Negara Pemenjara
Peristiwa tragis itu tak sampai bikin heboh. Padahal 44 orang tewas terpanggang dalam kebakaran Lembaga Pemasyarakatan klas 1 Tangerang. Juga banyak yang terluka.
Apa karena para terpidana yang tewas ya? Sehingga para pendengung tak tergerak hatinya bersimpati kepada korban jiwa manusia. Meski jumlahnya puluhan.
Saya hanya bisa membayangkan kengerian saat api membakar lapas itu. Puluhan orang yang sehari-hari tersisih terjebak api. Tak bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu mati.
Sudah agak lama orang menyoroti manajemen penjara kita. Yang sebagian besar over kapasitas. Belum lagi praktik-praktik yang tak semestinya terjadi di dalamnya.
Bayangkan, lapas yang terbakar itu sebetulnya hanya berkapsitas 600 orang. Tapi, Lapas tersebut ternyata dijejali 2000 orang warga binaan. Tiga kali lipat dari kapasitas semestinya.
Over kapasitas penjara kita tidak hanya di Tangerang. Penelitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), semua penjara di Indonesia mengalami kelebihan sampai 180 persen.
Ini menggambarkan buruk muka penjara kita. Sekaligus juga kaca retak bagi peradaban bangsa ini. Merefleksikan ada yang salah dalam sistem kita.
Sebab, tata kelola penjara di sebuah negara mencerminkan tingkat peradaban kita. Menunjukkan cara kita memperlakukan manusia.
Kebakaran Lapas Tangerang juga mencerminkan paradigma kita dalam sistem hukum negeri ini. Sistem tentang bagaimana cara kita membangun tertib sosial.
Apakah dengan makin banyaknya penghuni penjara berarti makin bagus sistem penegakan hukum kita? Tak bisa diartikan seperti itu. Bahkan bisa bermakna sebaliknya.
Dua hari setelah tragedi Tangerang, saya mengajak diskusi Mursyid Murdiantoro. Ia pengacara muda yang sering punya pikiran cerdas dan out of the box.
Mengapa upaya memenjarakan orang sering tidak efektif dalam membuat terpidana jera? Adakah cara mengatasi over kapasitas penjara kita?
Mursyid memang bukan pakar hukum. Ia hanya praktisi hukum yang sangat selektif dalam menganani kasus. Mantan staf ahli Walikota Surabaya ini punya banyak terobosan hukum.
Alumnus Fakultas Hukum Unair ini aktifis saat mahasiswa. Pernah kerja di NGO sebelum menekuni dunia kepengacaraan. Saya menyukai cara berpikirnya yang lugas dan piawai setiap membuat konstruksi hukum.
Ia pun sepakat dengan saya untuk menyebut negeri ini masih dalam tataran sebagai negara pemenjara. Belum menjadi negara yang menjamin tertib hukum dan sosial.
Ia lantas membandingkan dengan negara-negara di Eropa. Seperti Belanda, German, Denmark, Finlandia, dan Swedia.
Di negeri itu, ruang lapas yang disediakan Negara telah kosong. Bahkan sempat beredar foto para sipir Lapas tidur-tiduran di sel-sel yang melompong.
Ah, masak kita harus membandingkannya dengan negara yang sudah maju? Nah, kalau di negara maju bisa mengapa kita tidak bisa? Tampaknya ini yang harus menjadi tekad kita bersama.
Banyak teori yang menyatakan bahwa hukum pidana badan akan menciptakan efek jera. Tapi ternyata di negara kita, hukuman badan belum mampu menimbulkan orang kapok berbuat jahat.
Di sinilah diperlukan mencari bentuk pidana alternatif selain pidana badan. Selain diperlukan untuk mengurangi membludaknya penghuni penjara, juga agar efek jeranya tercapai.
Sudah saatnya dipikirkan menggunakan pengurangan hak-hak sebagai warga negara sebagai bentuk hukumnya. Bahkan hak untuk memperoleh jaminan sosial.
Namun untuk menjalankan ini diperlukan sistem jaminan sosial yang sudah mapan. Sehingga ada ketergantungan dari setiap warga negara terhadap hak ini.
Misalnya, penjahat yang berkali-kali melakukan kejahatan, bisa kehilangan hak jaminan kesehatan. Atau kehilangan hak untuk memiliki NIK.
Kalau itu diberlakukan, pasti akan membuat orang berpikir ulang setiap melakukan kejahatan. Sebab mereka akan semakin kesulitan hidup karena terkurangi hak hidupnya.
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej juga berpikir penerapan restorative justice. Yakni pendekatan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban.
Tidak semua kasus harus berakhir ke pengadilan dan pidana badan. Kasus-kasus kecil bisa diarahkan untuk mendapat sanksi sosial. Termasuk kemungkinan hukuman kerja sosial.
Tentu pendekatan ini bukan tanpa cela. Memang ia bisa menjadi alat untuk mengatasi over kapasitas lapas. Namun bisa memberi ruang black market of justice --pasar gelap peradilan-- yang masih marak hingga sekarang.
Apa pun pendekatan yang akan digunakan, sudah saatnya kita lebih serius memikirkan reformasi sistem peradilan kita. Biar tragedi demi tragedi tak lagi terjadi.
Apalagi mampu menghadirkan negara secara selayaknya. Yakni sebagai penjaga tertib sosial, pendistribusi kesejahteraan, dan penjaga keadilan.
Saya kok ingin menyaksikan lapas-lapas kita kosong melompong. Melihat para sipir gabut dan lesehan di sel penjara karena tak ada yang harus dikerjakan.
Bukan menjadi saksi bagi praktik negara pemenjara selamanya.
Advertisement