Ngaji dengan Gus Baha: Orang Miskin Lebih Heroik
Sikap heroisme, suka memberi, dan rela berkorban untuk kebaikan bersama, seyogiyanya ditumbuhkan di hati semua orang. Karena pada hakekatnya untuk memiliki karakter seperti itu, tidak harus kaya dulu. Tidak harus berlebih dulu. Semua bisa melakukan. Asal mau dan punya ilmunya.
Dalam konteks orang memberi pengorbanan untuk orang lain, Gus Baha selalu memberikan penekanan soal besar kecilnya manfaat atau implikasi yang ditimbulkan. Bukan besar kecilnya jumlah bantuan yang diberikan.
“Ada orang kaya raya. MIliarder. Dia bantu acara pengajian Rp 100 juta, atau menyumbang Rp 500 juta untuk dibelikan geranit yang bagus untuk masjid. Di pihak lain, ada orang miskin. Hanya memiliki uang Rp 100 ribu. Rp 50 ribu atau 50 persen dari uang yang dimilikinya itu, dipinjamkan atau diberikan kepada tetangga atau saudaranya untuk berobat. Gara-gara berobat itu, nyawa tetangganya terselamatkan. Kira-kira heroik mana? Si MIliarder? Atau si miskin?” kata Gus Baha memberikan ilustrasi.
Bagi Gus Baha, apa yang dilakukan si miskin lebih heroik daripada yang dilakukan si kaya. Pertama, meski uang yang disumbangkan si miskin hanya Rp 50 ribu, tapi uang itu telah menyelamatkan nyawa seseorang. Nyawa adalah sesuatu yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Selain itu, Rp 50 ribu yang disumbangkan, adalah 50 persen atau separo dari semua uang yang dimilikinya.
“Lha kalau yang diberikan si kaya, meski nilainya Rp 100 juta atau Rp 500 juta, tapi jumlah itu tidak ada separo atau 50 persen dari semua harta yang dimilikinya. Acara pengajian yang disumbang juga bukan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Tidak menyangkut mati-hidupnya seseorang. Begitu juga dengan bagunan masjid. Geranit mahal, yang dibeli dengan sumbangan si kaya Rp 500 juta, juga bukan sesuatu yang esensial. Itu hanya untuk menuruti selera panitia pembangunan. Karena untuk bisa dipakai sejud, masjid tidak harus dipasang dengan geranit yang mahal,’’ papar Gus Baha.
Sikap heroisme atau rela berkorban, lanjut Gus Baha, target utamanya bukan sedikit-banyaknya bantuan. Tapi, untuk membangun pola pikir yang baik. Karena dengan pola pikir yang baik itu, maka tatanan sosial akan baik pula. Di mana, di dalam tatanan sosial itu, masing-masing anggota masyarakatnya menjadi solusi. Bukan problem. Mereka berlomba ingin memberikan yang terbaik.
Jika yang terjadi sebaliknya; masing-masing orang ingin mendapatkan pemberian. Bukan memberi. Maka tatanan sosial yang akan tercipta adalah suasana kacau. Di mana, masing-masing orang akan saling berebut untuk mendapatkan yang terbanyak. Saling iri satu dan lainnya. Saling menyalahkan. “Kalau situasi ini yang terjadi, maka kekacauanlah yang bakal muncul. Siapa pun yang memimpin, menjadi bupati, menjadi gubernur, menjadi presiden akan selalu dituntut dan dipersalahkan. Ribet!” tandas Gus Baha.
Selain itu, berbagai langkah yang dimaksudkan sebagai solusi, juga tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Contoh BLT (bantuan Langsung Tunai) untuk orang miskin. Gara-gara banyak orang yang bermetal ingin mendapatkan pemberian, bukan memberi, maka orang yang tidak miskin pun minta dimiskinkan supaya mendapatkan bantuan. Sehingga BLT yang sedianya untuk mengurangi atau menghapus kemiskinan, malah menambah jumlah kemiskinan. “Bagaimana tidak bertambah? Wong yang tidak miskin ingin dianggap miskin. Ini khan kacau!”
