Ngebut Bangun Dinasti Widodo???
Selamat Pak Presiden, putra Anda, Kaesang Pangarep, secara aklamasi didaulat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kun Fayakun…maka seketika jadilah ia. Tanpa keributan, tanpa perdebatan, tanpa repot-repot menyoal AD/ART partai, dengan sangat mulus dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, berpindahlah kekuasaan Ketua Umum PSI. Dari tangan sang penyanyi kondang, Giring Ganesha Djumaryo, ke tangan seorang pemuda milenial, politisi pemula yang juga pengusaha belia, Kaesang Pangarep. Luar biasa!
Mungkin saja ucapan proficiat saya ini belum tentu diterima sepenuhnya oleh Pak Jokowi. Bisa jadi beliau malah mengangkat bahu merespon ucapan ini. Karena penting bagi Jokowi untuk memberi kesan bahwa dinobatkannya Kaesang sebagai Ketua Umum PSI, sama sekali bukan arahannya. Cukup dengan menegaskan bahwa Kaesang sudah dewasa, sudah berkeluarga, sudah bisa memutuskan sendiri apa yang ia mau dan lakukan. Seperti biasa, Pak Jokowi pasti akan melafal motto: Urusan saya adalah, kerja, kerja, kerja..bukan ngurusin PSI. Kira-kira begitu respon Jokowi dalam olahan imajinasi liar saya.
Lazimnya, seseorang yang didaulat dan secara aklamasi diterima langsung untuk menduduki kursi Ketua Umum sebuah partai politik, adalah seseorang yang mempunyai kejelasan rekor dan trek politik yang sangat meyakinkan. Harus mumpuni dan menguasai a,b,c-nya perpolitikan dan telah memenuhi kriteria sebagai pimpinan partai yang sesuai ketentuan dan amanat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai.
Bila semua ketentuan ini dikesampingkan, dapat dipastikan bahwa figur yang diajukan pastilah sosok sangat berpengaruh, sangat kuat, dan sosok yang sangat istimewa. Sepertinya, penunjukan langsung Kaesang sebagai Ketua Umum PSI, masuk dalam kategori sosok yang sangat istimewa. Keistimewaannya justru terletak pada nama dirinya yang menyandang gelar ‘bin’, alias anak dari Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia yang ke-7, dan yang belakangan ini tengah sangat berkuasa.
Kejutan politik dan keberanian langkah politik yang diambil oleh para pimpinan PSI ini sungguh luar biasa. Sebuah pendidikan politik kepada kaum muda, kaum milenial dan Generasi Z, yang lebih menguatkan dan semakin mengokohkan fatsun dan etika budaya kekuasaan ala sistem Monarki di dunia perpolitikan kita.
Nah, kalau sudah begini, buat apa ya ada gerakan Reformasi di tahun 1998?
Pertanyaan yang kemudian muncul tentunya sederhana saja; pijakan moral dan nilai perjuangan politik seperti apa yang ditawarkan sebagai rujukan pengganti? Kita biarkan semua berjalan tanpa moral dan nilai-nilai sebagaimana nilai dan pijakan moral yang terumuskan dalam Gerakan Reformasi 1998? Jadi, tidak penting lagi mempersoalkan antara dua pilihan pijakan nilai dan moral: The end jaustified the Means, atau The means justified the END. Alias terabas saja, rebut kemenangan dengan cara apa pun, yang penting berkuasa!
Celakanya, dengan hadirnya fenomena Kaesang ini, orang-orang yang dicurigai dekat dengan sirkel kekuasaan dan istana, langsung kedatangan tamu para aktivis pegiat politik. Salah satu korbannya adalah saya. Mereka langsung memberondong pertanyaan sekaligus tuntutan... Jokowi ini maunya apa? Mau bangun dinasti Widodo? Mau terus berkuasa dan menguasai segalanya? Saya dipaksa memberi jawaban yang sebetulnya bukan menjadi tugas saya, tapi tugas Mas Pratikno selaku Mensesneg. Maka saya pun menjawab seadanya, sebatas yang saya tahu dan pengetahuan saya.
