Nestapa Gadis Yatim Piatu Asal Kota Mojokerto, Putus Sekolah Akibat Derita Tumor Uterus
Oktavia Dwi Rahmadani terpaksa berhenti sekolah. Gadis 18 tahun asal Lingkungan Kuwung Kelurahan Meri, Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto, Jawa Timur ini divonis dokter menderita tumor uterus.
Tumor tesebut diderita sejak dua tahun lalu. Saat itu, dia masih kelas 10 SMA. Anak yatim piatu yang tinggal bersama saudara kandung perempuannya bernama Septi Kustanti, usia 32 tahun ini, hanya mengandalkan gaji dari penghasilan sebagai buruh di kios minuman di Sky Work Alun-alun Kota Mojokerto.
Sebagai anak tertua dari dua bersaudara, Septi janda dua anak ini sudah berusaha menjaga dan mengobati sakit yang diderita adiknya. Namun apalah daya, gaji Rp 35.000 per hari tidak mampu menanggung semua kebutuhan pengobatan, meski tetap dibantu Kartu Indonesia Sehat (KIS) APBD.
Septi menceritakan, tumor itu diketahui saat adiknya baru masuk sekolah kelas 10 SMA PGRI Puri, Mojokerto. Muncul benjolan pada perut bawah adik semata wayangnya, pada 2022 lalu.
"Pas cobain rok sekolah saya pegang perutnya ada benjolan. Kemudian saya bawa ke Puskesmas dan dirujuk ke RS Gatoel," kenangnya, Kamis 29 Agustus 2024.
Pihak Puskesmas menduga terjadi masalah pada kandungan Oktavia. Namun setelah diperiksa dokter RS Gatoel ternyata tidak ada masalah pada kandungan.
"Dia butuh Magnetic resonance imaging (MRI), setelah itu dirujuk ke RSAL dr Ramelan Surabaya. Dari dokter dikasih kayak lab yang mengarah ke tumor," tutur Septi.
Pihak rumah sakit pun menyarankan Oktavia untuk Ultrasonografi (USG). Namun, kondisi ekonomi yang kurang layak membuat Septi mengurungkan adiknya kembali berobat.
"Belum sempat kembali untuk USG, saya terkendala biaya transportasi. Waktu itu saya tidak mengetahui kalau ada armada buat kesana dari puskesmas untuk rujukan," tegasnya.
Meski batal USG, Oktavia masih bisa beraktivitas seperti biasa, kesehatannya pun nampak normal, bahkan ia tetap melanjutkan sekolah.
Seiring berjalannya waktu, tumor yang dideritanya kian kambuh. Sering kali ia pingsan di sekolah. Septi pun memutuskan adiknya untuk tidak melanjutkan menempuh pendidikan.
"Cuma kami alasan ke sekolah terkendala biaya. Aslinya ya karena sakit itu," cetusnya.
Meski begitu Oktavia masih bisa beraktivitas, bahkan menjaga kedua anak kakaknya saat ditinggal kerja. Namun, sekitar bulan Maret 2024, Oktavia mulai terlihat kurus. Setelah Hari Raya Idul Fitri, kondisinya tiba-tiba drop.
Okta dilarikan ke RSUD dr Wahidin Sudiro Husodo, Kota Mojokerto untuk mendapatkan perawatan medis. Dua hari setelah opname, kaki dan tangan Okta membengkak.
"Saya tanya ke dokter, kenapa dok kok bengkak? Dokter menyimpulkan karena penyakitnya sudah menjalar," ujarnya.
Septi menyebut, Pihak dokter RSUD dr Wahidin Sudiro Husodo hanya menangani pembengkakan saja. Untuk benjolan yang diklaim tumor masih belum ada penanganan.
“Saya waktu mengantar adik kontrol pertama tanya, ‘dok, apa tidak ada harapan sedikit saja,’ tidak ada,” terangnya sembari meneteskan air mata.
Selain menderita tumor, Septi mengatakan, tidak ada biaya untuk membiaya pendidikan sang adik. Penghasilannya sebagai penjaga kios minuman di Sky Walk Alun-alun Kota Mojokerto terbilang pas-pasan.
Ia menambahkan, ada indikasi jika penyakit tumor yang diderita sang adik disebabkan genetik. “Ada keturunan, kakak saya ada kanker, adiknya ibu saya juga kena kanker lidah, dan ibu saya sendiri tumor paru-paru. Jadi menurut saya ada faktor genetik juga," ungkapnya.
Septi sangat berharap ada uluran tangan dermawan untuk membantu pengobatan anaknya, meski memang Okta memiliki jaminan kesehatan dari KIS APBD.
“Harapannya ada kesembuhan meskipun dioperasi, mungkin diambil benjolannya. Kalau disini tidak bisa, mungkin di Surabaya bisa. Mintanya dia dikawal sampai dia dapat penanganan, minta tolong,” ungkapnya.
Advertisement