Neno-Dhani: Menggali Benci Lewat Aksi Deklarasi
Haruskah pemilihan presiden (pilpres) 2019 berlangsung dengan penuh ketegangan? Tidak seharusnya demikian. Tentu bila masing-masing pihak bisa mengendalikan diri dan menganggap pemilu itu sebagai pesta demokrasi.
Nyatanya, sejak awal tahun ini, ketegangan-ketegangan terjadi di berbagai tempat. Semula antara pendukung Presiden Joko Widodo dengan yang anti presiden asal Solo itu. Sebut saja mereka itu ProJok dan AnJok.
Eskalasi ketegangan mulai terasa sejak ada gerakan #2019GantiPresiden. Gerakan yang dimulai dengan pengenaan kaos bersimbol tagar itu berkembang menjadi aksi deklarasi di beberapa kota. Deklarasi yang berkesinambungan di beberapa kota itu menimbulkan penolakan di mana-mana.
Ketegangan lebih vulgar terjadi di dunia maya. Laman berbagai media sosial menyeruak seakan tak berhenti setiap hari. Saling caci, saling sindir, dan saling membenci. Dunia maya penuh dengan para penerka. Istilah ini yang dipakai Iwan Fals untuk menyebut mereka yang saling bertengkar.
Tak jarang, bahasa agama menyeruak ke permukaan. Muncul istilah partai malaikat dan partai setan. Bahasa agama menjadi label bagi partai-partai tempat mereka berebut kuasa. Bahasa kebun binatang tak ketinggalan. Ada sebutan kaum kampret dan kaum cebong.
Sampai kapan situasi seperti ini akan terus terjadi? Mengapa kontestasi politik menjadi begitu sangat personal, bukan lagi cerminan dari kepentingan kelompok-kelompok masyarakat? Bisakah sumber-sumber kebencian yang menyeruak dalam masyarakat ini berhenti? Inilah sejumlah pertanyaan yang menggelayut bagi mereka yang masih punya hati.
Simbol Baru Tokoh Baru
Yang menarik, tiba-tiba saja muncul tokoh politik baru yang sama sekali tidak mempunyai latar belakang politik. Misalnya Neno Warisman dan Ahmad Dani. Neno adalah mantan penyanyi dan aktris sinetron. Ahmad Dani seorang musisi yang sempat ngehits dengan albumnya bertitel Laskar Cinta.
Tapi, rasanya Laskar Cinta tak lagi menebar spirit cinta. Justru menyemai benci. Lewat gerakan deklarasi yang berujung aksi dari mereka yang anti. Gerakan dan pernyataan Ahmad Dani lewat vlog memercikan api kebencian.
Ahmad Dani datang ke Surabaya untuk menghadiri Deklarasi #2019GantiPresiden, Minggu (26/8/2018). Aksi yang hendak digelar di Tugu Pahlawan itu sebetulnya tidak mendapat ijin polisi. Sejak lama, rencana itu ditentang keras sekelompok masyarakat di kota ini.
Toh, mereka nekat. Acara itu tetap digelar. Tak pelak mereka berhadap-hadapan di jalan. Ahmad Dani dihadang di hotelnya. Tak bisa ikut deklarasi. Ia pun bikin vlog. "Saya dihadang. Aneh, mereka itu kelompok pendukung penguasa. Saya musisi yang oposisi. Mereka idiot," katanya.
Seorang rekannya berambut gondrong ikut nyeletuk. "Banser idiot," katanya. Pria itu pun disorot kamera yang dipakai ngevlog Ahmad Dani. Pernyataan Dani dan rekannya itu makin membuat panas. Para penghadangnya menguber-uber mereka: Harus minta maaf.
Entah mengapa di Surabaya Banser ikut menghadang Ahmad Dani dan kawan-kawan. Untung tidak berkelanjutan setelah PP GP Ansor Ikut meredam. Melarang seluruh pengurusnya di tingkat bawah untuk tidak memberi pernyataan pers dan statemen politik. Toh demikian, suasana politik di Surabaya sempat panas sehari. Yakni ketika rencana deklarasi #2019GantiPresiden gagal digelar dan dilarang polisi.
