Ngaji Bidayatul Mujtahid Dihentikan, Ini Alasan Gus Ulil (2)
Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd yang amat terkenal. Di dalamnya, termuat hujjah (argumen) dari empat madzhab. Bagi santri, kitab ini cukup berat.
Ulil Abshar Abdallah pernah melakukan aktivitas online Ngaji Kitab Bidayatul Mujtahid ini. Tapi, tak berlangsung lama. Gus Ulil pun akhirnya menghentikan pembacaan kitab tersebut.
Berikut lewat tulisan berjudul "Kiai Muslih Mranggen "ngaji" Bidayatul Mujtahid", Gus Ulil memberikan sejumlah alasan. Berikut pandangan Gus Ulil:
Selain berguru kepada sejumlah kiai di Jawa, seperti Kiai Zubair Sarang (ayahanda dari Kiai Maimoen Zubair), Kiai Maksum Lasem (ayahanda Kiai Ali Maksum Krapyak), Kiai Dimyati Termas (kakak kandung dari Syekh Mahfudz Termas [w. 1920], maha-guru ulama Jawa yang masyhur di Mekah itu), Kiai Muslih juga berguru kepada Syekh Yasin al-Fadani (w. 1990) di Mekah.
Seperti sudah saya tulis di atas, Kiai Muslih memang lebih dikenal sebagai "kiai tarekat". Saat Kiai Shodiq Hamzah Semarang, murid Kiai Muslih langsung itu, menginformasikan bahwa beliau pernah ngaji kitab Bidayatul Mujtahid, saya agak kaget. Ngaji kitab karya Ibn Rusyd (di Eropa abad pertengahan, dikenal sebagai Averroes) ini bukan hal yang lazim, apalagi bagi kiai tarekat.
Menurut penuturan Kiai Shodiq, ia pernah ngaji beberapa kitab "besar" dengan Kiai Muslih, hingga khatam. Kitab-kitab itu mencakup: al-Mahalli (kitab dalam fiqih Syafii yang merupakan syarah atau komentar atas Minhaj al-Thalibin yang masyhur karya Imam al-Nawawi), al-Muhazzab (kitab fiqh Syafii karya Abu Ishaq al-Shirazi), Fath al-Mu'in, (kitab fiqh Syafii karya seorang ulama Malabar, India: Syekh Zainuddin al-Malibari, murid langsung dari Imam Ibn Hajar al-Haitami), Ihya' Ulum al-Din (kitab tasawwuf karya al-Ghazali), Jam' al-Jawami' (tentang ushul al-fiqh atau filsafat hukum Islam), 'Uqud al-Juman (tentang ilmu balaghah atau teori sastra Arab klasik), Dahlan Alfiyyah (syarah atas nadzam Alfiyyah yang masyhur itu), dll.
Saya kemudiah "menginterogasi" Kiai Shodiq agak lebih detil tentang bagaimana Kiai Muslih ngaji Ihya'. Saya memang sedang mengumpulkan kisah-kisah tentang bagaimana kitab Ihya' diajarkan di pesantren Jawa (semoga kelak menjadi sebuah buku).
Kiai Shodiq menuturkan: Kiai Muslih mengajarkan kitab Ihya' setiap hari, usai salat subuh hingga pukul 7 pagi, dan mengkhatamkannya dalam waktu empat tahun. Kiai Muslih cenderung untuk "ngaji cepat" dalam mengajarkan kitab ini, sebagaimana yang beliau lakukan pada kitab Bidayatul Mujtahid. Maknanya: beliah hanya membaca kata-demi-kata, memberikan makna sesuai tradisi bandongan yang populer di pesantren, tanpa menerangkan dan mengulas secara mendalam kitab bersangkutan.
Kiai Shodiq sempat menunjukkan kepada saya foto-kopian kitab Ihya' yang sudah penuh dengan "sah-sahan", alias terjemahan antar-baris, hasil ia mengaji dengan Kiai Muslih. Sayang sekali, naskah asli kitab ini dipinjam oleh seorang temannya dan tidak kembali. Untung saja, Kiai Shodiq masih sempat meng-kopi kitab itu, sehingga "jejak" ngaji-nya dengan Kiai Muslih tak hilang sama sekali.
Bagi saya, Kiai Shodiq Hamzah Semarang ini sangat istimewa. Ia sendiri belajar dalam waktu yang lama dengan Kiai Muslih, dan rajin mengarsipkan kitab-kitab yang pernah ia pelajari dengan gurunya. Dia juga pernah belajar secara intensif selama tiga tahun dengan Syekh Yasin al-Fadani di Mekah. Ia memperoleh semua sanad-nya Kiai Yasin, selain Syekh Muhammad al-Maliki dan Syekh Abbas al-Maliki -- kesemuanya adalah ulama-ulama di Mekah yang dihormati oleh kiai-kiai dari Indonesia karena secara loyal dan "keras-kepala" masih merawat tradisi Sunni, berhadapan dengan "gempuran ideologis" yang dahsyat dari Wahabisme di Saudi Arabia.
Kiai Shodiq mengarang banyak risalah dalam berbagai bidang ilmu, baik dalam bahasa Arab, Jawa, atau Indonesia. Dalam hal ini, dia mengikuti jejak Kiai Muslih dan Kiai Ahmad Mutohar (adik Kiai Muslih) -- kedunya adalah termasuk kiai yang "prolifik", banyak menulis buku, terutama Kiai Ahmad Mutohar (kitab-kitabnya masih banyak beredar di toko-toko buku di daerah Jawa).
Amat disayangkan, bahwa saat ini tradisi mengarang di kalangan kiai Jawa kian merosot. Perlu ada usaha untuk membangkitkan kembali tradisi ini di kalangan kiai-kiai tradisional -- baik mengarang dalam bahasa Arab, bahasa daerah, atau bahasa Indonesia. Hanya dengan cara inilih "intelektualisme tradisional" ala pesantren yang amat berharga akan hidup terus. Inilah satu-satunya tradisi intelektual Islam warisan dari era Imam Ghazali dulu yang masih bertahan hingga sekarang di Indonesia.
Sayang sekali jika punah. Sekian.***
Tembalang, Semarang, 29/2/2020