Negara Jangan Diserahkan ke Politisi yang Hanya Pikir Kekuasaan
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan hegemoni partai politik yang begitu kuat akibat amandemen konstitusi 20 tahun silam, membuat penyelenggara negara telah didominasi oleh politisi.
Menurut LaNyalla, mereka hanya berpikir melanggengkan kekuasaan, bukan seperti negarawan yang memikirkan keberlangsungan demokrasi bagi anak cucu nanti.
Hal itu disampaikan LaNyalla saat menyampaikan keynote speech dialog kebangsaan bertema 'Mencari Solusi Permasalahan Negara dan Bangsa', kerja sama DPD RI dan Gerakan Bela Negara di Ruang Sriwijaya, Gedung B, Kompleks Parlemen Senayan, Senin, 14 Maret 2022.
"Sekarang hanya partai politik yang menentukan arah perjalanan bangsa. Hanya mereka yang bisa mengajukan dan menentukan calon presiden yang harus dipilih rakyat. Elemen-elemen non-partisan sebagai bagian dari pemilik kedaulatan telah kehilangan peran. Juga DPD RI sebagai wakil daerah," katanya.
Faktanya, mayoritas partai politik yang sekarang ada, berkoalisi dengan pemerintah. Tak heran jika yang terjadi belakangan ini semua seperti berjalan suka-suka, tidak peduli terhadap rakyat.
"Salah satu contoh terbaru tentang wacana penundaan pemilu, Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, hari Selasa, 8 Maret lalu mengatakan; “Kalau Partai Kompak, Presiden Jokowi Pasti Setuju”. Kalimat ini menunjukkan betapa hegemoni partai politik begitu besar dan arah perjalanan bangsa ini bisa ditentukan cukup dengan kekompakan partai politik saja," katanya.
Senator asal Jawa Timur itu menilai, jika mayoritas partai politik kompak, maka amandemen konstitusi akan berjalan mulus sesuai keinginan mereka. Mungkin cukup dengan melibatkan satu atau dua orang anggota DPD RI yang mbalelo karena secara prosedural sudah cukup.
"Inilah yang saya sebut bahwa hasil amandemen 2002 memberi peluang bagi persoalan kenegaraan dan persoalan kebangsaan. Amandemen 2002 adalah sebuah kecelakaan akibat kebut-kebutan tanpa rem," ujar dia lagi.
Dilanjutkan LaNyalla, dirinya tidak bisa mengatakan dengan kalimat normatif, bahwa baik tidaknya konstitusi tergantung karakter dan niat para penyelenggara negara.
"Jadi bagaimana mungkin kita serahkan arah perjalanan bangsa yang besar dan majemuk ini hanya kepada politisi, yang berpikirnya lima tahun ke depan untuk mempertahankan kekuasaan? Atau kalau perlu menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan?" tegas alumnus Universitas Brawijaya Malang itu.
LaNyalla juga sependapat dengan pernyataan Mayjen TNI Purn. Prijanto dalam bukunya yang berjudul; ‘Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia’, di mana dirinya juga memberi kata pengantar dalam buku tersebut, yang disebutkan bahwa perencanaan yang baik, pemikiran yang luhur dan jiwa negarawan dalam menyusun konstitusi adalah setengah atau separo dari keberhasilan.
"Artinya konstitusi itu harus baik. Tidak boleh tidak baik atau asal-asalan, dan diserahkan semua tindak lanjutnya secara terbuka kepada Undang-Undang di bawahnya. Karena konstitusi merupakan hukum dasar yang tertulis, yang akan menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara," papar LaNyalla.
Faktanya, saat ini berdasar penelitian yang mendalam oleh sejumlah guru besar, seperti Profesor Kaelan dan Profesor Sofian Effendi, yang secara bulat menyatakan bahwa isi pasal-pasal hasil amandemen 2002 sudah tidak konsisten dengan dasar filsafat negara Pancasila.
"Lalu apakah akan kita biarkan saja hal ini menjadi bahaya di masa depan? Menjadi ancaman bagi generasi anak cucu kita di masa depan? Dengan kita diam dan pura-pura tidak tahu bahwa ada persoalan mendasar di dalam tata negara kita,” tanya LaNyalla.
"Kita di sini tidak dalam konteks memberi penilaian terhadap era atau orde yang pernah ada di negara ini. Saya ingin kita fokus kepada Pancasila, sehingga demokrasi benar-benar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’. Bukan berubah menjadi dari rakyat, oleh partai politik dan presiden, dan untuk kekuasaan," tukasnya.
Hadir dalam kesempatan itu para anggota DPD RI, Ketua Dewan Syuro Partai Ummat, Profesor Amien Rais secara virtual, Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju, Profesor Din Syamsuddin, Guru Besar Ilmu Hukum dan Masyarakat Universitas Diponegoro, Profesor Suteki, Ketua Umum Gerakan Bela Negara, Brigjen TNI (Purnawirawan) Hidayat Purnomo dan para pegiat dan pemerhati konstitusi.