Ngaji dengan Gus Baha: Sikap Heroisme
KH Ahmad Bahauddin Nursalim menjadi figur fenomenal. Juru dakwah khas pesantren yang populer lewat media sosial youtube, ternyata menjadi perhatian banyak orang. Banyak orang ngaji -- melalui media sosial itu -- bersama Gus Baha. Materi khas pesantren, dengan logika modern, menjadi daya tarik tersendiri. Akhmad Zaini, mantan wartawan yang kini aktif di dunia pendidikan di Tuban menulis renungannya tentang Ngaji Bersama Gus Baha' secara bersambung. Berikut edisi pertama -- Redaksi:
Usia saya setahun lebih tua dari KH Ahmad Bahauddin Nursaliam alias Gus Baha. Tapi, senioritas dari sisi usia tidak menghalangi saya untuk ngaji dengan kiai yang bernama lengkah KH Ahmad Bahauddin Nur Salim ini. Meski lebih muda, Gus Baha adalah ulama yang alim alamah. Jadi, sangat layak diposisikan sebagai guru.
Nimba ilmu atau ngaji ke Gus Baha sudah secara rutin saya lakukan 2 tahun lebih. Terutama lewat yourtube. Sebelum pandemi Covid-19 memporakporandakan kehidupan manusia, saya rutin mengikuti ngaji Tafsir Jalalain tiap hari Rabu, sebulan dua kali di Pesantren Gus Baha, di Narukan, Rembang.
Sampai sekarang Ngaji rutin itu belum dimulai. Sudah kangen. Beberapa kali konfirmasi, kapan ngaji rutin itu dimulai, sampai sekarang belum dapat kepastian. “Belum. Beliau belum memberikan keputusan,” kata Gus Fuad, adik Gus Baha ketika saya WA.
Tertambatnya hati untuk ngaji ke Gus Baha adalah buah dari pencarian sejak saya masih aktif di Jawa Pos (saya keluar dari Jawa Pos 10 Juni 2011). Sebagai santri, saya merasa tetap ingin ngaji (tatap muka bukan lewat medsos) meski usia sudah tidak muda lagi. “Hunting guru” saya lakukan. Ketemu beberapa guru (kiai) hebat. Ada saja hambatan yang muncul. Belum berjodoh. Sehingga keinginan untuk ngaji secara istiqomah belum bisa diwujudkan.
Semestinya sudah cukup lama mendengar soal nama Gus Baha dan cerita tentang kealimannya. Namun, karena kala itu belum aktif buka youtube, maka info perihal Gus Baha itu belum saya tindaklanjuti. Baru setelah “kecanduan youtube” menimpa diri saya, kurang lebih 2,5 tahun lalu, akhirnya pencarian itu saya lakukan. Ketemu dan akhirnya “kecanduan”.
Sekali, dua kali menyimak Ngaji Gus Baha di Youtube, hati langsung tertambat. Rekaman video di Youtube yang panjang-panjang saya ikuti satu per satu. Makin penasaran, muncul gairah untuk bisa mengikuti pengajian secara langsung. Akhirnya saya hutting mencari informasi jadwal pengajian beliau. Beberapa teman di NU saya tanya. Akhirnya, info itu pun saya dapatkan. Pertama, Ngaji di Bojonegoro. Kemudian, pindah mengikuti pengajian rutin di Narukan. Sebulan 2 kali. Tiap hari Rabu.
Beberapa teman di Tuban saya provokasi. Berhasil. Akhirnya, beberapa teman ikut ngaji ke Narukan. Gantian bawa mobil. Yang tidak capai, bawa mobil plus sekalian bertugas sebagai driver. Asyik. Seakan menjadi hiburan yang selalu ditunggu kehadirannya.
Dari sekian banyak pengajian yang saya ikuti –terbanyak lewat yourtube—saya tertambat dengan bahasan tentang sikap heroism, patriotik atau kepahlawan. Pertama, saya menyimak masalah itu ketika Gus Baha memberikan tausyiah pada Haul KH Wahab Hasbullah beberapa bulan lalu. Kemudian, beberapa hari lalu ketika Gus Baha didapuk untuk memberikan tausyiah pada peringatan Hari Santri Nasional oleh Pemda Kudus.
