Ngekos: Terjual 2500 Eksemplar dalam Seminggu
Di akun Facebooknya, Anas Hidayat menutup Pre Order buku Ngekos tanggal 10 November 2020 tepat pukul 16.00 WIB. Sejak dibuka tanggal 2 November, Ngekos terjual 2500 eksemplar.
Pembelinya bukan hanya dari Indonesia, tapi tersebar hingga 14 negara. Dengan demikian, 3500 eksemplar diputuskan untuk cetakan pertama. Awalnya mereka hanya menargetkan 2000 eksemplar.
Ini sungguh mengejutkan. Di tengah lesunya penjualan buku di masa resesi akibat pandemi, ada sebuah buku yang dibandrol dengan harga 250.000 bisa terjual 3500 eksemplar dalam kurun waktu yang singkat.
Bila menilik judulnya, isinya pasti tak jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan rumah kos. Dan bila memperhatikan penulisnya, Anas Hidayat dan Andy Rahman, anak didik Prof Josef Prijotomo (pensiunan guru besar ITS yang sekarang mengajar di Unpar Bandung sekaligus penggiat Arsitektur Nusantara), isinya sudah pasti berbicara tentang dunia arsitektur. Di sela-sela waktu sibuk mereka, Machmud Yunus, jurnalis Ngopibareng.id berkesempatan melakukan wawancara untuk mengupas lebih dalam buku Ngekos dan sekaligus membongkar ilmu mereka dalam menjual buku.
Bisakah Mas Anas dan Mas Andy ceritakan secara singkat tentang perjalanan karir kalian baik sebagai arsitek maupun penulis?
Anas: Ketika lulus dari S2 arsitektur di ITS tahun 2002, saya sudah ingin berkarir dalam penulisan, utamanya penulisan arsitektur. Saya sempat beberapa tahun bekerja di biro arsitektur, kemudian memutuskan keluar untuk menjadi dosen di UKDC Surabaya dan UPN Veteran Jatim, agar lebih fokus juga untuk menulis.
Antara tahun 2008 sampai 2010, saya mengelola rubrik “Arsitekturia” di Surabaya Post, yang harus menghasilkan beberapa tulisan tiap minggu, itu melatih produktivitas saya dalam menulis.
Andy: Saya memulai karir menjadi arsitek setelah lulus dari program sarjana Arsitektur ITS tahun 2004, dan pada 2006 mendirikan biro arsitek bernama ”Andy Rahman Architect”. Lalu, di tahun 2014 saya baru menemukan arah arsitektur saya, yakni kembali ke Arsitektur Nusantara. Meskipun bukan penulis, saya juga terjun ke dunia literasi, telah belajar menerbitkan buku sejak tahun 2012 dengan mas Anas Hidayat, dan mengetahui seluk-beluk serta strategi dalam penerbitan sampai ke pemasarannya.
Buku Ngekos ini buku ke berapa? Sebutkan pula buku-buku karya kalian sebelumnya.
Anas: Ngekos buku saya yang ke-14. Buku-buku saya sebelumnya, baik yang saya tulis sendiri maupun kolaborasi antara lain: Arsitektur adalah Kegelisahan, Arsitektur Koprol, CSA, [+1] Karya Arsitek IAI Jatim, 15 Cerita Arsitek Muda, The Guild, Dancer House, Tan Tjiang Ay Begawan Ciptaning, Gunawan Tjahjono Maharsi Bisma, Tectogram, Methodgram, Wastumiruda Arsitektur Koprol dan Natabata. Yang terbanyak hasil kolaborasi dengan Realrich Sjarief, arsitek dari OMAH Library, Jakarta,
Andy: Ini buku saya yang kelima dalam berkolaborasi dengan Mas Anas. Sebelumnya kami sudah bekerjasama dalam penerbitan tiga buku CSA, +1 dan 15 Cerita Arsitek Muda yang digarap dengan beberapa orang yang lain. Kemudian yang benar-benar kolaborasi kami berdua adalah buku “Natabata” yang terbit tahun 2019. Jadi, buku “ngekos” ini buku kedua kolaborasi murni saya berdua dengan Mas Anas Hidayat.
Tolong jelaskan secara singkat buku Ngekos itu berbicara tentang apa saja? Dan kenapa sampai mesti begitu tebal hingga beratus halaman.
