Ngaku Gendeng, Sadikin Rela Beri Lukisan Ratusan Juta Gratis
Sekitar pukul 4 sore, Minggu 14/10 di kanan panggung Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) ke 11, Sadikin Pard menggelar kanvas persegi panjang di atas tegel. Putra sulung Alrona Setiawan, tampak sibuk menyiapkan cat-cat air yang ada dimasukkan dalam gelas air mineral plastik.
Saat ditanya oleh ngopibareng.id, mau menggambar apa, ia menjawab, "Saya ini nggak bisa nggambar. Cuma oret-oret cat ini," katanya sambil tertawa.
Beberapa waktu kemudian, Sadikin yang tuna daksa mulai melukis menggunakan kakinya. Di dampingi Al, sang putra yang selalu membantu menuangkan cat sesuai perintah ayah.
Sekitar 20 menit melapisi kanvas dengan warna-warna. Sadikin berhenti sejenak. Sambil beristirahat, dilayaninya sejumlah pertanyaan dengan jawaban penuh makna dan tawa.
Sadikin bercerita bahwa ia merasa terlahir gendeng. "Saya itu terlahir gendeng. Saya melukis pakai mulut, pakai kaki. Nggak seperti pelukis-pelukis lainnya. Nanti lukisan saya jadi, kalau ada yang pengen tapi nggak punya uang ya saya kasih. Pernah juga lukisan saya kalo dipatok kemahalan saya malah nggak kasih. Walau mahal, tapi saya sama orangnya cocok, dan emang orangnya nggak punya duit. Ya saya kasihkan," ia lalu tertawa sampai sipit matanya.
Menurut Sadikin, ada kontak batin dengan pembeli yang membuat ia rela memberikan lukisan itu secara cuma-cuma. Meskipun lukisan itu harganya jutaan rupiah. Ia merasa tak ada alasan untuk tidak merelakan lukisannya diberikan kepada orang yang membutuhkan. Sebab, Sang Kuasa telah lebih banyak dari apa yang mampu ia berikan kepada sesamanya.
"Apalah artinya sebuah lukisan. Wong Tuhan saja sudah berikan saya banyak hal. Jelek-jelek gini saya bisa melukis. Beli rumah, beli mobil dari lukisan. Kalau saya memang harus memberikan lukisan saya secara cuma-cuma, kenapa tidak? Ya saya gratiskan. Apalagi kalau pembelinya kelihatan benar-benar tertarik, tapi ndak punya uang. Sudah, saya suruh bawa saja," ujarnya.
Melukis adalah kegiatan yang ia gemari sejak TK. Namun, ia tak pernah membayangkan akan menjadi ladang mata pencaharian. Cita-citanya adalah menjadi seorang arsitek. Namun ternyata kehidupan menyajikan sesuatu yang lebih asyik untuk ia jalani. Kini ia adalah seorang pelukis yang karyanya dihargai lebih dari Rp500 juta.
Tak lolos kuliah di bidang arsitektur, membawanya masuk ke jurusan psikologi. Biar keren, katanya.
"Ndak bisa kuliah arsitek saja jadi, wes emboh pokoknya kuliah. Akhirnya masuklah di psikologi. Ya biar pokoknya kuliah gitu, biar keren," candanya.
Saat di berada bangku kuliah, Sadikin mendaftarkan diri ke Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) di Swiss. Ia pun diterima. Dari sana, karir melukisnya menjadi semakin tidak diragukan lagi. Ini suatu kebanggaan karena menjadi salah satu dari empat perwakilan tetap Indonesia di AMFPA.
Keterbatasan fisiknya tampak tak membuat Sadikin susah melangkah. Ia melakukan apapun secara semaksimal untuk dirinya dan keluarga.
Menurut Sadikin, hidup adalah tentang belajar. Ia belajar banyak dari alam untuk dapat dan terus melukis. Dengan melukis, ia belajar untuk fokus pada tujuan dan membangun semangat dari cibiran orang.
"Saya itu kalau melukis fokus. Ndak urus orang ngomong apa saja tentang diri saya. Saya nggak peduli. Dari situ, saya belajar bagaimana membuat cibiran orang-orang kepada diri saya menjadi semangat. Saya itu sudah banyak dihujat, dirajam kata-kata sama orang. Tapi nyatanya, hal itulah yang membuat saya terus berkarya dan menjadi saya sekarang," katanya sambil senyum.
Tak hanya melukis, Sadikin juga seorang pengajar. Laki-laki kelahiran Oktober 1966 ini mengajar mahasiswa asing yang berkuliah di Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Muhammadiyah Malang. (tts)
Advertisement