Negara versus Radikalis, Kegelisahan Gus Dur ''Sang Humanis''
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menginginkan agar pusaranya ditulisi "Here lies a humanist". Wasiat itu disampaikan sebelum wafatnya, 30 Desember 2020 -- sebelas tahun silam. Agaknya,sebutan "humanis" itu cukup pantas untuk "Guru Bangsa".
Gus Dur dikenal dengan kata-kata: gitu aja kok repot. Karena sepanjang hidupnya memang memperjuangkan perdamaian.
Perdamaian yang diperjuangkan Gus Dur lewat "warisan indah" berupa "Islam Ramah" itu agaknya perlu disuarakan kembali, mengingat "Islam Marah" mulai menandingi warisan "Sang Humanis" itu dengan maraknya ketakutan dimana-mana, baik ketakutan saat suka cita Natal, ketakutan saat aksi sweeping kelompok Islam tertentu terhadap simbol-simbol "kafir", dan ketakutan lainnya.
Bahkan, ketakutan itu semakin runyam dengan jagat maya (media sosial/medsos) yang justru mengacaukan "Islam Ramah" dengan ujaran kebencian seolah mengajak "perang" semua pihak, baik Islam (khususnya, pejuang Islam Ramah) maupun non-Islam. Mirip jurus mabuk-lah, karena strategi Gus Dur sudah "mendahului" langkah-langkah "Islam Marah" itu.
Walhasil, kini semuanya dihadapkan pada episode "perang" yakni negara versus radikalis. Mereka sudah menggunakan tiga strategi untuk menembus "jantung pertahanan" pihak lain yakni masjid, medsos (media sosial), dan kader militan.
Ya, kelompok radikalis itu menguasai masjid sebagai "pintu masuk" yang paling strategis dan sempat menjadi peringatan Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siroj. Cara "masuk" yang tidak kalah pentingnya adalah "bom" medsos untuk "merebut" mereka yang "lemah" dalam pondasi agama, lalu kader-kader militan disusupkan untuk "menyerang" siapa pun melalui "provokasi" agama.
Dari masjid dan "bom" medsos saja, mereka sudah banyak yang "tepuk tangan" karena mereka sudah terbukti mampu "masuk" ke gedung-gedung pemerintahan. Bukan hanya pemerintahan, tapi juga kantor-kantor BUMN, kampus-kampus ternama, markas TNI, dan lainnya.
Apalagi, kader-kader militan mereka pun "masuk" ke komunitas masyarakat yang relatif paham agama, diantaranya pesantren, ormas agama, masjid-masjid raya/agung, dan sebagainya. Kader-kader militan itu cukup gigih, meski provokasi mereka seringkali mendapatkan perlawanan telak, mirip akun medsos yang ber-daur ulang.
Kini, Tuhan Yang Maha Esa memberikan "rahmat" kepada bangsa Indonesia dalam membereskan "Islam Marah" itu dengan hadirnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang seolah tahu "masalah sesungguhnya" republik ini, karena itu Presiden Jokowi pun berusaha melawan radikalisasi dan membenahi karakter bangsa dalam periode keduanya kali ini.
Langkah "strategis" Jokowi itu bisa "dibaca" dengan penempatan 55 persen menteri non-parpol, bahkan penempatan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, Menteri Agama, Fachrul Razi, dan Menteri Pertahanan, Prabowo, adalah "isyarat" presiden untuk "memberangus" radikalisasi yang diledakkan "Islam Marah" sejak 2005 itu, bahkan Jokowi juga memasang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, untuk membenahi karakter milenial dalam "persaingan" digital.
Selain Prabowo, menteri-menteri non-parpol yang dinilai "paham" radikalisme atau terorisme itu, agaknya sengaja ditugasi melawan kelompok radikal yang sudah terlanjur "masuk" gedung pemerintahan, markas TNI, kantor BUMN, dan bahkan "komunitas" pesantren, ormas agama, masjid raya, dan sebagainya.
Tentu, para menteri itu sudah memiliki strategi perlawanan melalui sinergi dengan pihak-pihak yang ahli manajemen masjid, paham konten medsos, dan mampu melakukan identifikasi kader-kader militan dari kelompok radikal itu. Mereka sudah paham strategi "membenahi" masjid kampus atau BUMN, seperti yang sukses dilakukan UGM. Mereka pun sudah paham dalam identifikasi kader-kader militan dari komunitas radikal, seperti melalui sinergi dengan jajaran Polri.
Untuk medsos mungkin agak sulit, karena "perang" medsos itu bukan melibatkan ribuan akun medsos, melainkan miliaran akun medsos, karena itu negara tidak bisa melakukan "perang maya" secara sendirian, namun perlu pelibatan kalangan milenial, kalangan kampus, dan bahkan kalangan media massa untuk bersama-sama melakukan counter secara masif.
Contoh betapa negara cukup kelabakan melawan medsos antara lain ketika Presiden Jokowi menyebut rencana pemerintah "mendatangkan jutaan wisatawan China" dipelintir menjadi "mendatangkan jutaan tenaga kerja China", sehingga pemerintah pun menjadi sasaran perundungan hingga berbulan-bulan (5-6 bulan) akibat "wisatawan" yang direka menjadi "tenaga kerja" itu. Runyam bukan?!.
Contoh lain, ketika Wakil Presiden, KH Ma'ruf Amin, menyatakan "perlunya masjid dijaga dari ustadz" yang mengumbar kebencian, namun dipelesetkan "perlunya masjid dijaga polisi" sehingga menjadi perdebatan yang membuang energi percuma sejak pelantikan presiden-wakil presiden hingga awal Desember 2019.
"Isu masjid akan dijaga dan diawasi oleh polisi itu hoaks, Kiai Ma'ruf tidak pernah bilang begitu. Menempatkan polisi di satu masjid itu perlu biaya, biayanya darimana?," kata Staf Khusus Wakil Presiden, KH Robikin Emhas saat menjadi pemateri dalam Seminar Nasional Kebangsaan Nahdlatul Ulama di Meulaboh 22 Desember 2019.
Banyak contoh lain, termasuk foto kebakaran hutan di kawasan Gunung Agung pada akhir 2017 yang diberi caption Gunung Agung meletus, sehingga memerosotkan pariwisata Bali hingga ke titik terendah. Video juga bisa "ngawur" seperti saat santri demo full day school yang diberi sulih suara "bunuh menterinya" padahal demo itu benar, tapi suara teriakan "bunuh" itu hasil sulih suara.
Itu masih isu biasa yang dihembuskan para pendengung melalui jagat maya yang dampaknya bisa fatal atau bahkan bisa sangat fatal, padahal isu yang lebih gawat dari itu masih ada, yakni bila jagat maya diwarnai "tarik-menarik" persoalan SARA yang merupakan paling sensitif di Bumi Nusantara, bahkan ibadah baku/mahdzo dan ibadah non-baku pun dicampur aduk hingga menakutkan.
Di sinilah, "Islam Ramah" yang diwariskan Gus Dur menjadi kerinduan penting, kerinduan terhadap Islam toleran yang cocok untuk "kemajemukan" (pluralitas) Nusantara. Bukankah "menyempurnakan" akhlak adalah "tugas penting" Nabi Muhammad SAW ?!. Demikian catatan Edy M Yakub dari Antara.
Advertisement