Dalam konteks sekarang, ulasan Gus Baha ini sangat relevan untuk kita simak. “Problem bangsa ini adalah hilangnya sikap heroisme. Sikap kepahlawanan. Sikap ingin memberi. Sikap ingin berkorban demi kemaslahatan umat. Sebaliknya, yang marak berkembang adalah sikap ingin mendapatkan. Saling iri. Saling menuntut. Saling menyalahkan,’’ kata Gus Baha.
Gus Baha kemudian menceritakan, sebelum Nahdlatul Ulama lahir sebagai organisasi, para ulama pesantren yang dipimpin oleh KH Wahab Hasbullah membentuk Komite Hijaz. Tugas tim ini adalah menemui Raja Arab Saudi guna menyampaikan aspirasi para ulama pesantren agar pemerintah Arab Saudi yang berfaham Wahabi membatalkan rencana membongkar makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.
Setelah misi Komite Hijaz terlaksana dengan baik, guna mengkonsolidasikan para ulama di Nusantara terkait dengan rencana pendirian NU, Kiai Wahab keliling ke beberapa pesantren di pulau Jawa dan luar Jawa. Dan, bisa dipastikan, misi itu tidak mudah dilakukan. Mengingat, transpotasi dan komunikasi zaman itu belum secanggih sekarang.
“Misi itu, baik yang ke Arab Saudi maupun yang keliling ke beberapa pesantren, dilakukan oleh Mbah Wahab dan kiai lainnya tanpa ada proposal. Semua didanai sendiri. Merogoh kantong sendiri. Inilah sikap heroisme yang harus dicontoh. Tanpa sikap heroisme, tanpa sikap rela berkorban para kiai itu, NU tidak akan berdiri,” tandas Gus Baha.
Demikian juga ketika Indonesia masih di era-era perjuangan. Baik ketika masih dijajah Belanda, di awal-awal kemerdekaan dan di saat mempertahankan kemerdekaan. Sikap heroisme itu juga tumbuh subur di kalangan masyarakat. Demi kemerdekaan, semua rela berkorban. Rela menyumbangkan harta benda yang dimiliki. Nyawa pun rela dipertaruhkan. Para pendahulu itu tidak berpikir tentang balasan apa yang akan mereka peroleh setelah negara ini meraih kemerdekaannya.
“Sikap heroisme atau patriotik ini sangat penting,” tandas Gus Baha. Peristiwa-perisitiwa penting selalu lahir dari adanya sikap heroisme.
Beberapa tahun sebelum ngaji rutin ke Gus Baha, saya semestinya sudah aktif mengkampanyekan sikap positif tersebut. Secara subtansi sama. Kerelaan untuk berkorban. Keikhlasan untuk memberi. Hanya, bahasa yang saya gunakan agak sedikit beda. Saya menggunakan istilah, “Jadilah pemberi, jangan menjadi orang yang selalu berharap-harap pemberian”.
Di hadapan mahasiswa, baik saat di runag perkuliahan atau di event penting seperti wisuda, kalimat itu sering saya ulang-ulang. Begitu juga ketika memberikan pengarahan saat rapat staf atau dosen.
“Jika kita bermental sebagai ‘Pemberi’, insya Allah kita akan ditaqdirkan sebagai orang yang punya kemampuan untuk memberi. Sebaliknya, jika kita bermental berharap pemberian, maka Allah akan menaqdirkan diri kita menjadi orang yang hanya bisa hidup bila mendapatkan pemberian dari orang lain. Bukankah Allah menyertai prasangka hamba-Nya,” kata saya berkali-kali.
Kata-kata itu terinspirasi dari pengalaman pribadi. Dan, saya ingin orang lain bisa merasakan lezatnya pengalaman itu!
(akhmad zaini-Tuban/bersambung)
Advertisement