Negara Islam dan Sepucuk Surat Natsir ke Kartosoewiryo
Wakil Presiden Mohammad Hatta mengutus Mohammad Natsir untuk bertemu dengan Ketua Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo pada 4 Agustus 1949. Pesan yang hendak disampaikan yaitu, agar Kartosoewirjo mengurungkan niatnya mendirikan Negara Islam dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hatta sendiri sudah membujuk Kartosoewirjo untuk tidak membentuk Negara Islam atau Darul Islam. Tetapi niat Hatta tidak membuahkan hasil. Sedangkan dengan kesibukannya harus berangkat ke Belanda untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 6 Agustus 1949. Niat Hatta membujuk Kartosoewirjo juga diikuti tindakan nyata. Di antaranya dengan memberi bantuan (anggaran) kepada orang Jawa Barat yang tinggal di hutan tidak emosional. Juga yang merasa ditinggalkan pemerintah ketika itu. Sekali lagi, bujukan tak bersambut. Akhirnya Hatta meminta Natsir untuk berdialog dengan Kartosoewirjo.
Natsir ketika itu mengutus Ahmad Hasan, seorang tokoh Islam modernis dan pendiri Persatuan Islam (Persis) di Bandung, untuk menemui Kartosoewirjo. Ustad A Hasan ingin menyampaikan surat yang ditulis dengan kertas berkop Hotel Savoy Hofman, tempat Natsir menginap. Disebutkan surat ini dianggap tidak resmi.
Dalam buku ‘Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo’ karangan Al Caidar, antara Natsir dengan Kartosoewirjo adalah sahabat. Sebelum Natsir menjadi Perdana Menteri dan Menteri Penerangan di era Soekarno, bahkan ketika mereka masih sama-sama remaja, sudah saling mengenal satu sama lain.
Jadi, antara Natsir dan Kartosoewirjo saling mengenal sejak keduanya sekolah di Algemene Midelbare Shool (AMS) di Bandung tahun 1927-1930. Sementara A Hasan adalah seorang pemikir Islam, ulama di Bandung yang terkenal ketika itu. Sedangkan Natsir ketika itu belajar agama dengan A Hasan. Jadi antara murid dan guru ini saling mengenal. Karena Nasir dan Kartosoewirjo kerap datang ke rumah A Hasan dan berdiskusi tentang pelbagai hal. Tentang Islam, juga soal sistem pemerintahan.
Isi surat yang ditulis Natsir, intinya sama dengan yang disampaikan Hatta. Yaitu natsir meminta agar Kartosoewirjo membatalkan mendirikan Negara Islam dan mengajak ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari Bandung, Ustad A Hasan menuju ke Malangbong, Garut. Dataran tinggi, juga kawasan hutan, yang membuat perjalanan menyita waktu. Singkatnya, A Hasan sampai di lokasi tetapi tidak tidak bisa ketemu langsung karena dihalang-halangi anak buah Kartosoewirjo. Setelah ‘ditahan’ selama tiga hari, barulah anak buah Kartosoewirjo mengenal sosok A Hasan, yang ulama terkenal di Bandung, yang ketika ketika itu baru memperkenalkan diri. Para pengikut Kartosoewirjo, tentu saja kaget, karena baru mengenal A Hasan.
Akibatnya, surat dari Natsir ke tangan Kartosoewirjo terlambat. Padahal Kartosoewirjo sudah memproklamirkan diri mendirikan Negara Islam pada 7 Agustus 1949. Kartosoewirjo mengeluarkan Maklumat Pemerintah Negara Islam Indonesia, atas nama Umat Islam Bangsa Indonesia, tertanda Imam Negara Islam Indonesia tertanda SM Kartosoewirjo.
Muhammad Natsir, mengatakan, jika misalnya surat tidak terlamat tiga hari, tentu tidak mudah untuk meyakinkan tokoh DI/TII. Tetapi kemungkinan untuk mengalihkan langkah sahabatnya itu, sebagaimana dikutip dalam buku Muhammad Natsir 70 tahun; Kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan.
Hingga kemudian Kartosoewirjo membalas surat Natsir yang dititipkan lewat A Hasan. Dalam isinya disebutkan.”Sayang imbauan itu terlambat tiga hari. Ludah tidak dapat saya jilat Kembali.” Dengan tulisan itu, tentu saya tokoh yang lahir di Cepu, Blora 1 Januari 1905, itu tetap kukuh dengan sikapnya, yaitu memilih tetap mendirikan Negara Islam. Natsir sepertinya mahfum akan sikap sahabatnya tersebut.
Malangbong, Garut, Jawa barat, menjadi markas utama Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosoewirjo. Tokoh yang pernah menolak ditawari menjadi menteri saat Perdana Menteri dijabat Amir Sjarifuddin, melebarkan pengaruhnya. Berbasis di Jawa Barat, Kartosoewirjo yang menjabat sebagai Ketua DI/TII selama 13 tahun (7 Agustus 1949-4 Juni 1962), melebarkan pengaruhnya di Sulawesi Selatan dan Aceh.
Pemerintah Indonesia akhirnya beraksi keras, dengan melakukan operasi menangkap Kartosoewirjo. Operasi militer dengan menurunkan Kompi C 328/Kujang II Divisi Siliwangi. Sang tokoh ditangkap dalam pengejarannya di Gunung Rakutak, pada 4 Juni 1962.
Kartosoewirjo akhirnya diadili dan dihukum mati. Tetapi, ada cerita menarik ketika Presiden Soekarno menandatangani persetujuan hukuman mati Kartosoewirja, dan mengaku sebagai keputusan terberat dalam hidupnya. Dalam sejarawan Fadli Zon, Hari terakhir kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII disebutkan, Bung Karno, berkali-kali menyingkirkan berkas eksekusi mati Kartosoewirjo dari meja kerjanya. Itu karena keduanya adalah sahabat lama sejak muda. Keduanya adalah murid Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan tinggal di rumah kontrakan pendiri Sarekat Islam (SI) di Surabaya itu.
Perbedaan ideologi antara Soekarno dan Kartosoewirjo yang mengakibatkan keduanya berseberangan dan mengambil jalan hidup masing-masing.
Kartosoewirjo dieksekusi di usia 57 tahun, di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta pada 5 September 1962. Bung Karno menitikkan air mata atas eksekusi sahabatnya itu.
Advertisement