Nikah Kopi di Kebun Sengon, Tradisi dan Ritual Syukur Petik Kopi
Namanya Joko. Lalu Sri, dia perempuannya. Keduanya dipersatukan dalam ritual kembar mayang. Joko, dibelakangnya, tersemat nama Gondel. Begitu juga dengan Sri. Jadilah mereka sepasang, Joko Gondel dan Sri Gondel.
Kembar mayang itu terdiri dari janur kuning. Melengkung-lengkung. Berhiaskan dedaunan. Lalu ditancapkan dalam irisan gedebog pisang.
Kembar mayang dipanggul dua orang. Dua untuk Joko Gondel, dipanggul dua lelaki. (Semoga yang memanggul kembar mayang benar-benar masih "joko thing thing").
Dua kembar mayang lagi disiapkan untuk Sri Gondel. Pembawanya dua orang putri. Biasanya masih gadis. Belum bersuami. Dan tentu saja masih perawan.
Hari itu, Joko dan Sri dikawinkan. Dalam usia yang matang. Upacara kawinan itu diundangkan handai tolan, kerabat, masyarakat, tokoh masyarakat, hingga para pejabat.
Tak lupa diundang juga sesepuh perkampungan, sesepuh perkebunan, pemimpin agama, hingga tokoh panutan.
Joko Gondel dan Sri Gondel diupacarai. Pada waktu masih pagi. Disaksikan sejuknya gunung. Diamini mbrobosnya matahari pagi.
Bukan main khidmadnya. Beriring doa dan harapan, semoga Joko Gondel dan Sri Gondel awet. Sepanjang zaman. "Beranak-pinak" lalu membagi kesejahteraan.
Ritual pun rampung. Joko dan Sri didampingi kembar mayang. Sebelum masuk peraduan, diarak keliling perkebunan. Dijaga orang berdandan kera putih sakti mandraguna, Hanoman. Lalu keduanya dibiarkan. Dalam kamar khusus: kamar pengantin.
Selesai? Belum! Berikutnya selamatan. Genduren.
Genduren itu sinonim dari kenduri. Duduk bersila di lantai. Mengelilingi makanan di tengahnya. Lengkap dengan ingkung ayam utuh dan aneka jajan pasar. Beberapa jenis makanan dimasak khusus dan harus ada, dan menjadi bagian dari ruhnya selamatan.
Didoai dikajati. Hari Rebu Pon itu. Oleh sesepuh perkampungan di perkebunan. Juga pemuka agama. Secara bergantian. Tak ada yang minta harus duluan. Seperti sudah menjadi senyawa toleransi.
Mereka memanjatkan doa kepada Illahi. Juga caos hormat dan salam kepada seluruh penjuru bumi, para danyang, dan seterusnya. Agar semua aman. Supaya Joko dan Sri ayem tentrem, berbungamekaran. Lalu beranak pinak dalam kebun kopi serta membawa kesejahteraan bersama.
Ingkung ayam ditekuk-tekuk. Diprotholi. Disobek-sobek hingga suwek. Pakai tangan telanjang, tanpa pisau. Atau jangan-jangan tangannya sudah mirip pisau.
Para Bapak yang melakukannya. Sepertinya mudah sekali. Mungkin juga tenaganya memang kuat. Atau, sebenarnya, ayam ingkungnya sudah lembek karena sudah dikrekep dengan suhu tinggi semalaman oleh para tukang masak.
Nasi di bakul dibagi rata dalam kenduri. Sebagian tersaji dalam takir. Sebagiannya lagi dibagikan dalam hamparan godong pisang, kemudian kendum. Kendum itu makan bersama. Memakai tangan. Muluk. Tanpa sendok dan garpu.
Siapa pun yang duduk dalam kenduri itu sama. Tak ada yang diistimewakan. Meskipun dapat bagian ayam ingkung yang berbeda-beda. Tak ada yang protes. Tak ada juga yang minta ganti. Yang kebetulan dapat kepala ayam ya dimakan kepala. Begitu juga yang dapat paha, tak juga minta ganti yang bagian dada menthok.
Sholawat dan salam menjadi penutup, alhamdulilah. Padahal nasi dan sesuwir ayam masih berjejal di mulut. Kenapa buru-buru bersantap, padahal nikmat dan sedapnya bukan main. Mengalahkan menu restoran mana pun. Padahal juga, makannya lesehan di dalam gudang. Cukup apek karena karung-karung kopi.
Alunan tetabuhan mirip jaranan kemudian bergaung. Tarian memetik kopi dipersembahkan.
Penarinya para perempuan. Lebih dari selusin. Memakai capil, kebaya, dan jarit sebetis. Kompak mengikuti alunan tetabuhan. Tarian yang jarang ada, dan entah mereka belajar koreografi di mana.
Jeda sesaat, penari-penari bercapil pergi, segera disambung dengan jaranan. Musiknya membahana. Lalu barongan keluar.
Seperti menyalak, si Barongan memperlihatkan gigi yang ganas. Tapi tidak pernah ada cerita barongan yang terlihat ganas itu menggigit orang. Paling banter hanya minta gambuh sejumlah kembang. Sedikit ironi ya, padahal gerakan-gerakan tariannya selalu gagah. Malah, seolah-olah, hendak menelan siapa pun yang menontonnya di pinggir arena.
Barongan pergi. Menarilah jaran kepang. Kepang yang seperti jaran. Gampang ditekuk-tekuk. Dicengklak, ditunggangi, juga dipecuti. Lalu seolah berjingkrak, mbeker, lari berputar-putar, nyeruduk kanan dan kiri, si penunggang kepang melirik tajam, kemudian meliukan tarian beriring bunyi cetar pecut menggelegar.
Senyum simpul dan tepuk tangan membahana. Begitu terhibur. Karena memang langkanya hiburan di atas gunung. Maka orang berjejal-jejal menyaksikan. Pernikahan kopi itu. Setahun sekali itu. Bila musim panen kopi tiba itu. Rebo pon itu, Rabu 17 Juli 2019.
Di tengah boomingnya perkopian Indonesia, di tengah arus digital yang luar biasa, juga begitu dahsyatnya kopi-kopi yang meninggalkan tradisi hingga cerita, gawe yang diagendakan Perkebunan Sengon, di Wlingi, di Kabupaten Blitar, menggelar upacara petik kopi, lengkap dengan kearifan kebun yang sudah mentradisi, rasanya menjadi bukan main. Kopi rasanya benar-benar memiliki nyawa.
Ngopibareng.id menyaksikan acara langka ini. Tradisi yang menjelang punah ini. Ritual yang dicoba diuri-uri. Tradisi dan ritual yang membangun ruh pemetik kopi dan menjadi bagian penting dari denyut kebun kopi yang mampu menjadi aset budaya. (widikamidi/bersambung)
Advertisement