televisi yang menggunakan frekuensi milik publik boleh menayangkan apa saja? Bahkan tentang kehidupan poligami. Bahkan tentang kisah pedofil, menikahi anak di bawah umur, seperti yang diributkan?
Tampaknya, meski itu sebuah tontonan, setiap konten TV perlu mempertimbangkan tak hanya soal layak produksi. Tapi juga apakah layak tayang. Layak tayang berkaitan dengan etik dan tidaknya program.
Ada dua hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam konten sinetron Zahra. Pertama, layakkah konten poligami ditayangkan melalui televisi yang menggunakan frekuensi publik? Yang memungkinkan dengan bebas ditonton semua orang segala umur.
Kedua, layakkah memberi contoh pernikahan muda melalui TV? Dengan menggunakan pemain yang juga masih belia lagi? Tidakkah itu seperti mengajari orang nikah muda juga?
Okelah, ada yang memiliki paham nikah muda guna menghindari zina. Tapi apakah agama hanya menganjurkan nikah sebagai solusi satu-satunya. Kalau belum mampu --baik secara materi maupun psycho maturity-- puasa adalah jalan lainnya.
Tetap saja perlu tanggungjawab sosial bagi lembaga penyiaran. Tidak hanya menyajikan tayangan tontonan yang menghibur pemirsa. Tapi juga yang memberi nilai sehingga menjadi sebuah tuntunan.
Demikian juga soal nikah muda. Bisa saja itu dinilai baik dari pendekatan agama, tapi memaksakan bagi mereka yang belum siap mental malah akan menjerumuskan.
Apalagi nikah muda, mrotol tengah jalan, lalu saling umbar kejelekan ke media sosial. Kalau itu terjadi, yang semula berniat menggapai kebaikan, malah sebaliknya yang terjadi.
Advertisement