Negara Nusantara
Niat itu telah diperkuat. Dengan melakukan upacara Kendi Nusantara di Titik Nol. Lokasi yang akan dibangun Ibukota Negara Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Semua gubernur dari seluruh Indonesia membawa tanah dan air dari daerahnya masing-masing. Presiden dan para gubernur itu pun kemah bersama di lokasi calon ibukota baru.
Ah kan hanya ritual? Kata mereka yang selalu pesimistis dengan segala langkah presiden maupun pemerintah. "Wow...kita akan pasti punya ibukota negara yang baru," kata yang lain.
Di luar persoalan pembangunan fisik, pemindahan ibukota memang butuh pemaknaan. Untuk apa pindah? Mengapa pindah? Lantas apa spirit yang dibawa dengan pemindahan itu?
Sayang, diskursus yang lebih dominan mencuat di permukaan hanya tentang biaya pemindahan. Juga persoalan-persoalan lingkungan. Bukan diskursus tentang mengapa ibukota harus pindah.
Padahal, pemindahan ibukota bisa berarti peneguhan baru sebagai negara bangsa. Karena itu, narasi kebangsaan mesti mengemuka. Bagaimana kita memaknai Indonesia baru dan ke depan.
Bapak bangsa kita telah berhasil membangun imaginasi tentang negara kesatuan. Sebuah negara yang mencakup berbagai suku bangsa yang disatukan dengan imajinasi bersama yang bernama Bhinneka Tunggal Ika.
Namun setiap imajinasi tentang negara harus terus menerus diwujudkan dalam realitas. Setidaknya perlu upaya secara terus-menerus untuk menjadi kenyataan. Di samping membangun imajinasi baru berkelanjutan.
Salah satu isu yang menjadi celah membuyarkan imaginasi bersama tentang Indonesia adalah soal pemerataan. Sentralisasi kekuasaan oleh pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun yang jejaknya masih berlaku hingga sekarang.
Karena itu, diperlukan simbolisasi baru atas komitmen desentralisasi. Keputusan politik membangun IKN di Kalimantan Timur bisa menjadi simbolisasi atas komitmen baru desentralisasi ini. Inilah momentumnya.
Akan tidak terlalu kuat bicara desentralisasi dan pemerataan bila segala hal masih di Jawa. Tak cukup hanya membangun infrastruktur di luar Jawa. Menempatkan ibukota di luar Jawa punya pesan kuat memindahkan pusat kekuasaan.
Maka dari itu, IKN di Kalimantan Timur menunjukkan komitmen itu. Jika konsensus awal dirumuskan bapak bangsa dari berbagai suku bangsa, maka komitmen baru harus diikuti semua gubernur dari 34 provinsi di Indonesia.
Simbolisasi penyatuan tanah dan air dari berbagai provinsi ini bermakna karena ada imajinasi baru tentang negara di luar NKRI juga sering mengemuka. Misalnya, munculnya aspirasi negara khilafah dan sebagainya. Yang bisa menjadi benih perpecahan.
Juga kerasnya aspirasi politik identitas yang menguat belakangan ini. Karena itu, membangun komitmen ulang tentang negara lewat IKN menjadi penting. Jadi, Kendi Nusantara bukan hanya sekedar ritual. Tapi momentum meneguhkan kebangsaan baru.
Penamaan IKN sebagai ibukota baru pun menarik untuk dicermati. Dalam perspektif komunikasi politik, nama baru tersebut merupakan cara cerdas. Karena, nama itu akan mengaitkan dengan kejayaan masa lalu bangsa ini jauh sebelum merdeka.
Jika bisa disebut sebagai negara bangsa, nusantara adalah menunjuk ruang dan imajinasi kejayaan yang berhasil dibangun Kerajaan Majapahit. Kejayaan dari sisi luas wilayah dan kemakmuran yang berhasil diwujudkannya.
Nusantara menjadi kata magis untuk membangun semangat kejayaan ulang bangsa ini. Bangsa yang memiliki pengaruh kuat dalam percaturan global di luar kerajaan di Tiongkok maupun benua Eropa.
Beberapa tahun lalu, di Jogja muncul usul untuk mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Usul itu dilontarkan Dr Arkand Bodana. Seorang ahli metafisika yang gemar mengotak-atik nama.
Menurut dia, nama Indonesia kurang memiliki energi positif. Sehingga bangsa ini sering dilnda sakit. Tidak bisa berdiri tegak padahal memiliki sumber daya yang luar biasa.
Usulan ini seperti tradisi masa lalu yang mengganti nama anak yang sakit-sakitan. Sebab nama mengandung beban yang harus dipikul sang anak. Nama mengandung ideasi dan energi.
Waktu kecil, nama saya juga diganti karena sakit-sakitan.
Memberi nama Ibukota Negara Nusantara (IKN) saya sebut cerdas karena pasti susah mengganti nama Indonesia. Kontroversinya akan tanpa akhir. Tak bisa dibayangkan kegaduhan baru yang diakibatkannya.
Lha wong mengganti logo halal saja gaduhnya berkepanjangan. Bahkan sampai membuat logo Halal Minang karena dianggap logo baru Jawa Centris. Dianggap terlalu Jawa hanya gara-gara khat halalnya menyerupai gunungan wayang.
Seniman Butet Kertarejasa meyakini, dengan menjadi nama ibukota baru, nama Nusantara akan sering dilafalkan. Sehingga secara formal nama negara ini tetap Indonesia, tapi secara lisan orang akan banyak menyebut negara Nusantara.
Dan kita bisa punya harapan baru dengan nama baru. Meski hanya menjadi nama ibukota. Harapan baru, energi baru, dan spirit baru untuk menjadi bangsa besar yang ditakuti dunia. Seperti ketika Majapahit di masa lalu.
Saya kok yakin sekali dengan ini. (Arif Afandi)