(Kalau) Kopi Sudah di Meja Politik, Siapa yang Minum sih
Bukan main. Bukan main-main. Hari kemarin (juga hari ini) riuhnya bukan main dan bukan main-main.
Soal politik. Soal Capres. Soal Cawapres. Soal masa depan bangsa. Soal pemimpin negara. Soal orang nomor satu dan nomor dua di negeri ini.
Yakinlah, hari kemarin itu tidak ada yang membicarakan kopi. Di meja-meja perundingan itu. Dimeja-meja lobi-lobi politik itu. Di meja siapa saja yang tertimpa keriuhan untuk meng-gol-kan siapa Capres dan Cawapres yang akan memenangkan pertarungan di 2019.
Tapi yakinlah, di meja-meja mereka banyak gelas-gelas kopi. Gelas-gelas yang kosong nan tandas sampai ke ampas-ampasnya oleh hitamnya kopi.
Tapi yakinlah, di meja-meja mereka banyak gelas-gelas kopi. Gelas-gelas yang kosong nan tandas sampai ke ampas-ampasnya oleh hitamnya kopi.
Aroma kopi pasti meruap. Mengisi kekosongan-kesongan, kebuntuan-kebuntuan strategi dan lobi, selebihnya untuk menahan kantuk. Boleh jadi, yang diseputaran meja perundingan itu, siapa saja tokohnya, sudah seminggu terakhir lupa bantal dan guling. Melekan. Minimal sedikit tidur. Yang begini ini pasti kafein kopi yang jadi poros solusinya.
(Kalau boleh menyarankan pilihan kopinya untuk saat-saat seperti ini, pilihlah dari Jenis Kopi Robusta. Dia akan nendang. Dia akan membuat aliaran darah cukup bisa diajak berlari kencang. Minimal untuk beberapa waktu. Karena dia punya kadar kafein yang lebih besar. Ketimbang jenis kopi yang lain. Pakai metode kopi tubruk. Yang ada ampasnya. Biar makin nendang, biar strong. Strong bisa melekan maksudnya).
Kalau boleh baper, kira-kira kopi asal daerah mana yang mereka minum. Kopi rabusta apa arabika yang mereka suguhkan. Apakah terpikirkan juga, andainya kopi exelsa dan liberika ikut disuguhkan. Biar petani kopi exelsa di Wonosalam Jombang ikut senang. Biar orang-orang yang menanam kopi liberika di ladang-ladang gambut Kalimantan juga merasa di perhatikan.
Kalau boleh baper lagi, adakah kata-kata apresiasi keren setelah jeda menyeruput kopi di sela pembicaraan serius merela? Seperti misalnya: Oh kopinya enak. Oh kopinya nendang. Oh kopinya kurang greng. Oh kopinya kurang pahit. Oh kopinya kurang tebal seperti sandal kuda, dan seterusnya.
Ada Kopi Gayo? Ada Kopi Dampit? Lampung? Kopi Yahukimo Papua? Ah pasti juga tak ada pertanyaan seperti itu. Mereka tak peduli kopinya.
Ada tersuguh di meja, sikat. Ada lagi, sikat lagi. Satu-satu aktivitas yang menunjukkan kedekatan dengan kopi, paling banter hanya begini: kurang manis, ada gula? Eh halooo ada crimer. Uh oh, tambahi sedikit fresh milk sedikit kalau ada.
Yang diujung meja ikut berteriak: bung ada gula rendah kalori gak ya. Kalau tak ada itu saya minta teh tanpa gula saja dong...
Hebatnya kopi, meski di ranah ini dia hanya sebagai pelengkap penderita, tetap keren jua dia berada di atas meja. Tetap pede meruapkan aromanya yang mampu membikin mereka tak segera lelap dalam tidur.
Hebatnya lagi dia masih bisa berslogan: karena kopi semua bersaudara. Satu lagi: ngopi dhisi ben gak paham jadi salah. widikamidi
Advertisement