Di hari yang sama, Neno Warisman dilarang menginjakkan kaki di bumi Pekan Baru. Di kota ini, ia rencananya juga akan menghadiri deklarasi #2019GantiPres. Lagi-lagi ia tidak bisa keluar bandara dan harus balik ke Jakarta sebelum menginjakkan kaki di bumi itu.
"Saya mau dipaksa pulang, dipaksa pulang, kalau saya bertahan di sini kira-kira seperti apa? Pasti mereka akan lakukan satu hal, kekerasan," ujar Neno Warisman. Ia ungkapkan kalau aparat BIN ikut ambil bagian dalam pemulangan paksa kw Jakarta.
Sebelumnya, Neno yang oleh kalangan penentang Jokowi sering dipanggil ustadzah atau Bunda Neno ini juga ditolak saat hadir di Batam. Ia dihadang massa di bandara. Namun, saat itu, ia masih bisa menghadiri deklarasi serupa yang digelar di halaman Masjid Agung Batam. Bedanya, saat itu, belum ada kepastian kandidat presiden yang akan menjadi lawan Jokowi.
Yang pasti, Neno dan Dhani tiba-tiba menjadi simbol baru oposisi. Ini setelah simbol itu dipegang para tokoh yang berlabelkan habib dan kiai seperti Habib Rizieq Syihab, Bahtiar Natsir, Teuku Zulkarnain, Alfian Tanjung, dsb. Simbol dan figur oposisi itu bergeser dari tokoh agama ke artis dan musisi.
Pertarungan Persepsi
Kontestasi dalam politik adalah hal biasa. Apalagi menyangkut perebutan kepemimpinan nasional yang sangat menentukan perjalanan bangsa ini ke depan. Persoalannya adalah bagaimana kontestasi politik tidak berubah menjadi pertarungan fisik?
Dari sisi upaya membangun persepsi, gerakan #2019GantiPresiden merupakan langkah cerdik untuk mendegradasi atau men-downgrade lawan. Narasi itu langsung mneghunjam ke presiden petahana. Jika mereka berhasil mereplikasi terus-menerus narasi itu, bukan mustahil akan menggerus elektabilitas petahana.
Kampanye dalam setiap kontestasi politik selalu berkutat dalam dua hal. Upgrading dan downgrading citra kandidat. Kelompok AnJok bisa mencuri start kampanye dengan melakukan downgrade citra petahana. Maka, bisa dipahami kenapa gerakan ini dimulai sejak lama, sebelum tahapan Pilpres dimulai.
Lantas mengapa mereka tidak serta merta mengkampanyekan kandidatnya setelah tahapan pendaftaran dilalui? Mungkin karena mereka belum siap rumusan visi, misi, dan janji kerja yang bisa dijadikan wacana untuk mengungkit citra kandidatnya. Atau belum menemukan point of issues yang dianggap kuat untuk meruntuhkan petahana. Apalagi penantangnya adalah figur lama yang tak mudah dikemas ulang.
Hanya saja, model kampanye down grade cenderung memicu ujaran-ujaran kebencian. Sebab, tujuannya adalah merusak citra lawan. Lain halnya dengan kampanye upgrading image. Kampanye model terakhir ini cenderung menonjolkan keunggulan kandidat, baik secara citra diri maupun konsep atau visi dan program. Model yang kedua ini relatif bisa mengurangi kemungkinan kampanya yang me-downgrade lawan.
Apa pun bentuk kampanyenya, mengembalikan pilpres menjadi sebuah pesta demokrasi yang menggembirakan menjadi kewajiban kita bersama. Juga tanggungjawab para kandidat maupun partai-partai pengusungnya. Mendorong agar semua tahapan pilpres kali ini berlangsung ceria. (arifafandi dan tim ngopibareng)