Nazaruddin: Mas Anas Minta Program E-KTP Harus Didukung
Jakarta: Dulu akrab, kini saling menjatuhkan. Itu yang terjadi antara Anas Urbaningrum dan M Nazaruddin, mantan Ketua Umum dan Bendahara Partai Demokrat. Pada kesaksiannya dalam lanjutan sidang kasus proyek pengadaan KTP-E di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (3/4), Nazaruddin menyatakan Anas Urbaningrum meminta Mirwan Amir agar program pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) didukung.
"Mas Anas minta ke Mirwan Amir bahwa program E-KTP harus didukung. Setelah disepakati akan dibicarakan dulu dengan pimpinan Badan Anggaran, kalau setuju berarti tidak ada masalah," kata Nazaruddin. Ia menjelaskan anggaran dibahas dan disepakati untuk tahap awal pengalokasian E-KTP.
"Itu tidak bisa dipenuhi Rp 6 triliun, tetapi secara bertahap. Setelah disepakati waktu itu besok lusanya ada pertemuan saya, Bu Mustoko Weni, Pak Ignatius, dan Andi Agustinus untuk membicarakan pembagian ke teman-teman di DPR," tuturnya.
Lebih lanjut Ketua Majelis Hakim John Hasalan menanyakan soal dasar keterlibatan Nazaruddin dalam proyek KTP-E tersebut.
"Apa yang mendasari Anda terlibat?," tanya Hakim John Hasalan kepada Nazaruddin.
"Perintah dari Ketua Fraksi, perintahnya untuk mengawal anggaran ini supaya berjalan," jawab Nazaruddin.
Nazaruddin juga menyatakan bahwa saat itu posisinya juga sebagai anggota Badan Anggaran.
"Di lain pihak kan sudah ada pengawalannya kepada Andi Agustinus?," tanya Hakim John.
"Kalau Andi posisinya pengusaha, kalau di DPR di Komisi II-nya itu Bu Mustoko Weni sama Pak Ignatius," jawab Nazaruddin.
"Titiknya Anda berperan di mana?," tanya Hakim John.
"Supaya program E-KTP ini jalan. Kan alokasinya harus dibuat dana optimalisasi," jawab Nazaruddin.
Dalam dakwaan disebut bahwa mantan Ketua Fraksi Demokrat di DPR Anas Urbaningrum menerima sejumlah 5,5 juta dolar AS dan mantan Wakil Ketua Banggar DPR Mirwan Amir sejumlah 1,2 juta dolar AS terkait proyek sebesar Rp 5,95 triliun tersebut.
Sementara mantan anggota Komisi II DPR dari Partai Golkar Mustoko Weni menerima sejumlah 408 ribu dolar AS dan mantan anggota Komisi II DPR dari Partai Demokrat Ignatius Mulyono merima sejumlah 258 ribu dolar AS.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain keduanya, KPK juga baru menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2,314 triliun dari total anggaran Rp5,95 triliun. (nga)
Advertisement