New Normal Surabaya, Cegah Virus Bukan Jaga Malam
Dua bulan ngendon di rumah memang menyebalkan. Apalagi hidupnya penuh dengan keterbatasan.
Terbatas luas rumahnya, terbatas penghasilannya, dan terbatas fasilitas pengaman sosial yang bisa diterimakan. Bisa membayangkan.
Bagi mereka tentu tak masuk akal jika terlalu lama tak bisa bergerak. Hidup harus terus berlanjut. So must go on. Hidup tak mungkin terhenti.
Maka pilihan untuk hidup dengan pola baru alias new normal menjadi sesuatu yang niscaya. Tidak bisa tidak. Kecuali negara bisa menghidupi semua.
Persoalannya, siapkah warga kita menjadi hidup baru di tengah ancaman terpapar virus Corona? Saatnya ini yang menjadi fokus kita semua..
Semalam saya berdiskusi panjang dengan Ketua RT tempat saya tinggal. Sehari sebelumnya bercengkerama dengan tokoh masyarakat dari kampung yang masuk zona merah.
Kesimpulan saya, masih ada problem besar untuk masuk ke hidup new normal di Surabaya. Apa itu? Soal pemahaman tentang virus yang telah menjadi pendemi dunia.
Jangankan cara-cara penularan virus dan cara mencegahnya, masih banyak yang salah paham tentang langkah pemerintah dalam menangani pandemi ini.
"Sampai kapan program Corona Pak Jokowi ini?. Kalau lama tidak boleh keluar rumah, kita makan apa?," kata warga seperti ditirukan Munarso, tokoh masyarakat dari Asemrowo Surabaya.
"Di sini, setiap jam 9 malam sampai pagi, orang luar tidak boleh masuk. Kami menjaga agar virusnya tak menyebar di kampung kami," kata Kuswantoro, Ketua RT di Kutisari.
Dua pernyataan di atas sudah bisa menggambarkan tingkat pemahaman warga tentang wabah ini. Dari frasa tak boleh keluar rumah dan jaga malam mencegah virus.
Ada yang perlu dibenahi dalam strategi komunikasi publik tentang pandemi Corona. Sehingga masih banyak kesalahpahaman dalam mensikapinya.
Dus, selain meningkatkan fasilitas kesehatan untuk menangani kasus positif Corona, program memahamkan warga tentang virus ini masih harus ditingkatkan. Perlu gerakan masif di bidang ini.
Ada banyak instrumen kelembagaan yang bisa dimanfaatkan untuk hal tersebut.
Misalnya jaringan PKK, Posyandu dan kader lingkungan. Ini semua sudah mapan di Surabaya. Hanya saya tidak tahu apakah semua itu masih digunakan sebagai instrumen sosialisasi program keluarga atau tidak.
Saya ingat dulu Ketua Penggerak PKK Surabaya Bu Dyah Katarina Bambang DH berduet dengan istri saya Tjahjani Retno Wilis. Keduanya punya kesibukan yang tidak kalah dengan suaminya masing-masing.
Mereka berdua disupport penuh Bu Risma dalam penganggaran. Baik ketika masih di Dinas Kebersihan dan Pertamanan maupun saat menjadi Kepala Bappeko. Karena itu, PKK, Posyandu, dan kader lingkungan penuh greget.
Mengapa ketiga lembaga tersebut bisa menjadi instrumen efektif dalam menyampaikan program pemerintah? Karena aktifisnya adalah ibu-ibu berpengaruh di tingkat RT dan RW. Gabungan antara pengaruh tokoh lokal dan kepemimpinan formal.
Tentu, dalam hal sosialisasi pencegahan Covid-19, tak mungkin mengumpulkan ibu-ibu PKK, Posyandu dan kader lingkungan. Tapi mereka bisa menjadi jaringan untuk membagikan media kampanye pencegahan Covid.
Misalnya, pemerintah membuat poster kampanye Covid yang sederhana dan modah dipahami. Logo yang dipasang tidak hanya Pemkot. Tapi juga PKK, Posyandu dan Kader Lingkungan.
Terus poster itu ditempel di setiap rumah dengan ada logonya ketiga lembaga tersebut. Kalau perlu kader ketiga lembaga itu menjadi tenaga yang membagikan ke rumah.
Apalagi kalau setiap poster diberi barcode untuk memudahkan kontrol penyebaran. Sistem data base kota sekaligus bisa disempurnakan melalui langkah ini. Menjadi sistem kontrol apakah poster terpasang atau tidak.
Persoalannnya apakah lembaga-lembaga berbasis ibu-ibu sampai di tingkat RT ini masih berjalan? Saya tidak tahu persis. Hanya saja, sampai sekarang pun saya tidak pernah mendengar siapa Ketua Penggerak PKK Kota, Posyandu dan kader lingkungannya.
Lah lantas mengapa tidak menggunakan perangkat IT seperti media sosial dan sebagainya? Meski kota besar, di perkampungan tidak semua terakses dengan media tersebut. Apalagi media sosial sangat tergantung keaktifan penggunanya.
Di awal pandemi, di Surabaya petugas kelurahan berkeliling menggunakan TOA mensosialisasikan protokol Covid. Tapi itu pun juga hanya di jalan-jalan besar. Tidak sampai masuk ke gang-gang kecil perumahan.
Padahal demografi penyebaran virus Covid di kota ini lebih banyak di perkampungan padat. Di wilayah yang banyak dihuni warga miskin kota. Berbeda dengan DKI yang terkena positiv Corona mereka dari kalangan kelas menengah.
Singkat cerita, saya hanya ingin mengatakan bahwa diperlukan review tentang strategi komunikasi untuk memahamkan warga tentang pencegahan Covid. Sebab, masih banyak yang belum paham, bahkan salah paham tentang hal ini.
Di luar itu, pemerintah perlu lebih serius menegakkan protokol pencegahan Covid di tempat-tempat publik. Dalam kenyataannya, masih banyak tempat belanja yang belum menerapkannnya secara ketat.
Rasanya sambil menangani problem medis akibat "merah kelam"nya status pandemi Surabaya, perlu dilakukan sosialisasi masif untuk memahamkan warga tentang Covid. Sambil berdoa agar vaksin penawar pandemi ini segera jadi.
Fase new normal memang tak mungkin dihindarkan. Tapi warga juga perlu disiapkan untuk menghadapinya. Biar new normal tak hanya menjadi jargon baru yang justru menghasilkan ledakan baru penderita Corona.