Ngopi Siang Setelah Jumatan, Begini Kata Warung Kopi
Tiap warung kopi punya masalah masing-masing. Tiap warung kopi punya kasus yang beda-beda. Tidak bisa disamakan satu warung dengan warung lainnya.
Latar belakangnya: bisa karena alat-alat seduh kopinya. Bisa karena beannya (bean itu adalah biji kopi yang disiapkan untuk diseduh). Bisa karena pemilihan tempat usaha itu berdiri. Bisa budaya sekitar. Bisa karena daya beli. Bisa masalah pelayanan. Bisa karena daya tarik. Bisa karena yang lainnya, yang jumlahnya bila ditulis bisa sak gunung tingginya.
Ada warung kopi dekat dengan area kampus. Maka selalu ramai ketika masa kuliah berlangsung. Selebihnya, pada saat libur tiba, maka masa pakceklik tiba. Jadinya, yang datang ke warung bisa dihitung dengan jari. Bahkan omset penjualan turun drastis.
Ada juga warung, dengan beans yang sama, alat sama, beda kultur, maka akan beda juga segmen warung kopinya. Termasuk daya beli dan harga jualnya.
Sering juga muncul pertanyaan begini: kenapa warung A bisa ramai, misalnya. Lalu, ketika buka cabang dengan konsep sama, warungnya tidak ramai. Menjadi biasa-biasa saja.
Mengapa? Sepertinya, jawaban yang cukup pas adalah begini: mengubah dan menumbuhkan kultur ngopi itu boleh dibilang tak gampang. Bahasa simpelnya adalah gampang-gampang susah. Sangat banyak parameternya. Tapi begini yang penting, bahwa, sejatinya, membuka warung adalah “membuka” kultur baru. Soal budaya. Bisa tidak budaya itu masuk ke warga setempat, di mana warung itu berdiri. Atau yang terjadi malah sebaliknya, ada penolakan-penolakan di sana.
“Ada banyak pertanyaan ke kami, “Bagaimana cara menumbuhkan biar warga di sekitar warung bisa minum kopi manual brew, sedangkan budaya setempat kuat dengan kopi tubruk serta kopi susu. Jujur, kami tak bisa menjawab, butuh banyak parameter yang bisa menjawab semua, termasuk melihat bagaimana budaya setempat (soal rasa, harga, serta daya beli). Apakah bisa menerima pola ngopi yang baru, atau tetap kekeh dengan budayanya. Di situ sebenarnya akan muncul tarik ulur soal budaya ngopi itu sendiri,” kata Pepeng, Founder KlinikKopi di Jogjakarta.
Menurut Mas Pepeng, demikian baisa disapa, ketika membuka warung kopi sebenarnya ada hal yang krusial. Bahwa, membuat itu jauh lebih mudah dibanding mempertahankannya. Lalu menyebarkannya. “Sederhananya, kita bisa tahu kapan memulai sebuah usaha, tapi kita tidak tahu kapan berhenti melakukannya. (idi)
*Disarikan dari wacana KlinikKopi, Jogjakarta