Saya sangat memahami walau yang tampil di permukaan adalah Kaesang dalam kasus peng-Ketum-an dirinya, mengapa justru malah Jokowi yang mereka jadikan sentral figur permasalahan. Pertama, mereka selalu membuka catatan dan masih ingat betul sikap politik PSI yang tegak lurus Jokowi. Sangat sulit dicerna akal sehat mereka, bila Pak Jokowi tidak mengetahui sama sekali. Bahkan lebih jauh lagi, diyakini Jokowi malah merestui langkah Kaesang dan setuju desain politik PSI sehubungan peng-Ketum-an Kaesang.
Kesimpulan mereka, manuver politik peng-Ketum-an Kaesang ini merupakan bagian dari upaya Jokowi membangun Dinasti Widodo. Atas kesimpulan ini, saya tidak memiliki otoritas untuk melakukan penjelasan, sanggahan, maupun klarifikasi. Sekali pun tanda-tandanya sudah mulai tampak sejak Gibran sang putra sulung dan Bobby sang mantu, didorong menjadi penguasa lokal sebagai Wali Kota, Solo dan Medan. Diperkuat lagi dengan diajukannya Kaesang sebagai Ketua Umum PSI.
Melalui tiga pilar kekuasaan anak-anak masing-masing yang memiliki daya dan dana ini, mereka pasti siap untuk melaksanakan tugas persiapan menata bangunan Dinasti. Sehingga bila sang ayah saat purna tugas nanti memberi komando, tidak perlu lagi merintis dari awal, karena segalanya telah dalam posisi Ready to go! Tapi, apakah memang demikian desainnya? Hanya Jokowi yang bisa menjawab.
Kalau pun Pak Jokowi memilih diam tidak menjawab dan terus merayap membangun secara senyap, sejarahlah yang kelak akan memberikan jawaban pastinya. Bagi saya pribadi, masih ada satu hal yang tersisa dan kurang mendapat perhatian, yakni; telaah politik perlawanan ala Jawa. Dalam kaitan ini saya masih ingat betul bagaimana dan apa yang diucapkan Ketua Umum PDIP saat memberikan sambutan pada perayaan ulang tahun PDIP yang ke-50.
Pada momen itu ada serangkaian kata yang diucapkan Megawati di depan massa PDIP dan didengar jutaan rakyat lewat liputan langsung teve yang menurut saya sangat mengecilkan dan meremehkan Presiden Jokowi. Sebagai orang Jawa yang pandai menyimpan gejolak emosi, Jokowi tidak langsung bereaksi saat itu juga. Sebagai priyayi Jawa, serangan balasan biasanya dilakukan secara senyap, merayap, tertata, terarah, dan harus tepat mengenai sasaran. Dan hanya akan dilakukan terbuka pada waktu dan saat yang tepat.
Sekarang, ketika tingkat dukungan kepercayaan masyarakat pada diri Jokowi mencapai angka 80%, ditambah lagi para Ketua Umum partai berebut mendekat bahkan menghamba, inilah mungkin bagi Jokowi saat dan waktu yang tepat melakukan balasan. Seluruh langkah pelesiran politik dan manuver politik goda sana goda sini, senggol sana senggol sini dengan tangan kekuasaannya yang semakin berotot besar dan kuat, pada dasarnya merupakan cara Jokowi unjuk diri sambil menepuk dada…tanpa kamu aku bisa besar, kuat, dan malah membuat nyalimu ciut!
Hasil tepat sasaran pun sudah terlihat dengan belingsatannya Puan Maharani kesana-kemari menawarkan dagangan politik Capres-Cawapres. Seakan gamang kehilangan kepercayaan diri, karena terlalu memposisikan Jokowi sebagai satu satunya penentu kemenangan pada perhelatan Pemilu 2024. Dalam kondisi yang demikian ini, bisa jadi Jokowi tersenyum dengan ekspresi wajahnya yang khas dan berkata dalam hati…hehe sekarang baru tahu ya siapa aku??? Masuk barang itu..!
Begitulah pola reka imaji liar yang dapat saya gulirkan berdasarkan hasil tangkapan realita politik di arena pasar Pemilu 2024 akhir-akhir ini. Rekaan skenario ala imajinasi liar seorang senias yang cukup paham dunia politik dan budaya kekuasaan di negeri tercinta ini.
So, Mas Kaesang dan para fungsionaris Orpol PSI…Selamat! Dan Selamat pusing dan gamang bagi masyarakat yang merindukan Indonesia yang lebih baik. (Dikutip sepenuhnya dari GBN.Top)
*Erros Djarot, budayawan.