Buku ngekos ini membicarakan tentang 6 rumah kos terbangun karya dari Andy Rahman Architect, dengan dilihat dari berbagai sudut pandang, ada sudut pandang pemilik, pengguna, akademisi/peneliti dan juga sudut pandang arsiteknya sendiri. Di buku ini juga dibahas 7 karya rumah kos kontemporer yang sudah didesain dan menuju/sedang dalam proses pelaksanaan.
Tebal sampai 400an halaman karena bilingual (dwibahasa): Indonesia dan Inggris. Ini dengan maksud agar bisa dibaca oleh kalangan internasional juga, meski rIsikonya bukunya jadi tebal. Ini juga bermula dari penerbitan buku “Natabata” (kolaborasi pertama kami) tahun lalu, yang juga booming dan mampu menjangkau luar negeri karena bilingual.
Dengan harga 250.000 per eksemplar itu tergolong jenis buku mahal. Adakah tips khusus sehingga Anda bisa menjual buku semahal itu dengan laris dalam waktu singkat?
Buku Ngekos dijual dengan harga 350 ribu karena dalam penyusunannya kami tidak hanya memikirkan tentang isi tulisannya saja, tetapi juga tentang foto (dipotret oleh fotografer profesional), tentang grafis dan layout (digarap oleh desainer grafis profesional), demikian juga tentang video dan animasi dalam proses pengenalan buku pada publik, dikerjakan secara profesional.
Lalu, bisa diminati banyak orang, menurut kami salah satunya karena buku ini berangkat dari proyek riil, rumah kos yang sudah terbangun. Bahkan salah satu rumah kos ini pernah diikutkan dalam event WAF (World Architecture Festival) di Jerman, juga beberapa masuk ke website arsitektur internasional seperti archdaily.com. Jadi, ketika dijadikan buku akhirnya cukup banyak peminatnya.
Bagaimana nama kalian bisa dikenal luas khalayak hingga manca negara?
Anas: Kalau soal bisa menjangkau kalangan internasional, ini sebenarnya Mas Andy yang lebih berperan, karena Mas Andy ini cukup sering diundang ke luar negeri, dan relasinya cukup banyak sehingga bisa menjangkau sampai ke luar negeri. Kalau saya lebih pada eksplorasi menulis, bagaimana menulis dengan bahasa yang sederhana dan lebih mudah dimengerti, sehingga bisa dibaca banyak kalangan.
Andy: Iya, sebagai arsitek memang saya pernah diundang ke berbagai negara, baik dalam rangka seminar ataupun festival arsitektur, seperti misalnya ke: Perancis, Jerman, Singapura, Hongkong, India sampai Pakistan sehingga saya punya banyak kenalan di berbagai negara itu. Makanya buku ini harus dibuat bilingual, agar mereka bisa ikut membaca juga (bukan hanya dalam negeri).
Apa nasihat Anda untuk para penulis buku, terutama pemula yang saat ini selalu terkendala dalam pemasaran di mana mereka selalu menjual ke orang-orang yang mereka kenal saja dan tak mampu menjual ke orang asing?
Anas: Berkarya dulu sebanyak-banyaknya, dengan cara menulis dan menulis terus sehingga orang tahu kualitas tulisan anda, dan juga perlu kolaborasi dengan orang lain, sehingga proses penulisan dan penyusunan buku bisa lebih matang, termasuk dalam proses grafis, pencetakan sampai penerbitan. Jika digarap bersama ahlinya tentu akan mendapat hasil yang lebih baik, dan menjangkau kalangan yang lebih luas.
Andy: Sebagai arsitek, berkaryalah secara total, sampai karyamu terbangun dan bisa dilihat oleh banyak orang secara riil. Meskipun tidak bisa menulis, anda bisa berkolaborasi dengan penulis, seperti yang saya lakukan dengan mas Anas Hidayat, dari sini karyamu bisa diabadikan dalam buku, bisa menjangkau kalangan lebih luas, serta lebih bermanfaat bagi orang banyak.
Anas: Selain sebagai penulis, saya juga hobi mendalang, saya menciptakan wayang sendiri dari akrilik yang saya beri nama: Wayang Arek, dengan lakon-lakon kontemporer, kadang juga saya unggah di medsos saya.
Andy: Saya punya motto “Arsitektur sebagai Jalan untuk Kembali”, maksudnya kembali kepada akar arsitektur kita sendiri, kepada kecerdasaan yang sudah dirintis nenek moyang, perlu kita gali dan populerkan lagi. Yang penting juga, bagi saya bukan soal besar-kecilnya proyek, tetapi soal penghayatan dan konsistensi.