Jadi, perubahan pola pikir itulah yang menjadi target utamanya. Karena kalau pola pikir masyarakat sudah benar, maka tatanan kehidupan sosial akan lebih baik. Dari situ, akan terhimpun energi besar untuk melakukan hal-hal yang positif. Dalam hal ini, lanjut Gus Baha, Nabi Muhammad SAW telah sukses melakukannya. Perang Tabuk adalah salah satu bukti sejarah akan kesuksesan itu.
Perang Tabuk adalah perang besar yang dijalani oleh Rasulullah SAW. Dalam perang ini, Rasulullah SAW mengambil peran sebagai panglima perang. Perang ini terjadi sekitar bulan Rajab hingga Ramadlan, tahun 9 Hijriyah. Berlokasi antara lembah al-Qura dan Syam danberjarak sekitar 778 km dari Madinah. Adapun musuh yang dihadapi adalah pasukan Romawi yang jumlah pasukannya lebih banyak dan kekuatannya lebih besar.
Dalam menghadapi situasi semacam itu, Rasulullah memompa semangat kaum muslimin agar tetap memiliki nyali besar untuk menghadapinya. Semua kaum muslimin dimotivasi untuk ambil peran atau berkontribusi. Sayidina Abu Bakar RA menyumbangkan semua harta yang dimilikinya. Sedang Sayidina Umar RA menyumbangkan separoh dari hartanya. Begitu juga dengan Sayidina Ustman RA dan sahabat-sahabat yang lain. Mereka berlomba-lomba untuk berkontribusi.
Yang heroik adalah para sahabat yang miskin. Kepada Rasulullah SAW mereka berkata, “Ya Rasulullah, saya memiliki bekal makanan sedikit dari hasil kerja kemarin. Separoh akan saya berikan kepada keluarga di rumah. Yang separohnya akan saya gunakan untuk bekal ikut berperang bersamamu.” Rasulullah pun sangat senang dan memuji sikap para sahabat yang miskin ini. Meski harta yang dimiliki tidak banyak, tapi mereka rela berkontribusi. Mereka ikut berperang bersama Rasulullah dengan menggunakan bekalnya sendiri.
“Gara-gara sikap sahabat yang seperti itu, maka bantuan besar yang diberikan oleh para sahabat papan atas seperti Abu Bakar, Umar dan Ustman, bisa dibelikan untuk membeli peralatan perang dan kuda. Bukan habis untuk membeli makanan, untuk dibagikan kepada para sahabat yang miskin. Dan akhirnmya, Rasulullah dan kaum muslimin pun memiliki modal yang cukup untuk maju ke medan perang. Kemenangan pun bisa diraih dengan gemilang. Coba bayangkan kalau yang terjadi sebaliknya. Ribet!’’ jelas Gus Baha.
Terkait dengan hal ini, saya teringat dengan narasi yang dibangun oleh para pengurus Masjid Jogokaryan, Jogjakarta. Mereka selalu berkampanye agar para jamaah di masjid itu bisa beribadah kepada Allah dengan bekal yang mereka miliki sendiri. Bukan atas bantuan atau kontribusi pihak lain. Caranya, seandainya dana operasional masjid tersebut per bulan Rp 10 Juta, sedang jamaahnya ada 100 orang, maka untuk fasilitas ibadah masing-masing orang membutuhkan dana Rp 100 ribu dalam sebulan. Jika ada jamaah yang dalam satu bulan menyumbang Rp 100 ribu, maka kebutuhan sebulan di masjid itu berarti telah dibiayainya sendiri. Namun, jika sebulan menyumbang Rp 50 ribu, maka yang separo (Rp 50 ribu) adalah sumbangan atau infaq dari orang lain.
Di sinilah, esensi ajaran yang selalu diajarkan Gus Baha dalam berbagai pengajian. Beliau ingin agar semua orang bisa menjadi solusi. Solusi bagi dirinya sendiri. Solusi bagi keluarganya. Soluisi bagi masyarakat sekitarnya dan solusi bagi negaranya. Bukan malah menjadi beban dan menjadi problem.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada umatnya agar selalu menjadi orang yang bermanfaat untuk lingkungannya. Sabda Nabi, “sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat di antara kalian.” Di kesempatan lain, Nabi bersabda, “tangan yang di atas, lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (Bersambung)
Akhmad Zaini
(Peserta Ngaji Bersama Gus Baha dan aktivis pendidikan di Tuban, Jawa Timur)
Advertisement